Tahun Kelam Beragama

Suara Pembaruan, 27 Desember 2010
Binsar A. Hutabarat

Pada puncak perayaan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin 20/12, Wakil Presiden, Boediono mengungkapkan bahwa kuatnya solidaritas sosial masyarakat Indonesia terlihat ketika ribuan orang tanpa mengenal suku, ras dan golongan bahu membahu membantu korban bencana Merapi, Wasior dan Mentawai. Solidaritas sosial masyarakat Indonesia ini mestinya juga hadir dalam mengatasi tantangan sosial di negeri ini, khususnya dalam proteksi kebebasan beribadah yang adalah hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak bisa ditunda, dan kini sedang mengalami ancaman.

Pada masa perjuangan kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tentara dan rakyat Indonesia bahu membahu mengusir penjajah, dan itu menjadi peneguhan betapa tangguhnya kesetiakawanan sosial bangsa Indonesia, khususnya pada momentum 20 Desember 1948, saat mengusir penjajah Belanda yang menduduki Yogyakarta, yang pada waktu itu adalah ibu kota negara RI. Peristiwa yang mengagumkan itu kemudian diabadikan sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.

Kesetiakawanan Sosial yang begitu agung itu tentu saja patut terus ditumbuhkan dan dilestarikan. Apabila solidaritas sosial itu terus tertanam kuat dalam sanubari masyarakat Indonesia, maka mestinya itu juga mampu menggerakan “silent majority”untuk bersuara lantang menolak penjajahan baru kaum radikalisme yang sesungguhnya hanya merupakan kelompok kecil saja di negeri ini.

Ironisnya, Jawa Barat yang adalah tuan rumah penyelenggaraan HKSN pada tahun ini tak mampu meredam aksi penyegelan tempat ibadah yang terjadi di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pada tanggal 12 Desember sekelompok massa menyerang Gereja HKBP Betania, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Filadelfia, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Baptis Independen Indonesia (GBII), dan Gereja Pentakosta Tabernakel di Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Lebih ironis lagi aparat Pemerintah dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Kepolisian bukannya menghentikan kekerasan tersebut, tetapi membiarkannya, bahkan Satpol PP atas desakan massa justru menyita kursi-kursi Jemaat HKBP. Merespon peristiwa tersebut, tidak salah jika Gayus Lumbuun saat menerima perwakilan jemaat HKBP Betania Rancaekek berujar, “Negara dalam keadaan darurat bencana sosial.”

Tahun kelam
Menurut cacatan Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) untuk tahun 2010 ini hingga pertengahan Desember telah ada 45 buah gereja yang mendapat gangguan baik dari Pemda setempat maupun dari warga disekitar gereja . Angka ini jauh meningkat dibandingkan 2009 yang hanya 8 buah gereja. Pada 2008 terjadi 40 kasus gangguan, dan 2007 ada 100 gereja yang diganggu, dengan kasus gangguan terbanyak terjadi di wilayah Jawa Barat.

Dapat dipahami jika Moderat Muslim Society (MMS) menilai tahun 2010 ini sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Menurut catatan MMS, sepanjang tahun 2010 setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi, 49 kasus intoleransi (61%) dari keseluruhan kasus itu terjadi di Jawa Barat, sebagian besar di antaranya terjadi di Bekasi, Bogor, Garut dan Kuningan.

Berdasarkan survei Setara Institut baru-baru ini terhadap 1.200 responden dari Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang (Jabodetabek) dilaporkan bahwa warga Jabodetabek cenderung semakin intoleran dalam kehidupan beragama. Intoleransi warga itu terlihat dari angka 49,5 persen responden yang menolak keberadaan rumah ibadah lain di dekat tempat tinggal mereka. Ini semakin meneguhkan bahwa tahun 2010 ini merupakan tahun kelam bagi kebebasan beragama.

Pada galibnya, interaksi yang semakin meningkat antar orang yang berbeda agama khususnya pada daerah-daerah perkotaan yang mengalami perubahan cepat bisa berdampak negatif yakni mempertajam kesadaran dan rasa perbedaaan antar orang-orang yang berbeda agama, secara bersamaan itu juga akan mempertajam kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam agama itu, sebagaimana pernah diutarakan Huntington.

