Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara

Suara Pembaruan, 3 Agustus 2009
Benyamin F. Intan

Kasus pencabutan izin Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Cinere, Depok, belum juga selesai, kasus serupa terjadi lagi pada Gereja HKBP di Kampung Somang, Desa Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Selasa (21/7). Atas perintah Bupati Bogor, Gereja HKBP Parung menjadi sasaran pembongkaran Satuan Polisi Pamong Praja-Satpol PP (SP, 25/7).

Pembongkaran gereja secara paksa oleh pemerintah daerah mengingatkan kita pada pembongkaran Gereja HKBP Jati Mulya, Tambun Selatan, Bekasi, tahun lalu oleh aparat kecamatan.

Gereja HKBP Cinere telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) tertanggal 13 Juni 1998, yang ditandatangani Bupati Bogor Eddy Yoso Martadipura (ketika itu). Waktu itu, Depok masih bagian wilayah Bogor. Setelah 10 tahun berdiri Kota Depok, Wali Kota Depok Nurmahmudi mengeluarkan kebijakan pencabutan IMB gedung serbaguna HKPB Cinere tertanggal 13 Maret 2009, dengan alasan penolakan warga sekitar terhadap keberadaan gereja tersebut.

Kasus Gereja HKBP Parung berbeda. Gereja tersebut telah memperoleh persetujuan tertulis dari 71 warga sekitar, beberapa organisasi masyarakat, dan ketua RT setempat. Selama 10 tahun, jemaat di lokasi tersebut beribadah berpindah-pindah, dari rumah ke rumah. Sejak April 2009, dengan arahan lurah setempat, jemaat yang sudah mencapai jumlah 375 orang, menggunakan bangunan darurat sebagai tempat ibadah, sementara menunggu proses IMB. Pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Bogor, bukannya memperlancar pengurusan IMB, malah memerintahkan Satpol PP melakukan pembongkaran.

Negara Pancasila
Penutupan rumah ibadah memasuki fase baru. Dalam kasus-kasus sebelumnya, penutupan rumah ibadah agama tertentu dilakukan dengan kekerasan oleh sekelompok massa dan dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kini, pemerintah daerah sendiri yang menjadi pelaku aksi tersebut. Satpol PP diperintahkan membongkar rumah ibadah. Dosa pemerintah berevolusi: tadinya membiarkan kejahatan (sin by omission), kini, ironisnya, menjadi pelaku kejahatan (sin by commission).

Negara kita bukan negara sekuler, bukan pula negara agama, tapi negara Pancasila. Dalam hal kebebasan beragama, negara sekuler berprinsip “netral-pasif.” Artinya, ketika pemerintah secara netral menjamin kebebasan beragama dari semua agama tanpa terkecuali, di sisi lain, pemerintah tidak mendorong perkembangannya alias bersikap pasif. Dalam negara agama, terjadi hal sebaliknya, negara memegang prinsip “sektarian-aktif.” Artinya, hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama yang bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya, tapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya. Berbeda dari kedua prinsip di atas, kebebasan beragama dalam negara Pancasila bersifat “netral-aktif.” Artinya, pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tanpa terkecuali.

Peran “netral-aktif” pemerintah dalam negara Pancasila sejalan dengan pemikiran Abraham Kuyper, pendiri Free University (Amsterdam) dan mantan Perdana Menteri Belanda.

Pemerintah, di mata Kuyper, memiliki tugas mulia. Fungsinya tidak hanya “negatif” dengan mencegah kejahatan, juga “positif” dengan mendorong kebaikan dalam koridor anugerah umum. Bagi Kuyper, dalam menjalankan kebebasan beragama, pemerintah berdwifungsi: menjamin dan melindungi (fungsi negatif), serta mendorong dan memotivasi pertumbuhan dan perkembangan hak kebebasan beragama (fungsi positif) (Lectures on Calvinism, hal 99-109).

