Suara Pembaruan, 31 Oktober 2007
Binsar A. Hutabarat
Tanggal 28 Oktober 2007 kita merayakan 79 tahun Sumpah Pemuda, peristiwa penting yang amat menentukan dalam lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Timbul pertanyaan, mampukah kita mengobarkan kembali semangat Sumpah Pemuda, yang menjadi kunci penting bagi lahirnya negara merdeka.
Perjuangan rakyat Indonesia sesungguhnya belum dapat dikatakan selesai, khususnya dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih membelenggu rakyat banyak. Kemiskinan dan kebodohan itu terlihat jelas, antara lain, pada potret kehidupan suku-suku terasing atau yang lebih dikenal dengan sebutan Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Semangat Sumpah Pemuda, yaitu kerelaan berkorban founding fathers Indonesia itu, telah menjadi kunci bagi hadirnya NKRI. Semangat pengorbanan itu juga terlihat jelas dalam perang-perang gerilya melawan kolonialisme demi mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Dengan bangga TB Simatupang pernah berkata: “Sekiranya kemerdekaan itu adalah hasil perundingan, seperti, terjadi dengan India, bangsa saya tak akan mungkin sebersatu seperti halnya sekarang ini.” Artinya, semangat persatuan Indonesia sebagai bangsa dengan ciri kerelaan berkorban itu tumbuh dalam perjuangan yang sulit, khususnya dalam menghadapi musuh bersama, yaitu kolonialisme. Ikrar kebangsaan Indonesia tumbuh makin kuat sebagai reaksi terhadap kolonialisme. Pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia itu juga telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara lainnya, khususnya di Asia.
Wajar saja jika kita berharap pada momen ini kita bisa lagi mengobarkan semangat persatuan untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan yang masih menjadi persoalan besar. Secara jujur kita mesti mengakui bahwa kemerdekaan itu, yang juga adalah jalan untuk memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan kebodohan, belum juga memenuhi harapan sebagian besar rakyat Indonesia.
Lingkungan Terganggu
Potret buram tentang kemiskinan dan kebodohan terlihat jelas dalam kehidupan Komunitas Adat Terpencil yang tersebar di Tanah Air. Menurut data Departemen Sosial pada 2005, sedikitnya 1,1 juta jiwa hidup dalam kondisi keterbatasan prasarana dan sarana. Di Papua, masyarakat yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan bukan hanya di Pegunungan Tengah (Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya, Yahokimo, Tolikara, dan Pegunungan Bintang), tetapi juga di pesisir pantai, seperti, Kabupaten Waropen, Yapen Waropen, Nabire, Biak Numfor, Keerom, Kaimana, Fak-fak, Asmat, Mappi, Jayapura, dan Sarmi. Bahkan masih ratusan suku terasing di Papua yang belum tersentuh pembangunan. Suku-suku itu sulit melakukan kontak dengan masyarakat di luar wilayahnya karena minimnya prasarana dan sarana.
Penderitaan masyarakat KAT itu semakin bertambah dengan maraknya penebangan hutan secara liar yang berakibat terganggunya lingkungan mereka, ditambah lagi kehadiran perusahaan perkebunan atau pertambangan yang sering kali tak peduli dengan penderitaan masyarakat setempat.
Otonomi daerah semestinya makin meningkatkan perhatian pada upaya pengentasan kemiskinan masyarakat KAT. Peringatan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah tentang bahaya pengabaian pemberdayaan KAT itu dalam peringatan Hari Pers Nasional 2007, baru-baru ini, membuka kesadaran bahwa usaha itu masih membutuhkan perjuangan keras pemerintah daerah. Pengabaian tugas itu bisa menimbulkan kesenjangan sosial, kecemburuan, dan kebencian warga yang tertinggal.
Kemiskinan, kebodohan, dan kesenjangan sosial yang amat lebar juga jelas terlihat di kota-kota besar. Kehadiran gelandangan, pengemis, dan pengamen (gepeng) dalam hiruk-pikuknya kesibukan di kota-kota besar adalah cerita sedih yang tak pernah berakhir. Belum lagi, kondisi rakyat di negeri ini, yang hampir setengahnya hidup dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS sehari, tentu saja selalu hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran terbelenggu oleh kemiskinan.
Pada momen peringatan Sumpah Pemuda ini kita perlu mengobarkan kembali semangat kebangsaan yang bukan lagi untuk mengusir penjajah, tapi untuk memerangi kemiskinan, memerdekakan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Kita mesti bersumpah untuk memeranginya secara bersama-sama.
Cinta kepada rakyat harus ada pada setiap pemimpin di negeri ini, sehingga persoalan siapa yang layak menjadi pemimpin bukan lagi jadi hal utama. Sebaliknya, kerelaan untuk berkorban harus menjadi utama. Untuk itu, nasib memperhatikan rakyat mesti menjadi hal utama dalam Pemilu 2009. Kepercayaan rakyat jangan diabaikan hanya demi kepentingan pribadi. Semangat Sumpah Pemuda harus kita kobarkan kembali untuk melahirkan tekad melawan kemiskinan dan kebodohan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society