Refleksi Hari Kasih Sayang

Seputar Indonesia, 14 Februari 2007
Antonius Steven Un

Hari ini, tanggal 14 Februari 2007, seluruh dunia merayakan Valentine’s Day, merayakan matinya martir seorang imam, St. Valentine’s pada 14 Februari.

Memang ada banyak versi cerita tentang sejarah Valentine’s Day. Salah satu versi menyatakan bahwa seorang tokoh St. Valentine mati martir di tahun 270 AD di bawah kekejaman kaisar Romawi, Claudius.

Kaisar Claudius menetapkan bahwa kekaisarannya akan kekurangan prajurit terbaik jika para pria memutuskan untuk menikah. Karena itu, ia melarang pernikahan pria dan wanita. Tetapi, karena menerima pasangan yang saling mengasihi, St. Valentine sebagai seorang imam akhirnya menikahkan salah satu pasangan yang datang kepadanya.

Ketika kasus ini sampai ke telinga kaisar Claudius, ia tidak langsung membunuh St. Valentine tetapi mencoba menjadikannya sebagai seorang penganut agama kafir. Sang imam tidak tinggal diam, dia malah merubah strategi dan mencoba mempertobatkan kaisar Claudius menjadi seorang penganut agama Katolik.

Karena upaya ini gagal, akhirnya St. Valentine mati martir, dilempar batu hingga ajal menjemputnya. Apa yang dilakukan oleh St. Valentine dalam versi cerita ini adalah mengasihi dengan tulus dan rela berkorban. Di tengah maraknya komersialisasi dan selebrasi menyambut peringatan Hari Kasih Sayang, kita ingin kembali kepada main dari peringatan ini agar tidak terjebak sekedar kepada supplement, yakni aksesoris dan pesta.

Supplement bersifat contigency, boleh ada, boleh tidak ada tetapi main bersifat sina qua non, tidak boleh tidak ada. Dan kalau menelusuri kembali kepada apa yang terjadi menurut versi cerita di atas, cinta beresensi/berhakekat di dalam pengorbanan, mengutip lirik salah satu lagu pop memory yang pernah ngetop, “cinta itu pengorbanan”.

Ketika merenungkan hal ini, seyogyanya tidak terjebak memahami cinta sekedar dalam kerangka/paradigma relasi pria-wanita. Kita perlu memahami cinta secara lebih kaya seperti dalam paradigma pejabat-rakyat, orang tua-anak, guru-murid dan lainnya.

Cinta sebagai pengorbanan mendapat ekspresi di dalam beberapa hal. Pertama, cinta berarti penerimaan. Penerimaan tidak bertanya siapa, apa atau bahkan mengapa. Kita tahu bahwa pertanyaan mengapa lebih penting dari pertanyaan apa, siapa atau bagaimana.

Tetapi penerimaan bersifat melampaui pertanyaan mengapa (acceptance is beyond reason). Tidak berarti bahwa cinta menyebabkan kebodohan seperti yang banyak dipraktekan cinta monyet: cinta tanpa pertimbangan. Cinta tidak bersifat menetang melainkan melampaui akal/hal yang rasional.

Dengan kata lain, cinta bersifat melampaui segala alasan. Kita perlu membangkitkan cinta sejati di dalam relung jiwa insan bumi pertiwi supaya dapat mengeliminir konflik horizontal antar suku seperti yang pernah terjadi di Kalimantan, atau antar agama seperti yang pernah terjadi di Ambon dan Poso.

Sebab tanpa cinta dalam nurani dan sanubari masyarakat dan elit, sekalipun secara politik negara ini mencapai substansi demokrasi atau secara ekonomi mencapai substansi kesejahteraan rakyat, barangkali masyarakat kita hanyalah masyarakat individualistik, sekuler serta konsumeristik-hedonistik.

Bila kondisi ini yang terjadi, rasionalitas, kritik dan kinerja memang berkembang pesat tetapi kepekaan moral, sosial dan nurani telah menjadi almarhum alias telah mati. Kedua, cinta bersifat melampaui hukum.

Paradigma hukum lex talionis yang mengedepankan keseimbangan menuntut satu kesalahan harus dihukum tidak boleh lebih dari satu hukuman, satu mata korban dipecahkan maka satu mata pelaku juga dipecahkan. Sebelum paradigma ini diberlakukan dalam kebudayaan Mesir, Yahudi dan Babilonia beribu-ribu tahun yang lalu, si pelaku/terdakwa selalu akan mengalami ketidakadilan pembalasan dendam.

Setiap korban teroris berpotensi menjadi pelaku teroris baru karena si korban ingin mencari kepuasan di dalam pembalasan dendam. Padahal, sama sekali tidak mungkin mendapatkan kepuasan, malah menimbulkan lingkaran setan, karena korban akan menjadi pelaku baru.

Sebagai contoh, mahasiswa perguruan tinggi angkatan 2006 yang diplonco, akan menjadi pelaku kekerasan mahasiswa tahun 2007, membalas dendam kepada adik kelasnya untuk mencari kepuasan. Tidak berarti cinta itu menentang hukum sebab dengan begitu akan timbul anarkisme dan kebencian, sesuatu yang secara substansi bertentangan dengan cinta.

Tetapi cinta ingin melakukan sesuatu yang melampaui hukum. Sekalipun secara yuridis-formal telah mencapai kebenaran dan keadilan tetapi tanpa cinta, hal itu justru akan menjadi monster menakutkan. Sebaliknya dengan cinta, sekalipun seseorang berhak menerima keadilan atas kejahatan yang ia terima, ia tidak akan balas dendam atau main hakim sendiri, melainkan ia mengampuni.

Hal ini pernah dipertontonkan oleh mantan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, mendiang Paus Yohanes Paulus II, yang mengampuni Mehmed Ali Agca, pemuda Turki yang pernah melakukan upaya pembunuhan terhadap dirinya, tahun 1981.

Ketiga, cinta membangkitkan kepekaan nurani melampaui aspek yuridis formal. Dengan cinta, seorang pejabat tidak hanya akan mempertimbangkan aspek yuridis formal tetapi kepekaan nurani terhadap rasa keadilan masyarakat. Apa yang dilakukan para pejabat di Kalimantan Timur mencederai dan melukai hati rakyat.

Hal semacam demikian bukanlah cinta tetapi benci, bukanlah tindakan altruis tetapi egois, bukanlah eksploitasi diri tetapi mengeksploitasi rakyat yang membayar pajak dari keringat dan air mata.

Jika benar-benar ada cinta, seorang suami yang sudah lelah seharian bekerja, rela mengantar istri/ anaknya yang terserang penyakit, sekalipun pada jam tengah malam, jam istirahatnya. Jika benar-benar ada cinta, seorang pejabat tidak hanya akan bekerja hingga pukul 16.00, tetapi rela bekerja hingga tengah malam tanpa tuntutan uang lembur, karena ia mengasihi rakyat. Jika seorang guru mencintai muridnya maka ia rela, sekalipun diluar jam dinas, untuk mengajari muridnya hingga kaya ilmu pengetahuan, sekalipun tanpa imbalan. Mencari perilaku demikian di bumi pertiwi barangkali bagaikan mencari air segar di tengah padang gurun.

Antonius Steven Un, Penulis adalah Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang

Leave a Comment

Your email address will not be published.