Dengan demikian, pemerintah yang membiarkan dan bahkan menjadi aktor kejahatan pemasungan kebebasan beragama bukan pemerintah Pancasilais. Pemerintah demikian, bagi Kuyper, sadar atau tidak, telah mendelegitimasi dirinya sendiri dan hampir tidak ada bedanya dengan negara Leviathan ala Thomas Hobbes (Sphere Sovereignty, hal 466).

Penutupan, pembongkaran, dan pembakaran rumah ibadah memang bukan baru terjadi pada era Reformasi. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, penutupan rumah ibadah pun telah terjadi. Namun, penutupan rumah ibadah secara terang-terangan oleh pemerintah, belakangan ini, merupakan potret kelam hegemoni negara terhadap agama. Rentetan penutupan tempat ibadah yang dilakukan pemerintah kita merupakan bukti hegemoni negara terhadap agama. Negara bukannya melindungi dan memperkembangkan kebebasan beragama, malah membelenggu kebebasan umat beragama.

Perlu dicermati, ada saham agama dalam pemasungan kebebasan beragama oleh pemerintah. Target pemasungan selalu ditujukan pada agama minoritas. Demi kepentingan politisnya, agama tertentu menyelingkuhi kekuasaan negara dengan menyubordinasikan negara di bawah kekuasaan agamanya (agamaisasi politik). Akibatnya, agama, bukan asas keadilan, menjadi tolok ukur kebijakan negara. Pemeluk agama minoritas dibedakan hak dan kewajibannya dari pemeluk “agama yang memperalat politik kekuasaan.”

Dengan membeda-bedakan warga negara berdasarkan agama yang dianutnya, negara sebetulnya telah kehilangan fungsi luhurnya sebagai pengayom kemaslahatan warga. Natur negara yang tadinya inklusif dan nonsektarian, kini otoriter dan diskriminatif.

Di sisi lain, agama yang menyelingkuh kekuasaan negara tidak sadar bahwa legitimasi religius (religious legitimacy) yang dilimpahkan kepada negara untuk menekan kelompok agama minoritas akan berdampak negatif kepadanya -kekuasaan yang mana dapat berbalik menjadi bumerang bagi agama yang bersangkutan secara kontraproduktif.

Konflik Horizontal
Last but not least, dominasi negara yang terlalu besar dengan merenggut kebebasan beragama bukan hanya membelenggu agama, tetapi juga berpotensi melahirkan gerakan radikal agama yang dapat mengganggu kepentingan umum (Bdk. Gilles Kepel, The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in the Modern World).

Penutupan tempat ibadah kelompok agama minoritas memunculkan ketidakadilan dan isu diskriminasi agama yang apabila dibiarkan berpotensi menyulut konflik horizontal.

Seperti ditegaskan Wapres Jusuf Kalla di ITB Bandung beberapa waktu lalu bahwa semua konflik horizontal di Indonesia; apakah itu Poso, Ambon, atau Aceh, sesungguhnya bukan pertentangan agama, tetapi berasal-muasal dari perasaan ketidakadilan. Dengan kata lain, pembelengguan hak kebebasan beragama oleh negara merupakan langkah bunuh diri bagi semua pihak yang berkepentingan. Penolakan terhadapnya, oleh karena itu, meminjam istilah David Hollenbach, adalah sebuah keniscayaan yang bersifat normatively objectionable (The Global Face of Public Faith, hal 185).

Singkatnya, semua pihak seharusnya tahu dan sadar bahwa pendirian rumah ibadah yang merupakan ekspresi dari hak kebebasan beragama dilindungi oleh konstitusi di negeri ini. Pemerintah sebagai pemegang mandat konstitusi wajib melindungi dan mendorong setiap warganya untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah pada tempat tersebut. Implikasinya, setiap upaya penutupan rumah ibadah, yang dimotori pemerintah belakangan ini, yang menggambarkan potret hegemoni negara terhadap agama, harus segera dihentikan!

Benyamin F. Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.