Suara Pembaruan, 13 November 2010
Binsar A. Hutabarat
Sebagai negeri kaya bencana, kaya letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, bencana banjir, dan becana lainnya, Indonesia membutuhkan banyak relawan untuk menyelamatkan warga korban bencana, yakni relawan yang mencintai sesamanya tanpa pamrih, mereka selalu hadir menolong warga korban bencana di seantero negeri ini tanpa perlu dihimbau oleh siapapun.
Meletusnya Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 menelan korban 42 meninggal dunia, belum termasuk yang mengalami luka berat dan ringan. Letusan Merapi yang disertai dengan awan panas pada jumat 5 November berdampak lebih luas lagi, mengakibatkan korban tewas seluruhnya 135 orang, 411 luka-luka dan dirawat inap, dua ratus orang lebih hingga kini dinyatakan hilang, mengakibatkan 289.613 penduduk harus hidup dalam tempat-tempat pengungsian. Bencana Mentawai membuat 449 orang meninggal, 93 orang dinyatakan hilang, 410 korban luka berat dan ringan, belum lagi banjir bandang di Wasior, Papua. Tragedi memilukan ini patut disebut sebagai bencana nasional.
Meletusnya Gunung Merapi, dikabarkan membuat aktivitas gunung-gunung berapi lainnya yang ada di Indonesia meningkat, selain gunung Karangetan dan Gunung Ibu di bagian timur Indonesia yang berstatus waspada, ada 19 gunung api lain yang kini berstatus waspada. Itu artinya, ancaman bencana yang besar masih akan menghantam negeri ini, padahal, upaya untuk menolong korban bencana yang datang beruntun kali ini membutuhkan daya dan dana yang amat besar, bahkan beberapa relawan juga telah gugur ketika berusaha mengevakuasi korban bencana Merapi.
Beban berat yang mesti kita tanggung bersama untuk menolong korban bencana mestinya menghentikan semua perbantahan yang tidak produktif soal mengapa bencana itu terjadi, dan kemudian fokus kepada bagaimana menolong warga korban bencana. Segenap tenaga kita harus diarahkan untuk menolong warga korban bencana semaksimal mungkin.
Gugurnya beberapa relawan di Merapi mestinya menyadarkan kita bahwa bencana yang sedang melanda negeri ini membutuhkan daya, dan dana yang tidak sedikit. Dan secara bersamaan memberikan inspirasi bahwa semua warga bangsa di negeri ini sesungguhnya bertanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan nyata sebagaimana telah dicontohi relawan-relawan yang telah gugur ketika mengevakuasi korban Merapi.
Salut untuk relawan
Solidaritas yang sarat dengan semangat kepahlawanan sesungguhnya telah ditunjukkan oleh relawan-relawan di negeri ini. Para relawan telah berjuang keras menyelamatkan korban Merapi ditengah ancaman awan panas Merapi yang mematikan. Ancaman cuaca buruk, serta gelombang laut Mentawai juga tidak menyurutkan langkah relawan untuk membantu warga korban bencana. Para relawan itu tak kenal diskriminasi, mereka hanya tahu bahwa warga korban bencana harus ditolong, tanpa pamrih mereka berupaya mengurangi penderitaan korban, bahkan kehadiran mereka di lokasi bencana seringkali mendahului pejabat-pejabat di daerah bencana.
Meski tanpa atribut semarak, seperti layaknya partai-partai politik, sesungguhnya tidak sulit menemukan relawan di lokasi bencana. Sebaliknya, mudah untuk menemukan bendera partai politik dilokasi bencana, namun sulit menemukan karya mereka di lokasi bencana, karena umumnya partai politik lebih sibuk memamerkan atributnya dibandingkan karya mereka.
