Suara Pembaruan, 27 September 2011
Binsar Antoni Hutabarat
Ledakan bom yang diduga aksi bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Tegal rejo, Jebres, Solo, Jawa tengah, Minggu (25/11) pagi kembali menorehkan luka bangsa ini. Sebanyak 22 orang anggota jemaat terluka akibat semburan paku, baut dan mur dari bom yang meledak di pintu keluar gereja, 14 orang mengalami luka parah dan harus menjalani operasi, sedang pria pelaku pengeboman tewas dengan dada dan perut berlubang.
Ledakan bom di Solo ini adalah peristiwa ke empat yang terjadi pada tahun ini setelah sebelumnya terjadi ledakan bom di Swalayan SM, jalan Yos Sudarso, Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Sabtu (18/6/2011), ledakan bom di masjid kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota 15 April 2011, dan ledakan bom paket yang ditujukan kepada pendiri Jaringan Islam Liberal, di jakarta Timur (Maret 2011).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan ada bukti-bukti bahwa bom Solo terkait dengan jaringan pengebom Cirebon. Dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Minggu malam, dengan didampingi oleh Wakil Presiden Boediono dan Menko Polhukam Djoko Suyanto, Presiden juga menegaskan bahwa kejadian yang terjadi di Solo itu meneguhkan, “ancaman terorisme masih ada di Indonesia, ancamana itu nyata.” Itu semestinya menumbuhkan kesadaran bahwa bahaya terorisme merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai setiap orang di negeri ini.
Kita tentu setuju, Aksi terorisme bukanlah khas Indonesia, banyak negara di dunia juga mengalami ancaman yang sama. Bahaya terorisme merupakan fenomena global. Namun, tidak salah jika kita bertanya, mengapa Indonesia termasuk negara paling rawan terhadap ancaman terorisme ketimbang sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, dan Singapura misalnya.
Kejahatan luar biasa
Melihat sejarah ledakan bom yang mematikan dan menimbulkan trauma yang amat besar di negeri ini, pemerintah mestinya lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menangani aksi-aksi terorisme. Pemerintah bukan hanya perlu meningkatkan kemampuan intelejen, serta kemampuan aparat kemanan pada umumnya, tetapi juga harus lebih serius dalam melaksanakan penegakkan hukum terhadap penyelesian kasus-kasus yang terindikasi tergolong tindakan terorisme. Dari segi kualitas tindakan terorisme makin menurun dibandingkan aksi teror bom yang terjadi pada 2000-2009, namun dari segi kuantitas ternyata makin bertambah, tahun ini saja telah terjadi empat kali ledakkan.
Kita semua tahu, serangan “bom manusia”selalu saja berakibat fatal. Lebih mengerikan lagi, sampai saat ini belum ditemukan cara efektif untuk mengatisipasi metode serangan bunuh diri itu. Meski dari segi kualitas tindakan terrorisme makin menurun, namun tetap saja aksi bom bunuh diri yang mematikan itu tetap menimbulkan ketakutan dan kengerian yang mendalam.
“Bom manusia” yang mengerikan itu tidak melulu karena latar belakang agama, namun metode tersebut juga dilakukan dalam konflik yang berlatar belakang politik, sebagaimana terjadi pada banyak negara. Pada sisi lain, sesungguhnya tidak ada hal spesifik dari perbedaan agama itu sendiri yang bisa membuatnya memiliki kecenderungan untuk konflik. Jadi, tindakan terrorisme dengan latar belakang apapun harus dilihat sebagai kejahatan luar biasa serta bertentangan dengan ajaran agama-agama yang mengagungkan perdamaian.
Terror bom di negeri ini terbukti telah menciptakan kondisi tidak aman bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila tentu saja mengutuk tindakan tersebut. Namun, kutukan keras terhadap tindakan biadab tersebut tidak cukup hanya diutarakan pada peristiwa-peristiwa ketika tindakan tak beradab itu terjadi. Kutukan itu harus terus dikumandangkan untuk mengingat semua orang di negeri ini bahwa terorisme dalam segala bentuknya adalah musuh kemanusiaan.
