Investor Daily, 10 Januari 2007
Tandean Rustandy
Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan prestasi terbesar tim ekonomi pemerintah tahun 2006 adalah keberhasilan mereka dalam memperbaiki indikator fundamental ekonomi. Nilai rupiah menguat dari Rp 9.830 per dolar AS akhir tahun 2005 menjadi Rp 9.000 pada akhir tahun 2006. Laju inflasi tahun 2006 mencapai 6,60%, merosot drastis dibanding tahun sebelumnya sebesar 17,11%. IHSG melejit dan cadangan devisa meningkat dari US$ 35 miliar pada awal tahun menjadi US$41 miliar pada akhir tahun. Namun kita harus berhati-hati karena kesimpulan yang terlalu cepat seperti itu bisa keliru.
Sementara indikator ekonomi makro menunjukkan kinerja yang membaik, di sisi lain sektor riil jelas masih stagnan. Pemerintah nampaknya cenderung hanya menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi lewat kebijakan fiskal dan moneternya, serta mengandalkan mekanisme pasar untuk menjadi mesin utama penggerak kehidupan ekonomi.
Padahal bila pemerintah tidak memperbaiki sektor riil, maka ekonomi bangsa akan semakin terpuruk Komitmen dan janji-janji Presiden Yudhoyono dalam kampanye Pilpres mengenai perubahan nasib Indonesia perlu dibuktikan pada tahun ini dan dua tahun mendatang.
Industri Manufaktur
Industri manufaktur adalah tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan penyumbang utama produk domestik bruto. Sayangnya, pertumbuhan manufaktur yang perlahan-lahan mulai membaik pascakrisis 1998 justru kembali melemah pada tahun 2006. Manufaktur nonmigas pada semester pertama 2006 hanya mencatat pertumbuhan 3,58%, atau anjlok jika dibanding dengan pertumbuhan 6,86% pada periode yang sama tahun 2005.
Melemahnya industri manufaktur tidak semata-mata karena kenaikan harga BBM. Berbagai manufaktur tenggelam dalam masalah ketersediaan bahan baku, kekurangan energi, dan praktik ekonomi biaya tinggi. Permasalahan yang sebenarnya klasik itu menjadi krusial ketika kompetisi di tingkat global kian menguat.
Penurunan suku bunga pada semester II 2006 diharapkan dapat memacu penyaluran kredit sehingga aktivitas ekonomi bisa mulai bergerak. Namun, dampak penurunan suku bunga terhadap penyaluran kredit atau aktivitas sektor riil hingga saat ini belum terjadi. Para pelaku usaha masih skeptis. Angka pertumbuhan kredit perbankan hanya 11%, padahal Bank Indonesia menargetkan ekspansi kredit 18%-20%.
Dalam konteks inilah, pemulihan ekonomi Indonesia membutuhkan reformasi yang mendasar di sektor riil. Ini bisa berupa paket kebijakan yang lebih menyeluruh, rencana aksi yang jelas, dan fokus.
Pemulihan 2007
Sektor riil sangat penting untuk menggerakkan perekonomian yang pada gilirannya menciptakan kesejahteraan. Kesejahteraan itu wajib dinikmati setiap anak bangsa karena itulah hakikat demokrasi dan tujuan kita berbangsa dan bernegara.
Namun sayangnya realisasi investasi tahun ini masih memprihatinkan. Data BKPM menyebutkan realisasi investasi (izin usaha tetap) dalam negeri selama Januari sampai Oktober 2006 mencapai Rp 13,55 triliun atau turun 18,57% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2005. Realisasi investasi asing juga turun sebesar 47,6%. Penurunan tersebut berkolerasi linear dengan pembukaan lapangan kerja baru.
Fakta ini menunjukkan bahwa pebisnis memiliki logika sendiri. Mereka lebih mengutamakan negara yang bisa memberikan kepastian akan rasa aman, kepastian dapat mengembangkan investasi yang ditanamkannya di Indonesia, serta kepastian atas kebijakan energi.
Kebiasaan untuk melupakan masalah, membiarkan terkatung-katung, menyentuhnya hanya sesaat dan kemudian meninggalkannya untuk berpaling pada persoalan lain, membuat kita seperti selalu berputar di titik awal yang sama. Perjalanan waktu tidak membawa pada kemajuan berarti.
