Suara Pembaruan, 10 Agustus 2006
Benyamin F. Intan
Serangan Israel yang memorakporandakan Lebanon dan Jalur Gaza, bukannya menunjukkan tanda-tanda mereda, tapi malah semakin gencar dan membabi buta. Gempuran beberapa pekan ini telah menewaskan sedikitnya 800-an orang, kebanyakan warga sipil Lebanon.
Semua ini “gara-gara” penculikan dua serdadu Israel oleh milisi Pejuang Hisbullah. Tidak ada yang menduga bahwa penculikan tersebut akan berakibat fatal seperti ini. Hampir tidak bisa diterima akal sehat bahwa serangan membabi buta Israel terhadap penduduk sipil hanya bertujuan membebaskan dua serdadunya itu.
Tragedi Kana, yang menewaskan sedikitnya 54 warga sipil, 37 di antaranya anak-anak dan balita, membuka kedok kebrutalan Israel. Pembunuhan massal kembali terulang Jumat, 4 Agustus yang lalu, ketika mesin perang Israel membombardir secara masif Lembah Bekaa yang dikenal sebagai basis Pejuang Hisbullah, menewaskan empat warga Beirut dan 33 buruh tani.
Selain warga sipil tidak berdosa (innocent) yang menjadi korban serangan brutal, empat petugas penjaga perdamaian PBB yang bertugas di Khiam, Lebanon, pun ikut tewas kena serangan rudal Israel.
Menuai kecaman dan kutukan dunia yang datang bertubi-tubi, Israel berkilah, serangan ke Lebanon bukan menyerang warga sipil, tetapi Pejuang Hisbullah yang menjadikan warga sipil sebagai tameng. Israel bersikeras, sasaran tembaknya jelas, ditujukan kepada Pejuang Hisbullah.
Jadi tidak ada unsur kesengajaan. Banyaknya korban di pihak sipil, harus dilihat sebagai kecelakaan. Jika mau dicari kambing hitam, maka Pejuang Hisbullah yang bertanggung jawab, bukan Israel.
Diskriminasi
Begitu banyaknya korban di pihak sipil dan hancurnya infrastruktur vital seperti bandara di Beirut yang tidak ada kaitannya dengan mesin perang, membuat sikap pembenaran diri Israel menjadi kabur.
Cara berperang yang benar (jus in bello) sangat ditentukan oleh prinsip diskriminasi yang membedakan “pihak militer” (combatants) dari “pihak sipil” (non-combatants). Sasaran terencana seharusnya ditujukan kepada combatants, non-combatants, sebaliknya, tak boleh di serang.
Agresi militer Israel yang dilakukan secara serampangan dengan menjadikan penduduk sipil atau non-combatants target sasaran langsung, merupakan pelanggaran hukum internasional.
Yang menentukan seseorang combatants atau tidak bukan pada apakah ia militer atau tidak, tetapi apakah ia terlibat langsung dengan kekuatan militer dan menjadi ancaman. Walau memiliki kaitan langsung dengan kekuatan militer, kehadiran pasukan perdamaian PBB tidak menjadi ancaman bagi kedua belah pihak yang bertikai. Itu sebabnya mengapa pasukan PBB adalah non-combatants, bukan combatants. Dengan menargetkan pasukan PBB atau non-combatants sebagai sasaran serangan, Israel telah menyalahi prosedur perang.
Memang, tidak semua tentara combatants. Ketika menyerah atau dalam posisi terluka, status tentara bukan lagi combatants tapi non-combatants, kerap disebut “ex-combatants,” karena kehadirannya tidak lagi menjadi ancaman (James F Childress, Just-War Criteria, hlm 49).
Begitu pula dengan warga sipil. Tidak semua warga sipil bebas dari serangan terencana. Tidak semua warga sipil berkategori non-combatants. Warga sipil perancang bom di pabrik senjata, misalnya, tidak imun dari sasaran serangan, karena selain terkait langsung dengan kekuatan militer, ia merupakan ancaman.
Buruh tani yang terbunuh di Lembah Bekaa yang menjadi basis Pejuang Hisbullah, tidak termasuk dalam kategori ini. Memang, di sana mereka memasok makanan untuk milisi, tapi “bantuan” yang diberikan hanyalah sebatas memenuhi kebutuhan kemanusiaan. Menjadikan mereka target serangan langsung, itu merupakan kesalahan.