Harus diakui di negeri ini masih kerap terdengar suara lantang radikalisme yang mendukung tindakan tak beradab itu, tapi itu hanya merupakan kelompok kecil. Namun, apabila tidak ada suara lantang yang menyeimbangkannya maka akan mengakibatkan lahirnya pemikiran bahwa mayoritas bangsa ini mendukung tindakan teror sebagaimana disuarakan kaum radikalisme.
Bukan khas Indonesia
Penegakkan hukum dalam hal ini menjadi kata kunci bagi penyelesaian konflik yang beradab. Keberhasilan pemerintah meredam konflik Ambon yang terjadi baru-baru ini jelas menunjukkan pentingnya tindakan cepat penegakkan hukum untuk menghambat penyebaran konflik secara liar.
Penegakkan hukum akan memungkinkan terciptanya suatu komunitas beradab dari manusia yang beradab. Karena hukum adalah peta keadilan, melalui hukum semua orang dapat melihat manakah tindakan yang sesuai dengan asas keadilan dan mana yang tidak sesuai dengan asas keadilan. Tindakan Teorisme yang tidak adil itu akan terang bederang dihadapan hukum, dan itu akan menyadarkan semua orang di negeri ini untuk bersatu memerangi terorisme, dan secara bersama mengumandangkan bahwa tindakan terorisme bukan khas Indonesia.
Tepatlah apa yang dikatakan Ketua gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam menyikapi kasus Solo, Pemerintah harus mengusut tuntas oknum yang bermain dalam peristiwa itu, serta menjelaskannya secara transparan kepada masyarakat demi mengembalikan rasa aman dan memulihkan trauma masyarakat.Sebaliknya, masyarakat harus mentaati hukum dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum yang akan membuat kehidupan bersama menjadi lebih runyam.
Tahun lalu (07/12) juga telah terjadi serangan bom molotov di Paroki Kristus Raja Sukahardjo, Solo. Pemerintah harus menindak tegas setiap individu atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan di negeri ini. Kelompok-kelompok yang kerap melahirkan kekerasan di negeri ini juga harus ditindak secara tegas.
Pengungkapan secara transparan kejadian Solo tentu saja penting untuk mengembalikan rasa aman masyarakat, terlebih lagi menjelang perayaan Natal tahun ini. Tanpa itu masyarakat Kristen tentu akan dibayangi trauma bom-bom Natal pada Desember 2000 di Jakarta. Akibatnya, rasa aman akan menjadi barang mewah di negeri ini.
Pemerintah atau aparat kepolisian tentu tidak boleh secara serta merta menuntut perlakuan-perlakuan khusus dalam penanganan terhadap terorisme. Karena semakin otonom aparat kepolisian menangani peristiwa itu, semakin besar kepanikan opini publik. Pemerintah mesti mewaspadai agar pemberantasan terorisme itu tetap berada pada aturan-aturan hukum yang ada, sehingga tidak mencederai demokrasi yang mulai mekar di negeri ini, apalagi tujuan terorisme utamanya adalah menyasar demokrasi yang mulai mekar di negeri ini.
Pemenuhan kepentingan publik sama pentingnya dengan pemenuhan hak-hal individu, itu mungkin terwujud melalui penegakkan hukum. Kita tentu setuju, apa yang dikatakan Michael Ignatieff, “mengabaikan salah satu dari antara keduanya akan menciptakan kesalahan-kesalahan moral yang fatal,” yang akan menyuburkan terorisme, sebagaimana pernah digelorakan George Walker Bush. Cara-cara itu juga bukan khas Indonesia yang berpegang pada demokrasi berdasarkan Pancasila.
Binsar Antoni Hutabarat, Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society