Tsunami dan Etika Tanggung Jawab

Suara Pembaruan, 26 Juli 2006
Benyamin F. Intan

Luka karena gempa di Yogyakarta dan sekitarnya masih belum pulih, datang bencana lain meluluhlantahkan pantai Selatan Jawa, membuat luka kian menganga. Di tengah-tengah kedukaan yang begitu dalam, kita terhentak oleh berita yang sangat mengejutkan: 45 menit sebelum gelombang tsunami melanda pantai Selatan Jawa, Pacific Tsunami Warning Center Hawaii dan Badan Meteorologi Jepang telah memberikan peringatan dini kepada pemerintah dan Badan Meteorologi Geofisika (BMG).

Pemerintah seharusnya menindaklanjuti, tidak wait and see, mengingat letak Indonesia pada Ring of Fire yang rawan gempa. Jangka waktu 45 menit memang bukan waktu yang lama, tapi cukup bagi pemerintah melakukan langkah-langkah operasional untuk mengantisipasi bencana. Dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, penyampaian informasi dapat tiba dengan cepat ke masyarakat.

Apalagi dilatarbelakangi bencana Bantul yang belum lama terjadi. Masyarakat pasti lebih sigap dan tanggap terhadap informasi dini. Tindakan antisipasi memang tidak akan menyelamatkan semua penduduk pantai Selatan Jawa, tapi paling tidak jumlah korban yang meninggal dan hilang dapat diminimalkan.

Sayang, peringatan dini dicuekin dan dianggap sepi oleh pemerintah. Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman menjelaskan, “kita tidak mengumumkan hal tersebut, karena tidak ingin mengeluarkan peringatan yang dianggap tidak perlu. Bagaimana jika kita mengumumkan adanya bencana itu, tetapi ternyata tidak terjadi?” (Pembaruan, 19/7).

Pemerintah mengabaikan peringatan dini, karena meragukan kebenarannya. Pemerintah kuatir, kalau-kalau informasi disebarkan dan tidak terjadi tsunami, pemerintah akan dituduh memberikan informasi bohong. Keraguan pemerintah, ternyata tidaklah terbukti. Gelombang tsunami menghancurkan pantai Selatan Jawa. Lebih dari lima ratus orang tewas, ratusan lainnya hilang, dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Kelalaian pemerintah, fatal akibatnya.

Tanggung Jawab
Pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, demi menjaga kredibilitasnya, malah membiarkan korban berjatuhan di pihak rakyat. Dengan mengabaikan peringatan dini, pemerintah bisa dikenakan delik hukum, karena telah melakukan crime by omission. Isu tanggung jawab mengemuka disini.

Etika tanggung jawab (the ethics of responsibility), menurut H Richard Niebuhr, selalu dihadapkan pada pertanyaan krusial, what is going on, apa yang sedang terjadi (The Responsible Self, hal. 63). Wacana tanggung jawab sigap terhadap situasi konkret.

Pemerintah harus peka terhadap apa yang sedang going on. Gempa Bantul yang belum lama terjadi, seharusnya membuat pemerintah lebih was-was terhadap bencana bertubi-tubi yang bisa datang sewaktu-waktu. Prinsip pemerintah, seharusnya: lebih baik percaya informasi dini dan tidak terjadi, daripada tidak percaya lalu terjadi. Inilah sikap pemerintah yang bertanggungjawab.

Dalam tataran tanggung jawab, kehadiran elemen akuntabilitas, menurut Niebuhr, sangatlah penting. Tanggung jawab yang berakuntabilitas, tidak boleh takabur dan sembrono. Bagi Niebuhr, tanggung jawab bukan sekadar response terhadap action yang datang, tapi lebih dari itu, harus lahir dari interpretasi pemikiran yang matang. Tapi itu saja tidak cukup.

Respons yang berakuntabilitas, menurut Niebuhr, mengantisipasi action yang merupakan respon terhadap respon yang diberikan (response to an action upon him in accordance with his expectation of response to his response) (The Responsible Self, hal. 65).

Meragukan peringatan dini sangat tidak realistis, mengingat kedua lembaga pemberi data berasal dari negara maju dengan reputasi internasional. Keputusan (respons) pemerintah untuk tidak menindaklanjuti informasi dini, bukan berasal dari pemikiran interpretasi yang matang. Apalagi mengingat pemerintah tidak punya data pembanding, karena BMG tidak memiliki pendeteksi gempa dan tsunami yang memadai.

Kekhawatiran pemerintah jika informasi dini tidak terjadi maka kredibilitas pemerintah jatuh di mata rakyat-dalih ini pun tidak bisa kita terima. Semua informasi, apalagi yang membahayakan masyarakat luas, harus segera disampaikan ke publik. Sekalipun nantinya tidak terbukti, rakyat tetap akan menghargai motif dan perhatian pemerintah. Kebijakan untuk tidak meneruskan informasi dini akibat miskonsep dan miskalkulasi, tak ayal lagi membuat akuntabilitas pemerintah anjlok di mata rakyat.

Moral Evil
Bencana akibat keganasan alam, seperti gelombang tsunami yang melanda pantai Selatan Jawa, kerap kali disebut natural evil. Pemerintah memang tidak akan mampu mencegah kehancuran pantai Selatan Jawa akibat tsunami, tapi tindakan antisipasi akan meminimalkan jumlah korban yang jatuh.

Lalai meneruskan informasi dini, membuat pemerintah ikut bertanggungjawab atas bencana tersebut. Tsunami yang melanda pantai Selatan Jawa bukan lagi sumbangsih natural evil an sich, tapi kesalahan pemerintah juga ikut memberikan kontribusi.

Apa jadinya jika berita kelalaian pemerintah sampai ke telinga para korban? Itu bagaikan bensin disirami ke tubuh orang yang sedang kebakaran. Atau simak perkataan bijak: “seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti (menyirami) cuka pada luka.”

Kelalaian pemerintah bukan hanya sebatas tidak menindaklanjuti early warning, tapi juga karena tidak memiliki sistem penanganan bencana. Tsunami Aceh dan Nias yang menelan korban 250.000 jiwa dan kenyataan letak Indonesia pada daerah rawan bencana, seharusnya membulatkan tekad pemerintah untuk memiliki alat pendeteksi gempa dan tsunami, berapapun harganya.

Alangkah benarnya pepatah kita: “lebih baik mencegah daripada mengobati.” Ongkos membangun sistem pendeteksian dini jauh lebih murah dibandingkan ongkos merehabilitasi paska bencana. Melalui kerjasama internasional bisa dibuat sistem pendeteksian dini yang menghubungkan semua negara, dengan demikian, ongkos yang ditanggung masing-masing negara dapat diminimalkan.

Membangun sistem penanganan bencana, termasuk di dalamnya tanggung jawab pemerintah membangun ketahanan masyarakat untuk menghadapi bencana. Masyarakat disosialisasikan bagaimana menyelamatkan diri dari ancaman gempa dan tsunami.

Jumlah korban akibat bencana harus ditekan seminimal mungkin. Hal ini menjadi tolok ukur bagi akuntabilitas pemerintah. Hanya dengan membangun sistem peringatan dini dan sistem penanganan bencana yang terpadu dan komprehensif, maka jumlah korban bisa diminimalkan, sekaligus mengangkat derajad akuntabilitas pemerintah di mata rakyat.

Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.