Apabila kondisi yang ditimbulkan kemudian adalah maraknya organisasi-organisasi yang bersifat intra-komunal, dan kemudian menggusur organisasi-organisasi inter-komunal maka terciptalah pembelahan masyarakat berdasarkan cluster agama. Pada kondisi ini stereotipe negatif terhadap mereka yang berbeda agama akan merajalela, dan cenderung menjadi pemicu konflik agama yang mengerikan. Itulah sebabnya konflik agama menjadi domain perkotaan.

Sebaliknya, dampak negatif intoleransi agama bisa dihindari jika organisasi-organisasi interkomunal tetap terjaga. Melalui organisasi-organisasi inter komunal tersebut pertemuan agama justru akan memperkaya pemeluk agama yang berbeda, keberagaman dalam hal ini menjadi sesuatu yang patut disyukuri, karena memperkaya agama-agama yang berbeda itu. Karena itu, dialog agama dalam hal ini memiliki peranan yang amat strategis. Pilihan kita seharusnya bukanlah membenturkan agama agama, melainkan pada dialog agama-agama.

Dengan demikian jelaslah tahun kelam beragama di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah karena kegagalannya dalam bersikap tegas terhadap mereka yang memaksakan kehendaknya, namun secara bersamaan itu juga menuntut peran anggota masyarakat, dalam hal ini silent majority untuk memperkuat solidaritas sosialnya agar mampu bersuara lantang menentang penjajahan baru kaum radikalisme.

Menanti ketegasan pemerintah
Menanggapi maraknya penyegelan tempat ibadah oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menilai, ada kesan negara telah digadaikan kepada penjajah-penjajah baru itu, kedaulatan bangsa diserahkan kepada orang atau kelompok yang sama sekali tidak memiliki wewenang. Mgr. Martinus Situmorang berujar, peristiwa serupa akan terus terjadi di negeri ini sepanjang intoleransi masih dipupuk.

Kita tentu setuju bahwa pemaksaan untuk mentaati hukum adalah hak monopoli pemerintah. Pemerintah tidak boleh kalah dengan kelompok-kelompok yang gemar memaksakan kehendak mereka. Tepatlah apa yang dikatakan Theo Sambuaga, apabila ada pelanggaran hukum dalam masyarakat termasuk yang dilakukan umat beragama, harus diselesaikan secara hukum oleh aparat hukum, bukan kelompok masyarakat(SP 21/12).

Keputusan founding fathers Indonesia untuk memisahkan agama dan negara memiliki konsekuensi logis tidak diizinkannya hegemoni agama-agama di Indonesia. Karena itu negara harus bersikap netral. Sikap netral pemerintah tersebut mesti terwujud pada sikap tegas pemerintah dalam menindak tegas semua tindak kekerasan intoleransi agama.

Berdasarkan konstitusi negeri ini, semua identitas agama yang beraneka itu diakui keberadaannya. Jadi, negara tidak boleh kalah oleh kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya, meski dengan dasar agama sekalipun. Hegemoni agama sesungguhnya tidak memiliki tempat secara hukum dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena hegemonisme agama mengakibatkan bersatunya dua absolutisme, yaitu negara dan agama yang akan melahirkan pemerintahan totalitarianisme yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI.

Jurgensmeyer mengingatkan, mergernya dua absolutisme (agama dan negara) dapat mengakibatkan matinya demokrasi. Kecenderungan bercampurnya nasionalisme dan agama dalam politik identitas masih sangat mungkin terjadi. Jadi hegemonisme agama bukan hanya ancaman pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini. Itu kembali marak terjadi setelah era kebangkitan agama-agama di negeri ini. Ketegasan pemerintah dalam berpegang kepada konstitusi negeri ini merupakan kunci bagi terciptanya harmonisasi dalam beragama, dan demi mengenyahkan kekelaman beragama di negeri ini pada tahun-tahun mendatang.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.