Toleransi dan Keragaman Agama-agama

Suara Pembaruan, 16 Oktober 2011
Binsar Antoni Hutabarat

Hari Toleransi Internasional untuk pertama kalinya diperingati pada 16 November 1996. Setahun sebelumnya (16/11/1995), United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengadopsi Declaration of Principles on Tolerance sebuah deklarasi yang dimaksudkan menegaskan kembali pentingnya mempromosikan dan menjamin toleransi, dan hari itu ditetapkan sebagai Hari Toleransi Internasional.

Hari toleransi diperingati untuk menyerukan kepada seluruh warga dunia mengenai pentingnya meningkatkan toleransi dan mengakui, menghormati, serta membiarkan segala bentuk perbedaan yang ada. Untuk Indonesia peringatan hari toleransi menjadi penting karena dari tahun ketahun, ancaman terhadap kebebasan beragama di negeri ini tak juga kunjung surut, bahkan ada indikasi ancaman terhadap kebebasan beragama itu terus bertambah jika tidak ingin dikatakan kian merajalela.

Sampai akhir Oktober 2011, berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), telah terjadi penutupan dan ancaman terhadap 34 Gereja di negeri ini. Dalam tahun 2011 tercatat 47 Gereja mengalami gangguan di tanah air ini. Menjelang perayaan Natal, Gereja-gereja yang mengalami gangguan pada tahun ini bisa lebih banyak lagi. Artinya, ancaman terhadap kebebasan beragama pada tahun ini bisa jadi akan lebih hebat dibandingkan tahun -tahun sebelumnya.

Pemerintah, sebagai pemegang mandat konstitusi bertanggung jawab langsung untuk menegakkan konstitusi. Pemerintah harus aktif memproteksi hak kebebasan beragama setiap warga negara yang memeluk agama apapun. Karena pluralitas agama adalah realitas yang diakui oleh konstitusi di negeri ini. Dan toleransi memiliki peran penting dalam merawat keberagaman agama-agama yang ada di negeri ini.

Pada Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (31 oktober- 4 November 2011) di Cipayung dengan tema, “Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan” disimpulkan bahwa larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok garis keras semakin banyak terjadi. Itu membuktikan, kelompok-kelompok garis keras masih menolak keberagaman agama-agama.

Pertemuan tersebut juga menegaskan, “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” Meningkatnya intoleransi agama sebagaimana dilansir dalam pertemuan tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus menguat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu justru makin melemah. Maraknya parta-partai berdasarkan agama pada era reformasi bisa jadi memiliki andil dalam hal tersebut.

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let die). Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam.

Padahal, awalnya Indonesia terkenal dengan pluralismenya dan semangat interdepedensi agama yang tinggi. Indonesia terkenal sebagai surganya agama-agama. Karena di Indonesia agama-agama mendapatkan tempat persemaiannya yang subur. Itulah sebabnya agama-agama besar yang berasal dari luar negeri ini, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Kong Fu Tsu dapat bertumbuh subur. Bahkan agama-agama itu kemudian bercampur menjadi aliran-aliran kebatinan yang hingga kini tetap eksis di negeri ini.

Pancasila dengan semangat Bhineka Tunggal Ika Nya menjadi payung semua agama-agama yang berbeda dan beragam, dan agama-agama yang berbeda dan beragam itu diterima sebagai kekayaan bukan sebagai ancaman. Sikap curiga antaragama bukanlah warisan leluhur bangsa ini. Bisa dipastikan, makin tergerusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah penyebab utama raibnya rasa saling percaya antarwarga bangsa di negeri ini.

Butuh Konsistensi pemerintah
Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisiten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.

Tidak tuntasnya penyelesaian kasus penutupan, penyegelan, sampai pada perusakan dan pembakaran rumah ibadah yang terjadi di negeri ini telah menjadi preseden buruk bagi penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut telah melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia. Akibatnya, ancaman terhadap kebebasan beragama terus berlangsung di negeri ini. Pluralitas agama masih di tolak oleh banyak orang di negeri karena minimnya konsisitensi pemerintah dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama.

Lemahnya konsisitensi pemerintah dalam memberikan proteksi kebebasan beribadah terlihat jelas pada kasus penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Sejak 2008, umat GKI Yasmin berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang dilindungi oleh konstitusi, bahkan perjuangan itu mendapatkan dukungan umat berbagai agama yang pro-pluralisme, namun IMB yang telah mereka dapatkan secara sepihak dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Meski telah memenangi gugatan di PTUN Bandung, bahkan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA), Wali kota Bogor Diani Budiarto bergeming dengan sikapnya, yakni tetap membekukan IMB GKI Yasmin, bahkan melarang umat beribadah di lokasi tersebut.

Herannya, pemerintah pusat tetap tak bereaksi. Padahal, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui bahwa peristiwa itu akan menciptakan instabilitas Kota Bogor setelah beberapa partai politik mencabut dukungannya kepada Diani Budiarto. Pencabutan dukungan terhada[p Diani bukan hanya dilakukan oleh PDI-P, tetapi juga Golkar, dan bukan mustahil partai-partai lain.

Kegagalan pemerintah dalam merawat toleransi di negeri ini tercermin pada tindakan sejumlah orang yang pada peringatan hari toleransi tahun ini mengirimi Presiden SBY sebanyak 2011 kartu pos yang dibubuhi tanda tangan masyarakat, berisi dorongan kepada pemerintah untuk bersikap tegas pada kelompok-kelompok intoleran yang kerap melakukan penyerangan terhadap kebebasan beragama di negeri ini. Maraknya intoleransi agama di negeri ini jelas merupakan tanggung jawab pemerintah.

Pemerintah tidak boleh membiarkan kekerasan agama terus terjadi. Sikap tegas pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan tentu saja akan mendapat dukungan mayoritas rakyat di negeri ini. Sikap tegas pemerintah dalam berpegang pada konstitusi akan berbuah manis, yakni bertumbuhnya semangat toleransi yang merupakan nilai-nilai bermutu bangsa ini, sehingga keberagaman agama-agama dapat diterima sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman.

Binsar Antoni Hutabarat, Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.