Sinar Harapan, 24 Januari 2008
Antonius Steven Un
Awan hitam kembali menudungi alam persepakbolaan tanah air. Pertandingan Liga Indonesia Delapan Besar antara Persiwa Wamena versus Arema Malang diakhiri pemukulan asisten wasit, pemukulan pemain dan pembakaran atribut pertandingan di Stadion Brawijaya Kediri, 16 Januari. Keesokan harinya, dalam pertandingan antara Persik Kediri dan Persija Jakarta di Stadion Manahan Solo, pelatih Persija Sergei Dubrovin dengan berang-berang memprotes keputusan wasit yang mensahkan gol striker Christian Gonzales. Pertandingan tersebut diakhiri dengan perkelahian antara pemain Persik dan Persija yang melibatkan Christian Gonzales, Abanda Herman dan penjaga gawang asal Moldova, Khamaruk.
Apa yang terjadi dalam kompetisi bergengsi di tanah air ini seolah-olah mengkonfirmasi anekdot yang lama beredar di masyarakat, “Apa perbedaan antara sepak bola dan tinju? Bedanya adalah, kalau dalam pertandingan tinju, tidak ada orang yang bermain sepak bola. Tetapi dalam pertandingan sepak bola, banyak yang bermain tinju”. Konflik dan kekerasan terjadi dalam ragam relasi, antara lain, konflik antar pemain antar klub, antar pemain dan wasit, antar pemain dan penoton dan yang paling sering terjadi, antar penonton dan penonton.
Mengapa pertandingan sepak bola amat rentan konflik dan kekerasan? Tidak bisa dipungkiri, jawaban terdepan adalah karena cabang ini amat diminati masyarakat, suatu kekuatan sekaligus ancaman. Hampir tidak ada cabang olah raga yang mempunyai stadion dengan kapasitas tempat duduk penonton melebihi sepak bola. Pertandingan yang dimainkan tim legendaris seperti Persija, PSIS, Persib, Persebaya, Arema dan Persik disaksikan puluhan ribu penonton, apalagi pada musim dan kondisi tertentu. Antusiasme ini disebabkan, publik sedang mengejar kepuasan. Antitesis dari kepuasan yakni kekecewaan itulah salah satu sumber konflik dan kekerasan. Hal inilah yang menjadi pemicu kerusuhan di Stadion Brawijaya Kediri beberapa hari lalu, kecewa kepada kepemimpinan wasit dan asistennya yang menganulir tiga gol yang dilesakkan pemain Arema Malang.
Paradigma Menang-Kalah
Selain itu, sepak bola, mirip dengan politik, sebagaimana dikatakan ahli politik, Harold Laswell, berbicara soal “who gets what, when and how” (1972). Artinya, sepak bola merupakan ranah sarat kepentingan. Bukan saja publik tetapi juga pemerintah daerah pemilik klub plat merah seperti Persija, Persik dan Persebaya, juga sponsor dan pihak swasta peminat dan pendukung seperti Pemilik Arema, Pabrik Rokok Bentoel, dan lain sebagainya. Dengan ragam kepentingan dalam ranah kompetisi ketat terbatas maka konflik kepentingan berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Sepak bola juga rentan konflik dan kekerasan karena penyelenggaraannya telah diparadigma secara reduktif, hanya soal menang-kalah sehingga mirip dengan kekuasaan politik, cenderung menghalalkan segala cara. Karena itu, kerap, kekerasan dan cara-cara premanisme digunakan asal dapat mencapai apa yang diinginkan. Sebagai contoh, guna menghentikan laju striker berbahaya, pemain belakang kerap sengaja melakukan tackling kaki, dan bukan tackling bola yang berpotensi mencederai lawan secara permanen dan mengakhiri karir lawan dalam sepak bola. Cara-cara lain yang premanisme juga antara lain dengan kasus suap dalam pengaturan skor, yang bahkan menghinggapi liga sepak bola sekelas Liga Italia. Penggunaan cara kekerasan dan premanisme demikian, tidak jarang mengundang dan diselesaikan oleh cara kekerasan lainnya.