Para relawan yang tanpa pamrih itu tampaknya memiliki hati seperti Jean Henry Dunant, seorang Swis, yang tak tahan ketika melihat korban perang Solverino pada Juni 1859. Dan kemudian untuk menyelamatkan korban perang itu mendirikan organisasi yang memberikan bantuan tanpa diskriminasi, baik terhadap suku bangsa, ras, agama, sahabat ataupun musuh, semua diperlakukan sama. Semangat yang agung itu dipuji oleh dunia, itu sebabnya pada tahun 1864 organisasi yang telah berjasa besar itu dikukuhkan sebagai Palang Merah Internasional dalam konvensi Jenewa.
Moralitas relawan, dan juga moralitas yang diusung Henry Dunant ini bisa disebut sebagai moralitas palang merah atau moralitas kepanduan yang berpihak pada korban. Moralitas yang dilekatkan pada Camus yang terkenal dengan bukunya La Peste (Sampar), yang karenanya ia mendapatkan ganjaran hadiah Nobel. Bagi mereka yang memegang moralitas ini dalam situasi bencana yang diperlukan hanyalah keberpihakan pada korban. Menurut Camus, mempromosikan ethos untuk berjuang dalam keberpihakan pada korban penting ”karena kita tidak tahu mengapa bencana itu terjadi, yang diperlukan adalah bagaimana menolong mereka yang menjadi korban bencana itu.”
Proses bagaimana bencana melanda negeri ini telah dipaparkan oleh banyak ahli, itu penting untuk mengantisipasi bencana-bencana yang masih akan datang, tapi realitas korban yang membutuhkan bantuan tetap harus menjadi utama dibandingkan hal-hal lainnya. Namun, menyimpulkan bahwa bencana adalah hukuman Tuhan akan melahirkan gugatan yang tidak pernah selesai, apalagi bencana sesungguhnya telah membinasakan secara mengerikan siapapun yang dijumpai, bencana tak kenal diskriminasi, apapun agamanya, orang saleh atau orang jahat, semua menerima akibat yang sama dari kehadiran sebuah bencana.
Emmanuel Levinas, seorang tokoh etika politik yang tersohor juga setuju dengan moralitas yang berpihak pada korban itu, ia mengatakan bahwa kebaikan transenden adalah data paling dasar dalam kenyataan yang namanya manusia, ini meneguhkan apa yang dikatakan Plato, bahwa ide tertinggi adalah ”yang baik.”Menurutnya manusia harus berbuat kebaikan terhadap sesamanya, dan mestinya tanpa pamrih, karena itu adalah sebuah keharusan dari manusia yang memiliki ide kebaikan. Levinas berujar, ”karena suatu kebaikanku yang kuketahui, yang seakan-akan kubanggakan, sudah bukan kebaikan lagi.”Menolong korban bencana adalah sebuag keharusan dan mestinya tanpa pamrih.
Pemerintah Indonesia mestinya menyadari bahwa persiapan dini dalam merespon terhadap bencana yang pasti akan datang harus dilakukan secara serius. Semangat solidaritas nasional yang bersemayam kuat di bumi ini sebagaimana telah dicontohkan para relawan yang gugur ketika menolong korban bencana, selayaknya terus digelorakan. Solidaritas yang sarat dengan semangat kepahlawanan yang telah mengangkat negeri ini tinggi-tinggi sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat jangan pernah diabaikan, sebaliknya mesti digenggam kuat terlebih ketika bencana besar melanda negeri ini.
Kita tentu salut atas perjuangan para relawan, dan tentu saja tanpa mengesampingkan mereka yang telah menyumbangkan harta benda mereka untuk membantu korban bencana. Keluarga para relawan itu wajib mendapat santunan. Para relawan baru patut diberikan pembinaan yang baik untuk melaksanakan tugasnya, juga perhatian pelayanan medis agar tetap dalam kondisi sehat. Di samping itu pemerintah juga harus transparan terhadap penggunaan dana bencana, agar tidak terjadi korupsi dana bencana. Jika ini kita lakukan, maka beban berat warga korban bencana akan terobati, dan harga diri kita sebagai bangsa yang satu akan terjaga, karena kita mampu merawat solidaritas yang menjadi ciri perjuangan kemerdekaan negeri ini. Sekali lagi, salut untuk relawan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society