Investor Daily, 2 Desember 2006
Antonius Steven Un
Tayangan kekerasan smack-down di televisi sudah banyak menimbulkan korban. Diantaranya siswa kelas III SDN Cingcin I Kabupaten Bandung, Reza Ikhsan Fadilah (9 tahun), yang meninggal setelah bermain gulat bersama tiga temannya lantaran meniru tayangan smack-down di televise atau VCD. Kedua tangan Reza dipelintir ke belakang kemudian ditindih tiga siswa kelas VI SD, kelas I SMP, dan kelas III SMP.
Akibat kondisinya terus memburuk, Reza meninggal di pangkuan ayahnya, Kamis (16/11) malam. Saat ini kasusnya sedang ditangani Polda Jawa Barat. Timbul pertanyaan dalam benak kita tentang peran dan tanggung jawab sosial media televise bagi bangsa kita.
Tulisan ini bermaksud mengevaluasi efek samping media televisi (what is) dan merevitalisasi kembali peran dan tanggung jawab sosial media televise yang seharusnya ada (what ought).
Efek Siaran Televisi
Karena pertimbangan keuntungan bisnis dan kurangnya tanggung jawab sosial makasiaran televisi menimbulkan beberapa efek samping negatif bagi masyarakat. Siaran televisi mentransfer nilai-nilai buruk kepada masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Ambil contoh saja nilai-nilai kekerasan. Di satu sisi, siaran berita televisi menayangkan upaya rekonsiliasi terhadap kerusuhan dan kekerasan di Poso. Di sisi lain, siaran smack-down menyiarkan kerusuhan/keroyokan yang bukan saja ditangkap polisi tetapi dipuja-puji para penonton. Kalau begini, tidak heran tarwuran pelajar/mahasiswa menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan.
Apa yang dideskripsikan media televisi dapat menjadi suatu yang normatif di tangan masyarakat. Siaran berita kriminal begitu detail bisa menjadi imajinasi dan inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan kejahatan. Bukankah reproduksi kejahatan lebih gampang daripada reproduksi kebaikan? Tayangan bunuh diri dari siaran berita kriminal atau sinetron dapat menginspirasikan seorang anak remaja yang patah hati untuk mengambil jalan pintas dan bunuh diri.
Selain itu, siaran televisi sulit membawa kepada pendalaman wawasan dan pemikiran pemirsa. Hal tersebut disebabkan siaran televisi memanfaatkan setiap detik siarannya sehingga tidak ada lagi waktu bagi pemirsa untuk merenungkan/menghayati apa yang disiarkan. Ebrbeda dengan media cetak di mana pembaca dapat melakukan refleksi, media televisi menuntut pemirsa – bahkan ketika tayangan iklan – untuk menaruh perhatian serius pada tiap detik tayangannya. Jacques Ellul mengamati realitas visioner dari gambar-gambar yang saling bertaut tak memungkinkan wacana, penjelasan, duplikasi atau renungan yang kritis. Sulit bagi pemirsa untuk merenungkan dan mengevaluasi karakter-karakter dalam sinetron/film ketimbang ketika membaca novel dari C.S Lewis, Tolkins atau Charles Dickens.
Seperti yang diamati professor filsafat dari Denver University, USA, Douglas Groothuis, “televisi tanpa henti menyajikan dunia palsu dari diskontinuitas dan fragmentasi”. Siaran televisi tidak mementingkan konteks yang rasional untuk keseluruhan acara. Plot hanya ada pada suatu film/berita tetapi tayangan televisi suatu hari atau tiap-tiap hari berjalan tanpa alur. Sebagai contoh misalnya, setelah suatu tayangan dokumentasi tentang kemiskinan di NTT, diikuti oleh iklan tentang kenyamanan memanjakan diri di sebuah resort di Bali. Kedua hal ini bersifat disintegrasi/diskontinuitas.
Siaran televisi juga menyebabkan kerenggangkan komunikasi dan sosialisasi dalam kehidupan pemirsa. Sebelum adanya televisi, para anggota keluarga makan malam sambil ngobrol meja makan, membicarakan tentang keinginan untuk berlibur ke Bali. Tetapi setelah adanya media televisi di rumah, para anggota keluarga makan malam dan masing-masing tiba-tiba menjadi pendiam untuk menyimak acara televisi. Kalapun berdiskusi, materinya bukan interpersonal relationship tetapi materinya adalah apa yang sedang ditayangkan televisi.
