Investor Daily, 29 Maret 2007
Joseph H. Gunawan
Indonesia belum mampu menjadi pilihan utama para investor saat ini. Segudang persoalan seperti birokrasi yang tidak efisien, kebijakan pemerintah yang kerap tak konsisten, masalah keamanan, jaminan penegakan hukum, menjadi penghalang masuknya investor.
Guru Besar Harvard Business School Michael E. Porter pernah berkata bahwa sektor swasta Indonesia harus menciptakan produk dengan tingkat keunikan yang tinggi agar bersaing dalam pasar dunia. Jika masih tetap ingin masuk pada pasaran produk yang sama, Indonesia pasti akan terlempar dari peta persaingan.
Pemikiran Porter sesungguhnya bukan hal baru dan bukan sesuatu yang teramat sulit untuk dilakukan di Indonesia. Negeri ini memiliki beraneka sumber daya alam yang berlimpah. Dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papua), terbentang kekayaan alam, baik darat maupun laut, yang sama sekali belum terolah dengan baik. Begitu pula penduduk Indonesia yang besar (225 juta jiwa), menjadi sumber daya yang penting, tidak hanya untuk pasaran tenaga kerja tapi juga potensi pasar bagi produk itu sendiri.
Sayangnya, kita lamban menangkap berbagai peluang dan memanfaatkan pasar yang besar itu. Negara tetangga seperti Thailand atau Vietnam ternyata lebih pandai memanfaatkan peluang ketimbang kita. Berbicara agrobisnis, misalnya, durian Indonesia yang sebelumnya bergaung di pasaran domestik ataupun regional, kini makin “tersingkir” oleh kehadiran durian Bangkok.
Di sejumlah pasar swalayan Jakarta, membeli durian Bangkok, bagi konsumen terasa jauh lebih bergengsi ketimbang membeli durian-durian lokal. Bukan soal nasionalisme, namun dalam banyak segi, durian Bangkok lebih lezat, isi lebih tebal, dan aromanya lebih merangsang.
Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia – negara tetangga yang dulu banyak belajar dari Indonesia, memang mampu memanfaatkan peluang dengan terus mengedepankan keunggulan kompetitif, sekaligus didukung tersedianya kualitas tenaga kerja yang memadai melalui peningkatan keterampilan teknis, keahlian tertentu, profesionalisme serta pembinaan kemampuan tenaga kerja yang secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Kembali ke Alam
Indonesia menyadari bahwa untuk menyerap tenaga kerja yang berlimpah, hal yang diperlukan adalah penciptaan industri padat karya seperti tekstil, elektronika, sepatu, garmen dan onderdil. Beberapa tahun silam, industri-industri padat karya tersebut terbukti mampu menciptakan lapangan kerja bagi begitu banyak angkatan kerja di Indonesia.
Namun, sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997, satu per satu industri padat karya tersebut rontok, mengakibatkan pengangguran terus meningkat dan kemiskinan pun menjadi ancaman serius bagi masyarakat bangsa ini. Industri padat karya sangat krusial dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hubungan Industrial Depnakertrans, jumlah tenaga kerja yang di-PHK sepanjang Januari-November 2006, tercatat sebanyak 71.865 tenaga kerja. Dalam periode yang sama pada 2005, tercatat 150.524 tenaga kerja yang kena PHK. PHK terbesar terjadi di sektor kehutanan, disusul sektor garmen dan tekstil, persepatuan dan elektronik.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporannya menyebutkan, peningkatan pengangguran tertinggi terjadi di negara-negara Asean yaitu 85%. Sementara itu, di Indonesia, jumlah tenaga kerja setengah pengangguran mencapai 41,37 juta di Indonesia dan pengangguran terbuka atau sama sekali tidak bekerja mencapai 10,93 juta orang. Angka ini masih akan terus membengkak jika kondisi ekonomi tidak segera membaik.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan adalah kembali melirik kekayaan alam yang melimpah. Penggarapan hasil-hasil laut dan hasil-hasil pertanian akan sangat membantu mengatasi keterpurukan ekonomi Tanah Air. Kita sudah miliki kekayaan laut maupun darat (pertanian) yang melimpah, dan “harta pusaka” ini jika diolah secara baik dan profesional tentu sangat berpeluang meningkatkan daya saing secara komparatif dibandingkan negara lain.
Daya Saing Global
Survei World Economic Forum (WEF) yang menyusun Indeks Daya Saing Global tahun 2006-2007 menempatkan Indonesia pada posisi 50 dari 125 negara. Ini lebih baik dibandingkan posisi tahun lalu yaitu pada peringkat 69 dari 107 negara, di bawah Swiss (1), Finlandia (2), Swedia (3). Sementara itu, Survei International Finance Corporation yang bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia juga menempatkan daya saing Indonesia pada posisi “terburuk” yakni peringkat 135 dari 175 negara.
Sangat memprihatinkan menyaksikan posisi Indonesia tersebut. Tapi itulah kenyataan. Soalnya sekarang, bagaimana Indonesia mampu meracik tiga kekuatan, yakni manusia, kapital dan natural reasources untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. Sumber daya alam sudah kita miliki, bahkan sangat berlimpah. Namun, kekayaan alam saja tidak cukup untuk menciptakan “nation competiveness”. Jauh lebih penting dari itu adalah “the man behind the natural resources”.
Penguasaan teknologi disertai spirit atau etos kerja keras merupakan faktor kunci yang bisa membawa kemajuan bagi negara ini. Dibutuhkan usaha serius dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja bangsa ini. Hanya bangsa yang memiliki sumber daya manusia (tenaga kerja) berkualitas dan beretos kerja mumpuni yang mampu menciptakan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dan hanya produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang mampu berbicara dalam kancah persaingan global.
Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society