Surya, 17 September 2007
Antonius Steven Un
Baru-baru ini Direktorat Narkoba Polda Jawa Timur berhasil membongkar jaringan narkoba yang ternyata dikendalikan dari tiga rumah tahanan (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas) yakni Rutan Kelas 1 Surabaya Medaeng, Lapas Sidoarjo dan Lapas Pamekasan (Surya, 14/09/2007).
Dari penggrebekan ini, polisi berhasil menyita 1.300 pil ekstasi dan 63,7 gram sabu-sabu dari lokasi pabrik milik Rizal, kaki tangannya Kurniawan Jerry, seorang narapidana (napi) Lapas Sidoarjo.
Penemuan polisi ini mengindikasikan terjadinya ragam pergeseran paradigma rutan. Pertama, paradigma bahwa rutan menjadi tempat pembentukan warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana sesuai Undang-Undang No. 12/1995 Pasal 2, kini telah berubah menjadi tempat pembinaan/pembentukan menjadi penjahat ulung yang semakin kreatif.
Roh dari UU No. 12/1995 menuntut adanya pembinaan secara vertikal dari petugas ke napi tetapi realitas empirik membuktikan bahwa sub-kultur horisontal yakni pembinaan antar napi justru menjadi kultur yang lebih kuat ketimbang kultur utama tadi. Dengan kata lain, terjadi gap antara what is (deskripsi) dan what ought (preskripsi). Publik kerap terjebak kepada pemahaman preskriptif dan lupa kepada realitas deskriptif.
Kedua, dalam realitas kejahatan di rutan, terjadi pergeseran paradigma, sebagai contoh, dalam kasus narkoba, dari pemakai, pengedar, produsen hingga kepada otak pengendali. Bahwa narkoba dikonsumsi dan beredar luas di dalam rutan, sudah bukan rahasia lagi. Rutan malah berkembang menjadi tempat produksi narkoba. Pada akhir Mei 2007 lalu, aparat gabungan dari Polwiltabes Surabaya, Polres Sidoarjo dan sipir Rutan Medaeng, berhasil menemukan 1,4 kilogram sabu-sabu, 6,1 kilogram ganja kering, 168 butir ekstasi dan uang Rp 3,2 juta. Kini, justru polisi menemukan lagi bahwa rutan bukan hanya menjadi tempat produksi tetapi pengendali peredaran narkoba di luar. Heran, yang “tidak bebas” kok bisa mengendalikan yang “bebas”. Dan bisa saja, praktek seperti ini sebenarnya telah lama subur di berbagai rutan tetapi memang baru ketahuan sekarang.
Ketiga, dengan memparadigma rutan sebagai sistem tertutup terbukti dari sistem pengamanan yang demikian ketat agar terhindar dari kaburnya napi, justru berefek samping menjadikan hotel prodeo tersebut sebagai tempat legitimasi dan reproduksi kejahatan. Karena bersifat tertutup maka persekongkolan kolutif antar napi dan sipir menjadi sulit terdeteksi.
Hal inilah yang menyebabkan bertumbuh suburnya kejahatan dan pergeseran serta peningkatan paradigma kejahatan sebagai mana diurai diatas.
Merevitalisasi Peran
Dengan fakta pergeseran paradigma tersebut maka perlunya upaya strategis-teknis merevitalisasi kembali peran rutan. Pertama, perlunya kontrol sosial publik terhadap rutan dengan membuka akses masuk bagi kepolisian serta media massa agar kehidupan rutan tidak menjadi sarang mafia. Semakin terbukanya akses bukan tanpa resiko karena dengan demikian maka jalur distribusi kejahatan juga akan semakin terbuka lebar. Hal ini dapat disolusi dengan adanya kerjasama sinergis periodik antar rutan dengan pihak kepolisian/media massa sehingga fungsi kontrol yuridis dan publik tetap bisa berjalan tentunya disertai dengan pengaturan mekanisme yang ketat. Jangan sampai rutan menjadi tempat yang imun dari jangkaun hukum sehingga justru lebih mengerikan ketimbang istana dikator yang tidak bisa tersentuh hukum dalam negara totaliter karena diktator bersifat tirani mengatur tetapi rutan bersifat anarkis dan merusak.
