Investor Daily, 4 Januari 2007
Benyamin F. Intan
Setelah vonis mati tertanggal 5 November 2006 yang dikuatkan oleh pengadilan banding 26 Desember 2006, Saddam Hussein, tokoh yang sangat kontroversial dan sangat ditakuti di kawasan Teluk ketika berkuasa, mengakhiri hdupnya di tiang gantungan pada Sabtu, 30 Desember 2006, dini hari, bertepatan dengan hari raya Idul Adha.
Eksekusi mati Saddam mestinya membahagiakan etnis Kurdi dan kelompok Syiah di Irak. Pasalnya, merekalah yang paling merasakan kekejaman Saddam yang bertangan besi, yang sewaktu-waktu dapat mencabut nyawa siapa saja yang menjadi lawan-lawan politiknya.
Seperti diketahui, vonis mati Saddam itu sendiri terkait dengan tindakannya menghabisi 148 orang Syiah dalam perkara Dujail serta pembunuhan missal terhadap 30.000 suku Kurdi dan Syiah di Kirkuk dan Mosul dengan menggunakan gas kimia beracun.
Menurut catatan, selama 24 tahun pemerintahan Saddam terjadi penghilangan 300.000 kaum pemberontak, mayoritas etnis Kurdi dan Syiah. Kebahagiaan kaum Syiah dan Kurdi atas eksekusi mati Saddam mestinya terkait dengan pemenuhan keadilan, walaupun bisa terkait oleh dendam yang telah terbalas.
Kendati demikian, tidak berarti bahwa semua kelompok di Irak menyambut baik hukuman mati atas Saddam. Kelompok Sunni yang ketika Saddam berkuasa sangat diuntungkan karena mereka ada dalam lingkaran kekuasaan, tentu akan terbakar kemarahannya melihat eksekusi mati Saddam yang secara bersamaan juga merupakan kejatuhan mereka. Bisa jadi eksekusi mati Saddam bukannya merealisasikan persatuan dan kesatuan Irak serta mewujud-nyatakan demokrasi seperti yang diinginkan Amerika, tapi malah bisa memperparah konflik dan menjauhkan upaya perdamaian di Irak.
Rasa Keadilan
Terlepas dari apakah eksekusi mati Saddam akan menimbulkan konflik baru, persoalan dasarnya benarkah hukuman mati atas Saddam yang terkenal sangat otoriter dan sangat ditakuti tersebut?
Menurut Aristoteles, untuk membangun sebuah masyarakat yang kokoh dan sejahtera, maka hukum Negara harus dilandasi prinsip keadilan yang merupakan “kebajikan dasar” (virtue entire) masyarakat (The Nichomachean Ethics V-1, hal. 109). Tanpa keadilan, hukum menjadi beringas, diskriminatif, dan sectarian, jauh dari rasa membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Hukum yang berkeadilan memiliki dasar pembenaran pada teori retributivisme, “mata ganti mata, gigi ganti gigi” (Lex Talionis) yang merupakan hukum tertua di dunia, seperti tercantum dalam The Code of Hammurabi (2285-2242 SM). Munculnya Lex Talionis dilatarbelakangi oleh perang antar suku yang membabi buta, penuh keberingasan dan pembalasan dendam.
Hidup dalam tribal society pada masa itu, berlaku hukum: jika seseorang dari suku A melukai seseorang dari suku B, maka orang-orang dari suku B akan menyerang dan melukai semua orang dari suku A, tanpa pandang bulu. Ini tidak adil! Masa yang berbuat jahat satu orang, semua orang harus menanggung getahnya. Maka muncullah Lex Talionis, “mata ganti mata, gigi ganti gigi”: yang dihukum hanya pelaku kejahatan, dan hukuman yang diberikan harus setimpal denagn kejahatan yang diperbuatnya.
Jadi, janganlah memahami Lex Talionis sebagai bloodthirsty law atau merciless law seperti kebanyakan orang pada umumnya. Lex Talionis bukanlah hukum balas dendam, keberadaannya justru sebaliknya, menghindarkan kita sejauh mungkin dari upaya balas dendam (this law deliberately limits vengeance). Dengan menghukum pelaku kejahatan secara setimpal (proportionately) sesuai dengan besarnya kejahatan yang dilakukan, Lex Talionis mengedepankan kesetaraan dan kesamaan dari hukuman yang adil.
