Semangat Menerima Kekalahan

Kompas Jawa Barat, 16 April 2009
Antonius Steven Un

Pemilu usai, pilu mulai. Pada waktu inilah banyak di antara kandidat wakil rakyat yang gagal melaju ke gedung Dewan patah hati. Butuh sebuah persiapan hati yang khusus untuk peristiwa ini. Politisi rasanya lebih siap menang ketimbang kalah. Padahal, kekalahan adalah risiko setiap kontestasi, dari kelas sekolah dasar, arena olahraga, hingga panggung politik.

Respons terhadap kekalahan adalah ujian sejati etika politik elite. Sikap menerima kekalahan menunjukkan bahwa seorang politisi benar-benar menghargai rule of law sebagai pokok dan pilar terpenting dalam demokrasi. Sikap menerima kekalahan dalam kontestasi politik juga membuktikan bahwa sang kandidat sesungguhnya memiliki visi yang luas dan progresif bagi daerahnya. Jika sang politisi benar-benar mencintai rakyat, ada banyak kanal bakti bagi negeri, tanpa harus melalui kursi wakil rakyat.

Sebaliknya, semangat tidak menerima kekalahan adalah semangat antikontestasi dan ini berarti semangat diktatorial. Karena itu, caleg yang kalah ditantang untuk tidak mengarahkan massa guna menggunakan kekerasan dalam menyikapi hasil pemilu, tetapi mempromosikan perdamaian dan penggunaan hukum dalam rangka penyelesaian konflik pascapemilu.

Penggunaan kekerasan harus dihindari untuk menciptakan kondisi kondusif bagi kontinuitas pembangunan bangsa. Kandidat wakil rakyat yang mengerahkan massa pendukung, dengan menggunakan kekerasan menyikapi hasil pemilu, membuktikan bahwa ia tidak berjiwa negarawan, elite bermoral rendah, bervisi jangka pendek, dan harus diklaim sebagai politisi busuk!

Visi dan etika politik
Politik substantif ialah ikhtiar bagi kehidupan progresif. Pada bentuk terbaiknya, kata Peter Merkl, politik merupakan a noble quest for a good order and justice. Sayangnya, realisme bernyanyi sumbang, sebagaimana diantitesiskan sendiri oleh Merkl, politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches (Peter Merkl, 1967: 13). Perburuan kekuasaan dalam kompetisi ketat terbatas menjadikan politik bagai perjudian yang sarat karakter antagonistis. Fakta empiris konflik horizontal pada pemilihan kepala daerah di berbagai belahan Nusantara meyakinkan tesis ini.

Karakter antagonistis adalah niscaya dalam politik. Namun, elemen kekerasan dan efek kekejaman yang ditimbulkan menjadikan politik menakutkan. Karena itu, karakter tersebut harus dimainkan dengan hati-hati dan tetap diposisikan sebagai supplement, bukan main.

Politik dalam realisme antagonistis harus tetap berfokus pada visi perdamaian dan kesejahteraan. Karena itu, tepi sebuah kontestasi politik bukanlah pertumpahan darah, melainkan sikap besar hati mengupayakan perdamaian. Jikalau tidak, politik akan kehilangan logikanya sendiri dan akhirnya menimbulkan sikap apolitis serta kesangsian terhadap eksistensi demokrasi. Demokrasi dan politik, sekali lagi, tidak bisa koeksis dengan kekerasan, apa pun alasannya.

Politik beretika sejatinya mengandung dan memperjuangkan sejumlah nilai etis. Terdepan, integrity of politics, yakni politisi harus menjaga komitmen rule of law dan perdamaian sebagai contoh bagi konstituen. Selain itu, nilai altruistis. Karena politik selalu menyangkut public goals, dan bukan private goals maka tidak bisa tidak, politik harus merupakan ajang pengorbanan diri, bukan mengorbankan orang lain. Akhirnya, politik beretika sejatinya memperjuangkan nilai kemanusiaan. Politisi kerap kejam terhadap rakyat. Kalau elite menang, rakyat diabaikan. Kalau elite kalah, rakyat diadu. Seyogianya, elite kalah atau menang, rakyat harus menang!

Solusi meja hijau
Selain mempersiapkan diri untuk kalah, kandidat anggota Dewan beserta jajarannya perlu menetapkan hati untuk berkomitmen menyelesaikan konflik pemilu melalui jalan damai atau melalui jalur hukum.

Pertama, pemilu adalah ekspresi demokrasi konstitusional yang dianut negara Pancasila ini. Demokrasi konstitusional menganut dalil rule of law. Sistem ini menganut adagium law is the king dan bukan adagium anarkis, I am the law, sehingga seluruh penyelesaian konflik berada di tangan penegak hukum bukan di tangan preman.

Kedua, demokrasi mengedepankan perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia. Upaya pengejaran kepuasan melalui balas dendam sarat kekerasan dalam menyelesaikan konflik pemilu merupakan percederaan terhadap hak-hak sipil dan akan meninggalkan spiral kehancuran pada masyarakat.

Ketiga, demokrasi mengedepankan pemakaian kekerasan secara minimum, sebagaimana digariskan Max Weber bahwa penggunaan kekerasan secara terukur dan adil adalah monopoli negara bukan masyarakat. Karena itu, publik tidak berhak menggunakan kekerasan dalam penyelesaian konflik pemilu.

Keempat, penyelesaian konflik secara personal dan bukan melembaga merupakan bentuk penghinaan terhadap eksistensi dan peran negara. Negara dianggap impoten. Justru, ketika anarkisme mulai menguat dalam aksi main hakim sendiri, bukankah kita sedang mempersiapkan diri menuju negara totaliter karena seleksi survival of the fittest.

Negara dalam pandangan Roger H Soltau, merupakan agen atau kewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan atas nama masyarakat (1950). Adapun menurut Robert M MacIver, negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (1926).

Kelima, dalam konsepsi demokrasi normatif, rotasi kekuasaan berlangsung secara teratur dan damai. Karena itu, konflik pemilu yang diselesaikan secara berdarah akan mencederai esensi dan proses demokrasi normatif. Demokrasi pada tataran esensial bertujuan membangun kemaslahatan kemanusiaan dan bukan menghancurkannya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan elite politik.

Biarlah caleg menyikapi kekalahan dengan arif dan mengupayakan perdamaian. Bila tidak puas, karpet merah terbentang luas menuju solusi meja hijau. Semoga.

Antonius Steven Un, Rohaniwan dan peneliti teologi politik pada Reformed Center for Religion and Society. Berdomisili di Bandung

Leave a Comment

Your email address will not be published.