Begitu pula dengan penduduk sipil yang tewas di Kana. Mereka ini pun tidak termasuk kategori sipil yang combatants, mengingat sebagian besar adalah anak-anak dan balita. Sehingga Israel harus mempertanggungjawabkan kebrutalannya.
“Double Effect”
Memang, korban sipil dalam peperangan tidak bisa dihindari. Kendati demikian, warga sipil tidak boleh dijadikan sasaran terencana. Selain combatants dan non-combatants, prinsip diskriminasi juga membedakan serangan terencana (intentional attack) dari efek sampingan yang ditimbulkannya (unintended side effect). Serangan terencana ke pihak combatants, biasanya membawa korban di pihak non-combatants sebagai efek sampingan serangan yang tidak diinginkan.
Israel berkelit bahwa banyaknya korban sipil, oleh karena Pejuang Hisbullah menjadikan warga sipil sebagai tameng atau sasaran antara. Tapi hal itu tidak benar. Terlepas dari apakah Pejuang Hisbullah menjadikan warga sipil tameng, pembunuhan massal di Kana dan Lembah Bekaa cukup memberi bukti bahwa warga sipil telah dijadikan sasaran serangan, bukan sasaran antara seperti yang diklaim Israel.
Dalam peperangan, walau korban sipil tidak bisa dihindari, ia bisa diminimalkan. Prinsip Double Effect memberikan pedoman arahan. Pertama, serangan terencana ditujukan hanya kepada combatants. Apapun yang terjadi, jangan pernah jadikan non-combatants target sasaran serangan.
Kedua, sekalipun korban di pihak non-combatants tidak dapat dicegah, jangan korbankan non-combatants dengan sengaja. Korban non-combatants tidak boleh dijadikan batu loncatan (means) demi mencapai sasaran serangan yang dituju (ends).
Ketiga, korban non-combatants (the evil effect) harus proporsional dengan hasil positif (the good effect) yang diraih melalui serangan terencana ke pihak combatants. Jangan sampai efek samping korban non-combatants melampaui keuntungan (good) yang mau dicapai melalui perang tersebut (Michael Walzer, Just and Unjust Wars, hlm 153).
Keganasan agresi militer Israel, cukup memberi bukti bahwa Israel tidak mempedulikan moralitas perang. Prinsip diskriminasi dan Double Effect yang dapat meminimalkan korban di pihak sipil, tidak diindahkannya.
Perang Modern
Israel mungkin akan mempertanyakan relevansi prinsip diskriminasi dan Double Effect dalam perang modern, kerap disebut perang total, mengingat persenjataan modern memiliki daya penghancur yang begitu tinggi. Bagaimana mungkin kita membedakan combatants dari non-combatants, atau membicarakan proporsionalitas, ketika diperhadapkan dengan bom atom, senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologi, atau bahkan “bom karpet”?
Memang, kriteria diskriminasi dan Double Effect sulit diimplementasikan manakala persenjataan mematikan difungsikan. Tapi justru di situ poinnya. Tanpa kedua kriteria ini, kehancuran dunia oleh perang modern merupakan suatu keniscayaan.
Di sisi lain, kemajuan teknologi yang begitu canggih justru membuat sasaran penembakan bisa jauh lebih akurat. Dalam Perang Teluk melawan Irak, misalnya, penembakan sasaran yang dikendalikan komputer dan teknologi laser jauh lebih presisi dibanding perang- perang sebelumnya.
Sehingga Israel dengan persenjataan yang begitu modern seharusnya lebih mudah mengimplementasikan prinsip diskriminasi dan Double Effect dibandingkan dengan pejuang Hisbullah yang hanya memiliki persenjataan konvensional.
Pejuang Hisbullah tidak akan luput dari kesalahan jika mereka menggunakan warga sipil sebagai tameng. Tapi dengan memerangi warga sipil, kesalahan Israel sangatlah fatal. Kejahatan keduanya merupakan pelanggaran berat hukum internasional: Israel melakukan crime by commission, pejuang Hisbullah crime by omission.
Keduanya harus dihukum. Kepada mereka yang melakukan crime by commission, hukuman yang diterima seharusnya jauh lebih berat dibandingkan mereka yang melakukan crime by omission.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society