Suara Pembaruan, 29 Januari 2007
Benyamin F. Intan
Angkutan udara dan laut adalah sarana transportasi yang paling bisa diandalkan untuk negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki lebih dari 20.000 pulau.
Melalui kemajuan teknologi, kedua sarana transportasi yang memudahkan mobilitas manusia dan barang dari satu daerah ke daerah lain ini, ternyata tidak hanya memberikan kebahagiaan bagi manusia, tetapi juga melahirkan derita.
Hilangnya pesawat Adam Air bersama seluruh penumpang dan awak pesawat karena keterbatasan teknologi pesawat mengatasi ganasnya alam adalah potret pedihnya derita yang diakibatkan oleh teknologi yang tak lagi terkendali.
Kegirangan Indonesia menikmati alat transportasi udara yang diekspresikan dengan ambisi menciptakan pesawat secara mandiri pada masa BJ Habibie tidak membuat Indonesia dapat menikmati kemajuan teknologi itu secara maksimal.
Pasalnya Indonesia yang katanya telah mampu membuat pesawat udara itu ternyata adalah negeri dengan kecelakaan pesawat udara tertinggi di Asia, dan menurut data internasional, potensi risiko kecelakaan pesawat di Indonesia menempati ranking ketiga besar, setelah Amerika Latin dan Rusia.
Setiap tahun, kecelakaan udara di Indonesia mulai pesawat tergelincir sampai pesawat jatuh rata-rata terjadi sembilan kali. Derita akibat kecelakaan transportasi udara masih harus ditambah dengan kecelakaan yang terjadi di laut.
Pada bulan Desember 2006 saja tercatat 5 kecelakaan kapal laut yang menelan korban manusia. Dan yang paling mengenaskan adalah tenggelamnya KM Senopati Nusantara dengan 628 penumpang, yang mana hingga kini masih ratusan penumpang belum berhasil ditemukan dengan korban meninggal yang telah ditemukan puluhan orang.
Jeratan Teknologi
Kecelakaan beruntun pada angkutan udara dan laut yang berteknologi tinggi itu, mengingatkan kita pada film klasik Amerika Frankenstein yang menceritakan keberhasilan seorang ilmuwan menghidupkan manusia yang telah mati.
Namun sayangnya manusia yang telah dihidupkan itu kemudian berubah menjadi monster Frankenstein, makhluk jahat dan buas yang pada akhirnya membunuh manusia dan penciptanya sendiri.
Walau Frankenstein hanya sebuah film, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengingatkan kita supaya berhati-hati dengan teknologi yang dicipta, apabila tak lagi terkendali, akan berpotensi membunuh manusia.
Angkutan udara dan laut yang terus membawa petaka, apabila tidak diantisipasi dan dicegah dengan introspeksi dan koreksi, akan bermetamorfosa menjadi Frankenstein-Frankenstein teknologi yang terus-menerus membawa ancaman serius bagi keselamatan manusia.
Keterkaitan erat manusia dan teknologi tidak bisa dipungkiri. Manusia sebagai citra Allah (imago Dei) digambarkan Benjamin Franklin sebagai man is a tool-making animal, manusia adalah binatang pembuat perkakas.
Maksudnya, kemampuan membuat perkakas (baca: teknologi) adalah ciri penting yang membedakan manusia dari binatang. Tanpa teknologi, manusia tak ada bedanya dengan binatang.
Bagaikan dua sisi dari mata uang logam, manusia dan teknologi merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia memiliki Janus face, bermuka dua. Di satu pihak, membawa berkah yang tak terkira, hidup manusia dibuat nyaman olehnya, efisiensi kerja dapat ditingkatkan, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat. Tapi di lain pihak, teknologi dapat membawa petaka.
Kebergantungan yang sangat pada teknologi lambat laun membuat hidup manusia tak terpisahkan dari lingkungan teknologi yang dibuatnya. Akibatnya manusia tidak lagi hidup dalam lingkungan alamiah, melainkan dalam lingkungan yang diciptakan oleh teknologi.
Hal demikian, menurut pemikir Perancis, Jacques Ellul, sangat berbahaya oleh karena lingkungan teknologi memiliki sifat automatism (technical automatism) yang berkembang menurut hukumnya sendiri (self-directing) dan bersifat nihilistik tanpa tujuan, tanpa tata nilai.
