Investor Daily, 7 September 2010
Binsar A. Hutabarat
Proyek mercusuar gedung DPR digulirkan pertama kali pada 2009. Namun, karena berdekatan dengan pemilu, rencana tersebut dipendam untuk sementara. Baru pada 2010 rencana tersebut kembali dimunculkan, namun suara penolakan pun terus bergulir kencang.
Konsep pembangunan gedung DPR berlantai 36 yang mengundang kontroversi di masyarakat itu memang terbilang mewah. Pembangunan fisik saja menghabiskan Rp. 1,16 triliun, dan ditambah biaya penyediaan sarana teknologi informasi, sistem pengamanan dan perabotan gedung, total biaya seluruhnya akan mencapai Rp. 1,6 triliun.
Anggaran yang disiapkan itu sepadan dengan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) bagi 22 juta warga miskin selama satu tahun. Tahun ini pemerintah mengalokasikan bantuan iuran Jamkesnas sebesar Rp. 6000 per bulan atau Rp. 72.000 per tahun untuk satu warga miskin
Sejak digulirkan proyek mercusuar tersebut, berbagai kecaman muncul dari banyak elemen masyarakat. Apalagi, gedung DPR yang saat ini masih lebih dari cukup untuk menunjang kinerja parlemen. Proyek tersebut hanya akan menjadi proyek mercusuar yang tidak perlu.
Tapi, menurut versi DPR, pengadaan fasilitas mewah itu adalah untuk meningkatkan kinerja anggota dewan. Dengan fasilitas mewah tersebut, para anggota dewan diharapkan bisa betah berlama-lama di Senayan.
Tapi, mungkinkah kegemaran membolos anggota dewan akan pupus karena fasilitas mewah tersebut? Bagaimana dengan kebiasaan mengantuk ketika rapat, atau gemar berselancar internet, atau ber-SMS-ria saat rapat?
Soal kepantasan
DPR belum menunjukan kinerja yang mengesankan, tapi mereka malah sudah menuntut imbalan lebih setelah kemewahan yang telah mereka terima. Buruknya kinerja DPR dapat dibuktikan pada fungsi legislasinya, dari 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditargetkan, baru tujuh yang dapat diselesaikan DPR. Bahkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah pun belum dilaksanakan secara maksimal, ditambah lagi kasus korupsi yang menyandera beberapa anggota dewan.
Kinerja yang dipertunjukan para wakil rakyat di Senayan itu juga tidak sebanding dengan tuntutan mereka yang terbilang sangat tinggi. Simak saja berbagai biaya yang telah dikucurkan untuk keperluan wakil rakyat di Senayan.
Biaya pelantikan pada 2009 terbilang sangat mewah, yakni sebesar Rp. 11 miliar ditambah biaya perjalanan dinas pindah Rp. 26 miliar, juga anggaran renovasi rumah dinas anggota dewan Rp. 445 miliar. Para wakil rakyat pun meminta dana sebesar Rp. 2 triliun terkait optimalisasi penerimaan negara dan pajak, lalu masih ada tuntutan dana aspirasi total Rp. 8,2 triliun, serta wacana pembangunan rumah aspirasi yang akan menelan dana triliunan rupiah.
Pembangunan gedung mewah tersebut melengkapi berbagai kemewahan yang sudah diterima anggota dewan saat ini. Setiap bulan, seorang anggota dewan menerima penghasilan Rp. 59,77 juta, belum termasuk tunjangan reses, kunjungan kerja, rapat di luar kota, pembuatan undang-undang.
Jadi, pembangunan gedung mercusuar adalah sesuatu yang sungguh tidak rasional. Apalagi, saat ini negara sedang menghadapi kebutuhan mendesak terkait bencana meletusnya Gunung Sinabung, pemberian bantuan terhadap korban banjir tahunan di banyak daerah, penanganan korban lumpur Lapindo yang masih belum tuntas, program penanggulangan kemiskinan, penanggulangan busung lapar, perluasan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan murah, jamkesnas, dan lain-lain.
Fasilitas mewah sesungguhnya tidak berkorelasi dengan produktivitas. Bisa saja fasilitas mewah membuat anggota dewan diam berlama-lama di gedung mercusuar tersebut, tapi bukan untuk bekerja, melainkan menikmati pelisiran gratis. Karena itu, jelaslah, proyek mercusuar tersebut melanggar kepantasan.
Kebiasaan berhemat
Proyek mercusuar Gedung DPR dilihat dari sudut manapun jelas mengindikasikan tumpulnya sensitifitas mereka. Proyek itu telah mendapat kritik dari banyak elemen masyarakat, namun rencana pembangunannya terus digulirkan tanpa transparansi.
Dengan mendapat banyak fasilitas, anggota dewan sepatutnya waspada terhadap “tipuan” untuk merasa lebih baik atau lebih penting, dan merasa berada pada kelas sosial yang tinggi. Sebuah jebakan perilaku action seeker yaitu perilaku snobbish yang seharusnya tidak boleh bersemayam di dada abdi masyarakat.
Untuk bisa terhindar dari tipuan tersebut, perlu dimiliki karakter refresif, yakni kebiasaan berhemat, disiplin, suka bekerja keras, menahan diri untuk tidak memamerkan kemewahan. Sebaliknya, waspadalah terhadap jebakan karakter ekspresif yaitu karakter yang konsumtif, dengan lebih mengutamakan reward dari pada kerja keras. Dalam bentuk ekstremnya tampak pada usaha jalan pintas memiliki kekayaan berlimpah. Korupsi dalam hal ini menjadi godaan yang amat menarik, dan telah sukses menjerat anggota dewan yang tak mewaspadainya.
Para anggota dewan mestinya selalu ingat pada janji-janji yang dikumandangkan pada masa pemilu, khususnya janji untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, yang dimandatkan oleh konstitusi. Anggota dewan yang membiarkan rakyatnya terus hidup dalam kemiskinan, dan sebaliknya, mereka terus berburu untuk mendapatkan fasilitas mewah adalah suatu langlah yang salah, dan itu juga berarti mereka telah berlaku tidak adil terhadap rakyat dan bangsa ini. Ini mengindikasikan tumpulnya sensitifitas anggota dewan.
Boleh saja anggota dewan berkeras untuk merealisasikan keinginannya memiliki gedung mercusuar yang menawarkan kemewahan. Tapi semua itu menjadi sangat tak berarti apabila rakyat merasa tak lagi membutuhkan mereka. Bisa jadi, suara-suara kekecewaan yang ingin membubarkan DPR, seperti dikumandangkan Iberamsjah, pakar politik Universitas Indonesia, akan menjadi kenyataan.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society