Suara Pembaruan, 21 Oktober 2010
Binsar A. Hutabarat
Ajakan Wakil Presiden Boediono agar masyarakat yang cenderung diam (Silent Majority) untuk bersuara keras menentang praktik radikalisme, yang diutarakan pada Global Peace Leadership Conference di Jakarta (16/10) yang dihadiri berbagai tokoh, termasuk tokoh agama dari 17 negara, adalah sangat membesarkan hati.
Kekerasan yang mengatasnamakan agama di negeri ini terus meningkat, bahkan berada pada taraf yang sangat memprihatinkan. Utamanya marak terjadi menjelang berakhirnya rezim orde baru yang otoriter, dan terus berlanjut hingga saat ini. ICRP mencatat sejak 2000-2009 terjadi 142 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Wahid Institute melaporkan, 2004-2009 terdapat 127 kasus pelanggaran kebebasan beragama, sedang pada tahun yang sama mencatat 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama. PGI dan KWI melaporkan pada Komnas HAM, sejak 2004-2007 terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja. Pada tahun ini saja (Januari-Juli) Setara Institute melaporkan telah terjadi 28 kasus pelanggaran kebebasan beragama di negeri ini.
Kehadiran kaum radikalisme ini terbukti telah menciptakan kondisi tidak aman bagi masyarakat Indonesia. Padahal, suara lantang radikalisme ini disinyalir kecil saja menurut Boediono, karena itu perlu diseimbangkan dengan suara lantang silent majority, dan apabila tidak ada suara lantang yang menyeimbangkannya maka akan mengakibatkan lahirnya pemikiran bahwa mayoritas bangsa ini memilih sektarianisme sebagaimana disuarakan kaum radikalisme.
Bahaya lainnya adalah, ini bisa menjadi pembenaran bahwa tindakan kekerasan yang kerap dilakukan kaum radikalisme mendapat dukungan mayoritas di negeri ini. Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia sesungguhnya terbiasa hidup dengan mengamalkan toleransi, dan itulah sebabnya Indonesia terkenal dengan keramahtamahannya.
Penggambaran agama yang penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap. Radikalisme sesungguhnya bukanlah wajah asli agama-agama yang di dalam dirinya terkandung misi perdamaian. Casanova berujar, selama tahun 1980-an, para aktivis religius juga merupakan para pemain utama di dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk pembebasan, keadilan, dan demokrasi di seluruh dunia.
Hadirnya teologia pembebasan di Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke belahan dunia lainnya dengan bentuk dan nama-nama baru, Afrika dan Asia misalnya adalah bukti yang tak terbantahkan dari keterlibatan aktivis religius dalam menegakkan keadilan, dan demokrasi. Ini juga diteguhkan oleh R. Scott Appleby telah menekankan banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.
Agama mempunyai dampak ganda atau apa yang disebut Appleby sebagai “ambivalensi dari yang suci. Cassanova menyebutnya wajah ganda agama (janus face). Namun, wajah ganda agama itu tidak berasal dari agama itu sendiri, tetapi dari cara pemeluk-pemeluk agama itu beragama. Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme ini repotnya dilakukan dengan cara-cara premanisme.
Bisa jadi, pembiaran tindakan premanisme itulah yang menyebabkan meledaknya perkelahian antar preman di Ampera pada sidang pengadilan kasus Blowfish di pengadilan Jakarta Selatan, bahkan mungkin bukan yang terakhir, jika aparat kepolisian tetap tidak tegas terhadap praktik-praktik premanisme di negeri ini. Karena, membiarkan tindakan premanisme tanpa sikap tegas sama saja dengan menghadiahi tempat persemaian bagi premanisme.
Peran Silent Majority
Apakah kedepannya bangsa ini akan menjadi sektarianisme atau tidak sesungguhnya akan sangat bergantung pada sikap silent majority di negeri ini. Gus Dur memang pernah mengatakan bahwa silent majority bangsa ini tidak setuju dengan sekatarianisme sebagaimana dipromosikan oleh kaum radikalisme. Namun, suara lantang radikalisme harus diimbangi oleh suara lantang silent mayority yang menolak sektarianisme. Hanya dengan cara inilah keseimbangan dapat terjadi, dan semua orang di negeri ini dapat disadarkan untuk giat merawat keberagaman yang ada, serta mengubur cara-cara kekerasan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang terkenal dengan musyawarah mufakatnya. Apalagi kita semua tahu, perwujudan persatuan membutuhkan perjuangan, dan itu tidak datang dengan sendirinya.
Disamping itu pemaksaan terhadap anggota masyarakat untuk mentaati hukum yang berlaku sesungguhnya adalah hak monopoli pemerintah. Di negeri yang menempatkan hukum sebagai panglima ini tidak boleh ada individu atau kelompok masyarakat yang mengambil alih monopoli otoritas penegakkan hukum dari tangan pemerintah.
Apabila aparat keamanan membiarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu melakukan kekerasan terhadap individu atau kelompok masyarakat lainnya itu berarti pemerintah terbukti bersalah karena nyata-nyata telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi masyarakat, ini juga akan menyebabkan kebingungan dalam masyarakat, karena pemerintah dalam hal ini tidak menunjukan kehadirannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Mayoritas masyarakat Indonesia sesungguhnya terbiasa hidup dengan mengamalkan toleransi. Karena itu, ajakan Wakil Presiden Boediono agar silent majority bersuara lantang patut direspon dengan positif. Lebih khusus lagi, ajakan ini sepatutnya juga mendorong aparat kepolisian untuk bertindak tegas terhadap prilaku kaum radikalisme yang telah meresahkan masyarakat tersebut, apalagi intensitas dan frekuensinya kini semakin meningkat.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society