Kedua, stigmatisasi masyarakat terhadap narapidana sebagai orang bermasalah dan sampah masyarakat justru akan menimbulkan efek legitimasi rutan sebagai komunitas dengan sense of togetherness dan counter sub-culture yang baru dan kuat. Dengan kata lain, di luar rutan dicaci maki tetapi di dalam rutan diterima baik. Hal ini menyebabkan, nilai alternatif dianut dan berkembang di dalam rutan .
Jika penggunaan narkoba dilarang dan dikutuk di luar rutan tetapi karena stigmatisasi maka rutan bukan saja menjadi tempat paling baik menggunakan narkoba tetapi juga untuk mengedarkan dan memproduksi. Selain itu, stigmatisasi juga berdampak keengganan publik untuk melakukan kontrol sosial terhadap rutan.
Perbedaan stigmatisasi ini menyebabkan misalnya, publik amat mengontrol kehidupan kampus IPDN tetapi membiarkan kehidupan internal rutan berjalan tanpa kontrol sosial. Oleh sebab itu, perlunya perubahan pemahaman publik dengan mengedepankan peran lembaga-lembaga: keluarga, pendidikan, keagamaan dan media massa, agar stigmatisasi terhadap narapidana dapat dielimir secara gradual.
Ketiga, pendekatan penanganan rutan pasca terbongkarnya pemakaian, peredaran, produksi dan pengendalian di berbagai rutan di Jatim, tidak boleh bersifat ad hoc melainkan harus bersifat strategis, komprehensif dan berkelanjutan. Pengalaman penanganan kasus kekerasan di IPDN yang pada 2003 menimbulkan korban dan pada 2007 kembali jatuh korban, disebabkan karena penanganannya bersifat reaktif dan bukan komprehensif.
Karena itu, bagi pihak terkait dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan, Kepolisian dan lainnya, agar benar-benar memikirkan suatu pendekatan penanganan rutan secara serius, transparan dan berakuntabilitas agar di kemudian hari, kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi.
Penanganan ini melibatkan setidaknya lima variabel penting yakni sistem, personel, kultur, sarana prasarana dan anggaran. Sistem merupakan keseluruhan substansi dan model pengawasan dan pembinaan yang diadakan dalam rutan perlu mendapatkan kajian dari para akademisi dan pihak berkompeten, apakah masih efektif dan efisien atau jangan-jangan sebenarnya tidak lagi tepat guna dan tepat nalar tetapi masih dipertahankan.
Sedangkan personel merupakan persoalan yang tidak mudah dicarikan solusinya karena harus memenuhi tuntutan rasio. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin pernah mengatakan, rasio antara petugas dan narapidana di Indonesia adalah sekitar 1:60 (1 petugas menangani 60 narapidana) bahkan di rutan tertentu mencapai 1:150 (hukumonline.com, 4/3/2005). Padahal idealnya adalah 1 petugas mengawasi maksimum 20 narapidana. Penambahan personel perlu mendapatkan agenda prioritas.
Masalah kultur penyelenggaraan pemasyarakatan merupakan masalah terutama. Upaya pembentukan kultur melalui keteladanan dan pendidikan berkelanjutan untuk membentuk petugas profesional merupakan pekerjaan rumah yang harus terus diupayakan penyelesaiannya. Selain itu, permasalahan sarana prasarana dan anggaran adalah permasalah riil di lapangan. Sebagai contoh, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Timur menyatakan bahwa dari 32 rutan yang tersebar di Jatim, 22 diantaranya telah mengalami kelebihan kapasitas. DIPA tahun 2006 tidak mengalokasikan biaya pemindahan narapidana dari rutan ke lapas dan narapidana narkotika ke lapas narkotika (www.depkumham.go.id). Tidak bisa tidak, penambahan sarana prasarana dan anggaran harus diupayakan jika menginginkan perbaikan pola kehidupan dalam rutan .
Antonius Steven Un, Penulis adalah Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang