Jawa Pos/Indo Pos, 12 Mei 2008
Antonius Steven Un
Hari ini (Senin, 12 Mei), sepuluh tahun sudah aksi mahasiswa yang berakhir pembunuhan politik terhadap tiga mahasiswa Trisakti. Peristiwa ini direaksi kresendo dan progresif, entah positif atau negatif, mulai dari kerusuhan masal, demonstrasi mahasiswa hingga pengunduran diri mantan Presiden Soeharto.
Gerakan pembangkangan sipil 1998 memiliki momentum bersejarah bagi reformasi dan demokratisasi negeri ini, sama signifikannya dengan 1908, 1928 dan 1966.
Dalam rangkaian ini, saya menoreh suatu permenungan kritis atas hemat pikiran Martin Luther King, Jr (1929-1968), salah seorang tokoh gerakan massa dan pembangkangan sipil terbesar di seluruh dunia. King memobilisasi demonstrasi masa menuntut kebijakan dan kultur antidiskriminasi ras di Amerika Serikat, yang sekalipun merenggut nyawanya tetapi membuah hasil gemilang.
King merumuskan motif gerakan pembangkangan sipil bukanlah untuk kepentingan golongan tertentu, karena ia tidak berjuang sekedar untuk kemenangan kaum kulit hitam melainkan kebebasan seluruh umat manusia. King menyadari, arah perjuangan bagi satu golongan hanyalah menciptakan disequilibrium dalam masyarakat.
Dalam bukunya tahun 1958, Stride Toward Freedom (teks oleh Revitch & Thernstrom), King menolak penggunaan kekerasan sebagai pendekatan melawan penindasan karena dianggapnya tidak praktis dan tidak bermoral, berpotensi menimbulkan krisis sosial baru.
Sebaliknya King menawarkan cara perlawanan non-violence (tanpa kekerasan) sebagai sintesis, meminjam pemikiran filsuf Georg W.F Hegel (1770-1831), antara tesis sikap pasrah-takluk dan antitesis kekerasan (1958: 216).
Pendekatan non-violence ini dikemas bersama dua variabel signifikan yakni gerakan massa dan militansi. Gerakan massa mengindikasikan bahwa perjuangan tersebut untuk public interest. Sedangkan militansi tidak boleh direduksi menjadi penggunaan kekerasan melainkan keteguhan hati memegang visi dan prinsip sekalipun menuntut pengorbanan.
Tiga variabel tritunggal tersebut, dalam analisis King, berkekuatan menimbulkan dukungan magnetis publik terhadap kubu gerakan non-violence yang pada gilirannya bangkit people power melawan penindasan pemerintah tiranis.
Basis Teologis
Sebagai seorang pendeta, King membuktikan bahwa agama seharusnya berdiri di garda depan dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Evidensi ini didasarkan atas basis teologis sebagaimana yang ia tulis, “I had come to see early that the Christian doctrine of love operating through the Gandhian method of non-violence was one of the most potent weapons available to the Negro in his struggle for freedom” (dikutip John J. Davis, Evangelical Ethics, 1993, p. 191).
Selain konsep ahimsa dan satyagraha dari Gandhi, King mendasarkan gerakan non-violence-nya pada pengajaran Yesus Kristus “melainkan siapa yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu-Kasihilah musuhmu-” (Matius 5:39,44).
Dengan basis itu, sesungguhnya King tidak menghendaki membenci melainkan mengasihi musuh. Lawan dari kaum tertindas bukanlah pejabat pemerintah yang dengan tidak adil menindas kaum lemah melainkan ketidakadilan dan penindasan itu sendiri. Perjuangan sesungguhnya bukan membasmi musuh melainkan kejahatan.
Perjuangan King berdasarkan cinta kasih pada satu sisi tidak berarti ia jatuh ke dalam ekstrim lain dengan memperkosa hukum positif dalam pembangkangan sipil. Ia menulis bahwa seseorang yang discovers on the basis of conscience that a law is unjust and is willing in a very peaceful sense to disobey that unjust law and willingly and voluntarily suffers the consequences…is expressing the highest respect for law (dikutip Davis, p. 191).
Tantangan
Tantangan bagi gerakan pembangkangan sipil dalam konteks kekinian adalah pertama, apakah motivasi gerakan tersebut untuk public interest atau malah nested interest dan hidden agenda dari pemimpin gerakan tersebut. Seandainya gerakan ini didasarkan atas motivasi busuk, niscaya sulit menyentuh hati nurani massa. Bukan rahasia lagi bahwa lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan rakyat dalam perjuangannya, tetap bermotivasi mencari profit finansial sehingga kerap malah mengomersialisasi kemiskinan dan derita rakyat akibat bencana.
Kedua, apakah gerakan massa mendasarkan perjuangan atas motif cinta kasih termasuk kepada para penindas. Hal ini penting agar tidak menyuburkan kebencian dan kebengisan serta memustahilkan persaudaran yang pada gilirannya menghasilkan krisis dan konflik sosial baru dalam masyarakat penuh kekacauan tanpa akhir.
Ketiga, apakah gerakan massa mendasarkan perjuangan atas penghargaan kepada hukum positif yang adil sehingga menghasilkan purifikasi terhadap anarkisme dan aksi kekerasan. Hampir setiap hari tayangan televisi kita membuktikan bahwa gerakan massa amat rentan dan kerap penuh praktek kekerasan dan anarkisme.
Kekuatan King dan kaum kulit hitam AS dalam penyangkalan diri sehingga sama sekali tidak menggunakan kekerasan, malah merelakan diri mengalami kekerasan, merupakan teladan mulia bagi gerakan massa kontemporer. King sendiri selain ditangkap dan diserang, akhirnya ditembak mati pada 4 April 1968.
Keempat, seiring dengan prinsip di atas, apakah gerakan massa konsisten mendahulukan perjuangan melalui legal means, dalam pengertian jalur-jalur agregasi dan artikulasi aspirasi yang sesuai peraturan perundangan karena semangat gerakan massa bukanlah guna menghasilkan kekacauan. Aksi ekstra-parlementer harus dimaknai bukan sebagai kebablasan ekspresi kebebasan melainkan sebagai solusi alternatif atas buntunya aspirasi melalui intra-parlementer.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society