Ellul mempertanyakan, mungkinkah manusia yang telah hidup dalam lingkungan teknologi, mampu melepaskan dirinya dari peradaban teknologi yang arahnya ditentukan oleh hukum-hukum dari teknologi itu sendiri? (The Technological Society, hal. 79-94).
Contohnya mobil, penemuan teknologi yang diharapkan mendatangkan banyak manfaat bagi manusia. Dengan mobil pekerjaan menjadi lebih efisien, kehidupan menjadi jauh lebih nyaman.
Tapi di lain pihak, mobil sumber petaka. Meninggal akibat kecelakaan mobil terus bertambah, melampaui meninggal akibat penyakit. Tahun 2005 yang lalu, jumlah yang tewas di jalan raya 36.000 orang, artinya 99 warga kita tewas setiap hari! Dengan angka tersebut, Indonesia menduduki ranking dunia kedua besar setelah Nepal.
Polusi dan kemacetan akibat kepadatan mobil telah melebihi ambang batas. Pertanyaannya sekarang, mampukah manusia melepaskan kebergantungan hidup tanpa mobil? Rasanya mustahil.
Menarik bahwa setelah hilangnya pesawat Adam Air, angkutan udara tetap diminati orang, walau beberapa waktu lalu mulai dijauhkan orang karena cuaca buruk, tapi itu hanya untuk sesaat. Sementara korban terus saja berjatuhan, ibarat tinggal tunggu waktu.
Pelanggan Adam Air tetap saja ramai seperti biasanya, hilangnya pesawat Adam Air sepertinya tidak membuat masyarakat jera, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Manajemen Transportasi
Di sinilah dilemanya, kita tahu permasalahannya tapi tidak mampu mengatasinya. Lalu, siapakah yang salah? Menurut Peter Drucker, jika harus dicari kambing hitamnya, maka yang bersalah bukan “alat” (baca: teknologi) tetapi manusia yang membuat alat itu.
Kebergantungan pada teknologi apabila tidak dibarengi dengan penguasaan atas teknologi akan membuat teknologi yang tadinya melayani kebutuhan manusia, menjelma menjadi tuan yang menguasai kehidupan manusia.
Pelan tapi pasti dominasi teknologi yang berpotensi meluluh-lantahkan kehidupan manusia, mengungkung dan menggerogoti hidup manusia. Itu sebabnya mengapa penguasaan terhadap teknologi menjadi suatu keharusan.
Ketidakmampuan manusia mengendalikan teknologi bukan tidak mungkin akan membuat teknologi menjelma menjadi monster yang ganas.
Penguasaan teknologi angkutan udara dan laut harus dimulai dengan membenahi manajemen transportasi publik.
Sehingga isu pemaksaan pilot yang menjadi penyebab malapetaka pesawat Adam Air tidak perlu terjadi, demikian juga laik atau tidaknya penerbangan tidak perlu lagi dipermasalahkan, jika memang manajemen angkutan udara telah berjalan dengan baik.
Kelalain pilot memperhatikan laporan cuaca dari Badan Metereologi dan Geofisika tidak akan terjadi jika ada sanksi tegas dari pihak manajemen. Persoalan buruknya cuaca yang mengakibatkan tenggelamnya KM Senopati adalah bukti amburadulnya sistem manajemen transportasi kita.
Disana jelas terbaca kapten kapal tidak lagi peduli dengan cuaca buruk yang akan membahayakan pelayaran, belum lagi penggunaan kapal yang tidak pada tempatnya.
Kabarnya, KM Senopati yang seharusnya digunakan sebagai kapal penyeberangan ternyata difungsikan sebagai kapal penumpang. Lebih parah lagi ketika kapal itu tenggelam, alat-alat bantu keselamatan tidak tersedia dengan cukup untuk semua penumpang dapat menyelamatkan diri, tidak heran jumlah yang meninggal dan hilang mungkin tenggelam bersama dengan kapal sangat banyak.
Manajemen transportasi yang baik terkait erat dengan penguasaan teknologi demi meminimalkan pembalikan fungsi teknologi, dan secara bersamaan memaksimalkan teknologi bagi kebahagiaan manusia.
Disini disiplin yang tinggi menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi untuk memenuhi tuntutan hukum teknologi yang harus dipenuhi.
Mudah-mudahan bencana transportasi pada segala model transportasi dapat menyadarkan pentingnya manajemen transportasi bagi penguasaan teknologi, untuk tetap menjadikan teknologi sebagai budak bukan tuan dari manusia.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society