Kita mengkritisi elite politik yang membonsai ranah politik sebagai kanal meraup kekuasaan semata, karena itu dengan pola yang sama kita juga harus mengkritisi pelaku sepak bola, jika membonsai cabang olah raga itu semata-mata sebagai kanal meraih kemenangan. Sepak bola harus menjadi ranah mempertontonkan demokrasi dan moralitas. Kemenangan dan nilai-nilai-nilai moral tidak boleh diparadigma dalam model relasi dikotomis/ either-or. Para pelaku sepak bola harus berani menetapkan hati bahwa kemenangan tanpa moral-etika bukanlah merupakan kemenangan sejati. Penggunaan kekerasan dalam sepak bola harus dibaca sebagai bentuk penghinaan diri karena merupakan bukti timnya kalah kualits dan tidak kompetitif. Bukan saja demikian, bahkan kemenangan haruslah diparadigma sebagai hasil kerja keras tim, skil individu ditambah dengan kerja sama tim yang kompak. Pelaku sepak bola harus berani mengejar kemenangan berdasarkan ketekunan.
Matinya Sepak Bola Sejati
Dengan begini, seharusnya pihak pengelola klub sepakbola menetapkan kriteria pelatih dan pemain bukan semata-mata berada pada faktor teknis tetapi penting juga faktor non teknis. Seorang pelatih dianggap memenuhi kriteria teknis jika jeli dalam menemukan bakat talenta pemain, jago memotivasi pemain, pandai meramu materi pemain terbatas dengan hasil maksimal dan seterusnya. Di dalam semua kriteria ini, kita melihat bahwa sebenarnya faktor teknis dan non-teknis tidak dapat didikotomi.
Memiliki pelatih dengan kejelian menyusun strategi tanpa kemampuan memotivasi pemain mengakibatkan pemain kehilangan semangat dan kalah sebelum bertanding. Selain unsur motivasi, unsur moralitas juga harus menjadi salah satu kriteria agar dapat menghasilkan sepak bola yang holistik. Memang mencari pelatih yang bermoral dan motivasi tinggi tanpa keahlian teknis bukanlah hal yang realistis. Tetapi mencari pelatih yang berteknik tinggi tanpa kemampuan moralitas dan motivasi, juga bukan hal yang bertanggung jawab. Kriteria yang sama juga harus diterapkan kepada pemain. Untungnya, sejumlah klub sudah berani mencoret pemain temperamental yang mungkin haus gol tetapi doyan bertengkar.
Sepak bola bermoral juga berarti penyelenggaraan yang ruled by law. Karena itu, pemukulan terhadap wasit, terlepas dari ketidakbecusan kepemimpinannya, harus diparadigma sebagai perlawanan terhadap otoritas hukum, karena sebenarnya terdapat mekanisme hukum. Sepak bola bermoral, salah satu wujudnya adalah penghormatan terhadap wasit dan hakim garis sebagai representasi hukum di lapangan hijau. Dengan begini, mudah-mudahan, sepak bola kita adalah sepak bola yang bukan saja maju secara teknik tetapi juga secara moral.
Menuju penyelenggaraan sepak bola bermoral, penonton merupakan faktor yang paling tidak mudah untuk dikelola. Pada liga sekelas Liga Premier Inggris pun, kerap kesulitan mengelola hooligans. Perlu ditanamkan kepada suporter bahwa sebagaimana suksesi kepemimpinan berdarah adalah tanda kematian demokrasi, maka kemenangan tim sepak bola berdarah merupakan tanda matinya sepak bola sejati. Tidak bisa dihindari bahwa kerja sama baik yayasan suporter dengan pengelola klub dalam hal pengelolaan jaringan, komunikasi dan pembinaan suporter merupakan hal yang harus terus diupayakan.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Rohaniawan, Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society