Hukuman mati terhadap Saddam yang bertanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap pembantaian missal etnis Kurdi dan Syiah merupakan tuntutan keadilan dalam perspektif hukum Lex Talionis. Hukuman mati dalam pengertian ini tidak boleh dianggap sebagai tindakan kejahatan, karena pelaksanaan hukuman mati dengan membebankan hukuman yang setimpal dengan kejahatan pelaku justru menyatakan keadilan. Sebaliknya, apabila kesalahan tidak dihukum setimpal dengan kejahatan yang diperbuat, keadilan justru tidak diwujudkan.
Saddam harus mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusiaan yang telah diperbuatnya. Kesalahan yang dilakukannya bersifat individu, sejatinya tidak boleh ditimpakan kepada etnis dan aliran agama yang dianutnya. Kelompok Sunni, misalnya, tidak boleh dituntut pertanggungjawaban kesalahan Saddam oleh suku Kurdi dan kelompok Syiah yang menjadi korban kejahatan Saddam.
Sebaliknya, kelompok Sunni sudah seharusnya merelakan Saddam dieksekusi mati dan tidak perlu membelanya, mengingat kejahatan kemanusiaan yang telah diperbuatnya. Dengan demikian, eksekusi mati Saddam diharapkan tidak akan menimbulkan ekses-ekses konflik baru pro dan anti-pasca kematian Saddam yang tidak perlu.
Kontraproduktif
Menyusul eksekusi mati terhadap Saddam, terjadi serentetan ledakan bom menewaskan sedikitnya 70 orang dan ratusan terluka di Najaf, Kufa, Hurriyaj, dan Baghdad. Reaksi keras warga Sunni pendukung Saddam pasca eksekusi sebetulnya dapat diprediksi sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri, proses pengadilan awal terhadap Saddam hingga dijatuhkannya vonis dan eksekusi mati amat sangat dipolitisir.
Vonis mati Saddam tertanggal 5 November 2006, misalnya, menurut juru bicara Gedung Putih Tony Snow, merupakan hari baik bagi Irak, padahal penetapan vonis mati itu dikaitkan dengan strategi politik sebelum pemilihan anggota Kongres Amerika pada 7 November 2006.
Begitu pula dengan Inggris yang terang-terangan menentang hukuman mati Saddam menunjukkan kesenangannya dengan vonis mati Saddam itu. Dengan peristiwa Saddam ternyata banyak Negara yang tidak menyetujui hukuman mati namun menyetujui eksekusi mati bagi Saddam. Faktor politis memang sangat mempengaruhi ketidakkonsistenan Negara-negara tersebut terhadap penolakan hukuman mati.
Itu sebabnya mengapa vonis mati atas Saddam mendapatkan perlawanan yang sangat keras dari Palestina yang menegaskan bahwa pengadilan bersikap tidak adil dan pelaksana pengadilan untuk Saddam adalah orang-orang yang tidak adil. Penolakan hukuman mati juga datang dari berbagai organisasi Hak-hak Asasi Manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch. Tidak berbeda dengan Palestina, mereka menuduh pengadilan tidak adil, bagi mereka, hanya pengadilan International di luar Irak yang bisa melakukan sidang pengadilan dengan adil.
Begitu pula dengan eksekusi mati atas Saddam. Pembenaran eksekusi mati sehubungan dengan kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya adalah satu hal, tapi proses eksekusi itu sendiri adalah hal lain. Banyak kalangan sangat menyayangkan eksekusi mati dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi waktu pelaksanaannya bertepatan dengan perayaan Idul Adha yang melambangkan pengampunan dan toleransi.
Semuanya ini akan membuat eksekusi mati terhadap Saddam bukannya memperbaiki tapi malah memperburuk konflik sektarian di Irak. Protes keras yang dilancarkan warga Sunni terhadap eksekusi Saddam, dikhawatirkan banyak pihak sebagai tanda-tanda meluasnya militandi yang akan semakin menjauhkan upaya perdamaian di Irak.
Dengan demikian, pengeksekusian Saddam sangatlah kontraproduktif. Apalagi pengeksekusian ini dapat menimbulkan rasa simpati dan menarik banyak simpatisan terhadap Saddam sehingga kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukannya mulai dilupakan orang.
Era Saddam Hussein sudah berakhir, tetapi konflik sektarian di Irak diperkirakan akan semakin memuncak. Selesai tidaknya konflik ini amat bergantung kepada kelompok yang sedang bertikai, yakni bagaimana Syiah, Sunni, dan Kurdi, menyikapi dengan bijak pertarungan perebutan kekuasaan di antara mereka yang sudah mendarah daging.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society