Vonis Sosial Bukakan Pintu Maaf

Antonius Steven Un
Jawa Pos/Indo Pos, 29 Maret 2008

Waktu baca: 5 menit

Pak Harto telah tutup usia pada Minggu siang, 27/01, pk. 13.10. Sudah seharusnya kepergian Pak Harto dilepas dengan membuka pintu maaf baginya.

Konsepsi maaf didasarkan atas beberapa asumsi. Pertama, bahwa manusia mungkin berbuat salah. Karena itu perlu ada meminta maaf dan memaafkan. Realitas dosa dan kejahatan yang sudah berusia hampir setua manusia mengakibatkan manusia merusak relasi bukan saja terhadap manusia lain tetapi juga terhadap Sang Khalik dan alam semesta.

Kedua, bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa berelasi dengan individu lain. Filsuf-teolog Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa manusia yang dicipta sebagai citra Allah dibekali dengan sifat relasi dan sifat persekutuan (1990). Karena itu, salah satu ekspresi relasi dalam komunitas adalah adalah meminta maaf dan memaafkan.

Ketiga, manusia memiliki kesadaran nurani, menyadari apa yang ia perbuat. Hati nurani berfungsi menyadarkan akan kesalahan yang telah dilakukan kepada orang lain sehingga meminta maaf.

Asumsi-asumsi di atas menandakan, tindakan maaf-memaafkan merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan sosial manusia.

Wujud Kasih

Secara lebih fokus, pertanyaan substantifnya adalah apakah makna dari memaafkan? Memaafkan merupakan suatu tindakan sosial yang amat tidak mudah, apalagi jika orang yang berbuat salah kepada kita, melakukan kejahatan yang kejam dan amat menyakitkan. Korban ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia selama rezim Soeharto, tentu amat sulit memaafkannya.

Namun, tindakan memaafkan siapa pun dan apapun kesalahannya, perlu dipertimbangkan dan diusahakan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, tindakan memaafkan adalah wujud kasih yang tertinggi karena bukan mengasihi kawan melainkan lawan. Mengasihi orang yang mengasihi kita, tidak memiliki nilai keunikan dan keagungan apapun. Martin Luther King, Jr, pejuang kesetaraan manusia yang kelahirannya baru diperingati 15 Januari lalu, mengatakan ”Melalui perlawanan non-violence, kaum kulit hitam akan naik ke puncak kemuliaannya karena melawan sistem yang tidak adil” (Stride Toward Freedom, 1958).

Teolog Inggris, John Stott ketika mengomentari perintah agama untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan dan memberikan pipi kiri kepada penampar pipi kanan, menegaskan bahwa adagium moral tersebut berlandaskan satu prinsip, yakni kasih, mengasihi tanpa pamrih dan menolak mencari kompensasi dengan menuntut balas (1988). Kasih adalah panggilan jiwa yang harus ditaati oleh siapapun dan terutama panggilan Tuhan bagi umat manusia yang Dia ciptakan.

Kedua, dengan mencari kesalahan orang lain dan tidak memaafkan berarti kita sedang memberlakukan standar ganda karena kepada orang lain kita menegakkan keadilan tetapi kepada diri sendiri kita menegakkan kasih. Orang yang mengasihi selalu akan melihat kesalahan besar sebagai kesalahan sendiri sedangkan orang yang menbenci selalu akan melihat kesalahan kecil sebagai kesalahan besar, apalagi kesalahan orang lain yang dilakukan amat besar. Karena itu, kita belajar memberlakukan orang lain bukan atas dasar motif kebencian tetapi kasih. Selain itu, kita belajar untuk jujur bahwa kita pun banyak kelemahan.

Sudah Divonis

Dalam kasus Soeharto, tindakan memaafkan perlu dipertimbangkan dan diupayakan untuk dilakukan mengingat beliau telah dan akan menerima vonis komprehensif. Pertama, ia telah menerima vonis politik, yakni dijatuhkan oleh people power pada Mei 1998. Dukungan politik bagi pejabat adalah ketika meraih kemenangan mutlak dalam pemilihan langsung. Sebaliknya, kekecewaan publik akibat kinerja pejabat yang buruk adalah dijatuhkannya seorang pemimpin oleh kekuatan massa.

Kedua, bapak pembangunan dan keluarganya telah dan sedang menerima vonis sosial. Sejatinya kita tidak meremehkan kekejaman vonis sosial. Kerap, vonis sosial malah lebih menyakitkan ketimbang vonis yuridis. Soeharto dan keluarganya telah dan sedang menerima caci maki publik domestik dan internasional sebagai resiko dari perbuatan mereka selama bertahun-tahun.

Ketiga, vonis historis. Vonis historis adalah caci maki dan tudingan sejarah, yakni generasi-generasi selanjutnya bahwa pernah ada seorang bernama Soeharto dan keluarganya yang membuat lembaran hitam dalam sejarah Indonesia modern pasca kemerdekaan. Vonis historis memiliki kurun waktu yang lebih panjang dan kurun ruang yang lebih luas dari vonis sosial.

Keempat, Soeharto dan siapa saja individu manusia yang tidak bertanggung jawab selama hidupnya, akan menerima vonis teologis, yakni pengadilan dan hukuman Sang Khalik di akhirat nanti. Jikalau diktator dan kriminal kerap lolos dari pengadilan kesementaraan, namun tidak mungkin lolos dari pengadilan kekekalan. Jika hari ini Soeharto sampai tidak diadili dan menerima vonis yuridispun, tetap ia akan menerima vonis teologis.

Karena itu, seyogyanya kita melepas kepergian Pak Harto dengan tenang.

Antonius Steven Un | Rohaniawan, Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.