Tanggung Jawab Sosial
Dengan efek samping negatif yang ditimbulkan, kita perlu mereposisi kembali peran televisi dalam kaitan dengan tanggung jawab sosial. Teori ini mendukung ide bahwa pers memang seharusnya mendukung sistem ekonomi, menyajikan hiburan dan mencetak laba, namun fungsi-fugsi ini harus dinomorduakan setelah fungsi promosi demokrasi dan pencerdasan publik.
Teori tanggung jawab sosial menuntut media televisi untuk tidak sekedar menjadi unit bisnis dan media hiburan. Dengan sekedar menjadi unit bisnis mkaa penyelenggaraan siaran televisi akan menjadi sangat pragmatis, hanya soal untung rugi dan mengabaikan nilai dan prinsip serta pendidikan publik. Dengan sekedar menjadi media hiburan maka media televisi berorientasi kepada pasar, menyenangkan publik tanpa memperdulikan apa yang disajikan benar atau tidak, baik atau tidak dan perlu atau tidak.
Tuntutan ini bukanlah sesuatu yang berlebihan mengingat media televisi mempunyai dua kekuatan penting. Pertama, media televisi menggunakan ruang publik secara leluasa dan simultan. Siaran sebuah stasiun televisi dapat ditangkap di berbagai kota dan pelosok desa yang menerima siarannya pada saat yang sama sekaligus. Itu sebabnya, jikalau media televisi tidak memikirkan tanggung jawab sosialnya maka siaran yang ditayangkan akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Kedua, media televisi dengan visualisasinya memiliki kekuatan pengaruh yang lebih besar dari koran dan radio. Visualisasi dapat emmbangkitkan imajinasi dan imitasi dengan sangat mudah. Itu sebabnya, jika media televisi tidak mempertimbangkan dan menyadari tanggung jawab sosialnya sungguh kehadiran media televisi bukanlah menjadi berkah bagi masyarakat tapi justru akan menjadi malapetaka.
Karena dua kekuatan ini, maka perlu ada reposisi peran media televisi dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Pertama-tama, media televisi tidak boleh melupakan fungsi edukasi di dalam penyiarannya. Dengan dua kekuatan tadi maka media televisi adalah media efektif dalam pendidikan publik. Sebagai contoh, pendidikan politik yang tidak boleh tidak ada di dalam upaya demokratisasi, harus menjadi salah satu agenda dari media televisi.
Kedua, media televisi berperan sebagai kontrol sosial atau alat penekan yang ekstensif dan efektif. Sekalipun tidak selalu dalam bentuk paksaan, tayangan media televisi dapat muncul dalam bentuk bujukan. Namun patut diwaspadai, peran kontrol sosial ini tidak boleh melulu digunakan untuk kepentingan komersial atau kepentingan politik tertentu kecuali demi kepentingan moral dan kemanusiaan.
Ketiga, media televisi dapat berfungsi kritik bagi kepentingan demokrasi. Dengan adanya kebebasan pers setelah era reformasi maka seharusnya kehadiran media untuk terus-menerus mengkritik dan memberi masukan kepada kebijakan pemerintah. Media televisi dan emngundang opini, wacana dan diskusi publik untuk memberikan kritik bagi pemerintah. Kritik kepada pemerintah tidak harus dikemas dalam bentuk talkshow tetapi juga film-film documenter tentang kemiskinan untuk emnyerukan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan secara adil. Dengan begini maka demokratisasi akan tetap terpelihara di Negara yang kita cintai.
Keempat, media televisi berperan sebagai agen perubahan bagi kebudayaan dan peradaban. Ada banyak nilai-nilai positif yang dapat diajarkan. Nilai kekerasan tidak boleh menjadi satu-satunya nilai yang diajarkan melalui televisi, jika kita mengharapkan bertumbuhnya demokrasi. Secara realistis, tidak hanya melalui ceramah, dialog atau talkshow tetapi juga melalui film-film berbobot. Misalnya, film Les Miserables yang diangkat dari novel Victor Hugo mengajarkan bukan nilai-nilai kekerasan dan balas dendam, tetapi cinta kasih, pengampunan dan penerimaan. Ada banyak film yang lain yang berbobot dan mengajarkan nilai-nilai yang positif. Dengan demikian, masyarakat bertumbuh dalam kebudayaan dan peradaban melalui hadirnya media televisi.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society