Kompas, 18 Oktober 2007
Benyamin F. Intan
Pak, bagaimana cara menyikapi dengan bijak keragaman agama yang ada, agar keberadaannya dapat membawa kemaslahatan bangsa, bukannya menjadi persoalan bangsa?” tanya seorang ibu kepada saya sebagai narasumber dalam diskusi peluncuran Jurnal Reform Review perdana terbitan Reform Institute pimpinan Dr Yudi Latif, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Keresahan ibu ini beralasan mengingat kebebasan dan toleransi beragama di Tanah Air kian tidak kondusif. Maraknya penetapan peraturan daerah (perda) agama sejak awal reformasi ialah bukti makin menipisnya penghargaan terhadap pluralisme.
Kehadiran perda-perda agama itu, meski diklaim demokratis, nyatanya banyak kelompok agama terdiskriminasikan. Fakta kian menipisnya penghargaan atas pluralisme terbaca jelas dengan kuatnya hujatan terhadap pluralisme itu, padahal pluralisme ialah syarat penting untuk menghadirkan negara demokratis.
Mematikan pluralisme
Masalahnya, belum adanya sikap legowo agama untuk menerima satu sama lain. Pertikaian agama yang mengarah kepada konflik horizontal sering disebabkan ketidaksanggupan agama menerima keragaman sebagai “kenyataan” (what is).
John Rawls menyebutnya “the fact of pluralism”. Bagi Rawls, ketidakmampuan menerima fakta pluralisme akan mematikan pluralisme. Mematikan pluralisme sama artinya dengan menghancurkan demokrasi. Itu sebabnya, Rawls terpanggil menyelamatkan pluralisme agama yang ia percaya sebagai hal yang tidak mungkin terselesaikan di ruang publik.
Solusi yang ditawarkan Rawls, setiap agama harus menahan diri, bertenggang rasa melalui “the method of avoidance”, dengan terpinggirkan dari publik. Bagi Rawls, domain publik harus netral, tidak boleh terdistorsi nilai-nilai agama. Pada kondisi status quo, nilai-nilai agama tidak diterima, tetapi juga tidak disangkali keberadaannya di wilayah publik (The Idea of an Overlapping Consensus, Oxford Journal of Legal Studies 7 (1987): hal 1, 4, 12-13).
Solusi Rawls bersifat live and let live, hanya sebatas meredam sisi negatif pluralisme agama, mencegahnya menjadi persoalan bangsa. Pada kondisi ini, ada pembicaraan antaragama yang berbeda, tetapi mereka tidak saling menyapa, tidak saling “mengganggu”.
Pada hubungan ini tidak ada kebersamaan (togetherness) di antara mereka, interaksi mereka semu. Realitas seperti ini masih belum memenuhi harapan sang ibu itu: pluralisme agama bukan hanya tidak lagi menjadi masalah bangsa, tetapi juga bisa membawa kemaslahatan bangsa, menekankan sisi negatif dan sisi positif pluralisme agama. Sikap peaceful coexistence saja tidak cukup. Sisi positif keragaman butuh paradigma berpikir lebih jauh.
Solidaritas intelektual
David Hollenbach menawarkan konsep solidaritas intelektual (intellectual solidarity). Pada realitas ini, perbedaan pendirian tidak ditanggapi dengan mindset kecurigaan dan ketakutan, tetapi dihargai positif, disertai sikap welcome dengan ramah. Jauh dari upaya mendominasi dan memarjinalkan yang lain (live and let die), perbedaan pendapat adalah berkah, kesempatan untuk belajar satu sama lain.
Dengan akal budi sebagai alat, tiap agama dituntut bersolidaritas dan terbuka, berani mengambil risiko perubahan, saling memberi dan menerima. “Serious dialogue,” klaim Hollenbach, “is risky business” (The Global Face of Public Faith, Georgetown University Press, 2003).
Implikasi positif
Pluralisme agama yang berfondasikan solidaritas intelektual niscaya membuahkan beberapa implikasi positif.
Pertama, pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekadar “kenyataan”, melainkan menjadi “keharusan” (what ought) yang tidak dapat dihilangkan. Pada realitas ini muncul usaha saling memerhatikan yang lahir dari kesadaran interdependensi. Pada kondisi ini, agama didorong memberi kontribusi karena interdependensi agama mensyaratkan ketidakaktifan satu agama akan berpengaruh kepada hasil genuine civil consensus yang mau dicapai. Jika kesadaran interdependensi agama terus bertumbuh, partisipasi agama-agama dapat dimaksimalkan.
Kedua, pluralisme agama berbasis solidaritas intelektual menjunjung prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan perubahan kedua pihak. Sah-sah saja jika tiap agama mengklaim kebenaran yang dimiliki sebagai kebenaran universal, yang seharusnya diterima berbagai agama berbeda.
Namun, paradigma universalitas agama tidak sebatas kemampuan untuk berkontribusi, tetapi juga pada keterbukaannya untuk menerima. Pada kondisi ini, sumbangsih agama diterima positif, paling tidak sebagai otokritik bagi agama lain. Dengan demikian, keharusan keragaman bukan lagi sekadar “keharusan yang tidak dapat dihilangkan”, tetapi “keharusan yang membawa manfaat”.
Ketiga, berdasar solidaritas intelektual, pluralisme agama mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negative immunity, bahwa agama harus bebas dari cengkeraman sosial-politik termasuk negara, tetapi juga dalam pengertian positive immunity dengan agama distimulasi menjalankan peran nyatanya dalam kehidupan sosial-politik bangsa. Namun, tanpa ruang publik yang sehat dengan elemen- elemen public participation, plurality, persuasion, dan commonality, peran nyata agama mustahil diwujudkan. Melalui elemen-elemen publik ini, agama-agama niscaya dapat menyatakan keyakinan mereka dengan jujur dan terbuka untuk mencari kesepakatan yang bersandar kepada komitmen yang tulus dan saling percaya. Tanpa elemen-elemen itu, peran publik agama menjadi kerdil dan kontraproduktif.
Keempat, pluralisme agama dengan solidaritas intelektual berpotensi menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good. Common good bukan “jumlah keseluruhan” (the sum), tetapi “kesatuan” (the unity) dari partial goods. Tidak mudah bagi agama-agama dengan berbagai keragaman teologis menghadirkan konsensus bersama common good. Perlu kesadaran publik yang tepat dan usaha keras yang disengaja.
Untuk itu, melalui solidaritas intelektual, semangat kerja sama, sikap membela keadilan, dan toleransi dari agama-agama diarahkan kepada pencapaian tujuan bersama—pemenuhan kepentingan yang mengarah kepada kesejahteraan sesungguhnya dari komunitas yang lebih besar.
Singkatnya, jauh dari menjadi persoalan bangsa, melalui solidaritas intelektual, kehadiran pluralisme agama akan mendatangkan berkah bagi kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society