Sebagai contoh, sudah lama masalah ketenagakerjaan membutuhkan perhatian serius dalam usaha menciptakan iklim investasi. Sejak era reformasi, mogok kerja dan aksi unjuk rasa yang mulai dari yang dilakukan secara damai sampai pada yang berakhir dengan anarkis, menjadi fenomena yang biasa di Indonesia. Nyatanya, pemerintah tidak berhasil meredakan situasi tersebut atau mencegah tindakan anarkis. Situasi ini tentu saja menciutkan niat investasi untuk menanamkan modal di tanah air, kecuali investor yang betul-betul cinta tanah air. Para investor yang sudah masuk pun banyak yang hengkang ke negara-negara lain yang dinilai aman.
Masalah UU Ketenagakerjaan terberat bagi investor saat ini adalah pesangon. Dalam kondisi sulit seperti sekarang, jika undang-undang tidak segera direvisi dengan merobah besaran pesangon, atau menggantinya dengan mekanisme dan institusi yang bertanggung jawab, tentu banyak perusahaan tidak akan berani menambah jumlah pekerja, sehingga pengangguran akan tetap tinggi.
RUU perpajakan juga perlu mendapat perhatian. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, penarikan pajak secara agresif justru akan membebani pengusaha sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pengurangan pajak akan memberi stimulasi ekonomi. Tema-tema untuk memperbaiki perpajakan, terutama pelaksanaannya di lapangan, perlu segera diwujudkan. Jangan sampai wajib pajak yang sudah mengisi SPT dengan benar dan jujur masih dikejar-kejar. Hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah wajib pajak yang jujur.
Kurangnya pasokan gas untuk pembangkit listrik PLN, industri pupuk, industri semen, industri besi baja, feedstock industri kimia, industri keramik dan berbagai industri lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Jaminan keamanan pasokan energi, khususnya gas alam, adalah mutlak perlu demi pemulihan ekonomi nasional.
Demi keamanan pasokan energi dalam negeri, rencana penghentian perpanjangan kontrak ekspor gas ke Jepang, Korea Selatan dan Taiwan mesti segera diadakan tindak lanjut kebijakan strategis. Penghentian ekspor LNG tersebut akan sangat membantu daya saing industri nasional karena dengan demikian pesaing dari negara-negara tersebut tidak bisa lagi mendapatkan sumber energi yang bersih, murah, aman, dan terjamin.
Dengan mendahulukan pasokan gas bagi kebutuhan dalam negeri, PLN dimungkinkan untuk melakukan diversifikasi energi secara radikal. Dalam beberapa dekade ini PLN lebih banyak menggunakan BBM, padahal kenaikan tarif dasar listrik adalah salah satu akibat dari kenaikan harga BBM. Penggunaan gas sebagai energi akan membuat impor BBM jauh menurun. Ini berarti dolar yang mengalir ke luar negeri menjadi jauh berkurang, dan pada gilirannya rupiah menjadi lebih kuat. Semua industri dalam negeri pengguna gas tentu akan menjadi lebih efisien, sehingga produk dalam negeri menjadi lebih murah, dan daya saing terhadap produk impor menjadi lebih baik, serta sektor riil menjadi lebih bergairah.
Dengan dukungan pemerintah dalam penyediaan gas ini, masyarakat juga dapat menikmati hasilnya berupa TDL dan produk dalam negeri yang lebih murah. Tentu saja, investasi akan naik sehingga lapangan kerja bertambah. PDB pun meningkat, berarti masyarakat menjadi lebih sejahtera.
Ancaman kegagalan tentu ada. Keadaan ekonomi Indonesia memang lebih rumit dari tantangan di atas, tetapi bagaimana pemerintah mengurus keadaan itu akan menentukan seberapa berhasil ia bisa mengurus tantangan global. Maka sangat wajar kalau setiap orang Indonesia saat ini memperhatikan dengan saksama bagaimana proses pemulihan ekonomi berlangsung.
Dalam situasi terlalu banyak orang menderita seperti sekarang, jika terdapat konflik kepentingan, maka pribadi atau kelompok kecil harus mengalah demi mengejar kepentingan bangsa atau orang banyak. “Airmata yang menetes untuk diri kita sendiri adalah airmata kelemahan, namun airmata yang menetes untuk orang lain menandakan kekuatan,” kata Billy Graham.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School