Sinar Harapan, 24 Maret 2009
Joseph H. Gunawan
Jumlah penduduk miskin di Indonesia akan meningkat tajam. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan pada tahun 2008, sebanyak 41,70 juta jiwa penduduk miskin atau setara dengan 21,6% total populasi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 mengungkapkan jumlah penduduk miskin yaitu 37,17 juta jiwa atau 16,58%. LIPI memperkirakan angka kemiskinan tahun 2009 pada level 43 juta jiwa atau 22%, sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengestimasi jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 melonjak ke angka 33,714 juta jiwa atau 14,87% dari total populasi Indonesia.
Peningkatan jumlah orang miskin ini perlu diantisipasi karena sangat berbahaya dan berdampak tergerusnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya berdampak pada ekonomi secara nasional. Merebaknya krisis ekonomi global mau tidak mau akan memicu Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang dapat memperkuat perekonomian domestik.
Pemerintah harus ekstra hati-hati dalam mengambil dan menentukan kebijakan. Diharapkan bukan kebijakan yang distortif yang berimplikasi semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin yang sudah sangat mengkhawatirkan tersebut.
Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui cara tata niaga, pemberlakuan tarif bea masuk impor (tariff protection), jalan pembatasan kuota (non-tariff protection), sistem kenaikan tarif dan aturan berbagai upaya menekan impor bahkan larangan impor. Pendeknya, apa pun ancaman terhadap produk lokal harus diminimalkan. Namun, proteksionisme ini bertentangan dengan prinsip pasar bebas.
Neo-Keynesian
Kesepakatan forum G-20 yang secara ekonomi menguasai 80% PDB dunia berkomitmen dan memprioritaskan upaya memerangi dan menentang keras segala bentuk kebijakan yang mengandung unsur proteksionisme, khususnya langkah yang dianggap mengacu terhadap proteksionisme dan memicu perang dagang serta mendukung investasi dan perdagangan bebas, namun sulit dilaksanakan. Untuk negara-negara yang masih melihat keuntungan dari pasar bebas, namun terpaksa melakukan proteksi untuk melindungi industri dalam negeri kebijakan dualistis menjadi pilihan.
China, Jepang dan Taiwan memberlakukan pembangunan ekonomi dualistis yaitu liberalisasi perdagangan di satu pihak dan proteksi di lain pihak. AS membuat kebijakan American Recovery and Reinvestment Act yang populer dikenal sebagai Buy American Act. Blok Ekonomi Amerika Latin (Mercosur) terdiri dari Argentina, Brasil, Paraguay dan Uruguay memberlakukan Safeguard atau proteksi dagang industri lokal dengan menaikkan tarif bea masuk tinggi terhadap beberapa produk impor, juga Mesir dan Turki. Malaysia mengurangi tenaga kerja asing dan memakai tenaga kerja lokal. Singapura mengimplementasikan kebijakan Resillence Package untuk melindungi lapangan kerja dan kebijakan membatasi tenaga kerja asing (Investor Daily, 18/3/2009). Keadaan ekonomi global tidak menentu dan tidak dapat diestimasi sebelumnya, serta meningkatnya sentimen proteksionisme.
Indonesia perlu berkaca dari pengalaman pahit AS, sehingga tidak terjadi penggelembungan subprime mortgage dan credit card yang diawali krisis produk sekuritas berbasis kredit pemilikan perumahan di AS yang telah memicu gejolak keuangan global dan merembet ke seluruh sektor ekonomi AS yang merupakan resesi terburuk dalam 70 tahun terakhir sejak era great depression 1930-an.
Joseph E Stiglitz, profesor ekonomi dari Columbia University adalah penganut neo-Keynesian dan pendukung gerakan antiglobalisasi, mengungkapkan adanya gelembung semu perekonomian dan menunjuk persekongkolan antara dunia bisnis dan politik. Stiglitz menyalahkan kerakusan di pihak Wall Street dan industri perumahan, akuntansi yang salah kaprah, serta kekuasaan politik konservatif yang dengan senang hati menggunakan kalkulasi tersebut demi sasaran jangka panjang menciutkan pemerintah. Bagaimanapun, Stiglitz tetap percaya bahwa kebijakan pemerintah tetap penting bagi perekonomian karena ketidaksempurnaan dunia, maka kebijakan dibutuhkan.
Menjaga Perekonomian Domestik
Adam Smith (1723-1790), pionir ekonomi politik dari Skotlandia, memopulerkan teori ideal pasar bebas yang seolah-olah “invisible hand” rontok dan tidak menuntun perekonomian menuju efisiensi, jikalau tidak ada informasi yang akurat. Pasar yang tidak terkendali, yang disesaki oleh konflik kepentingan, membuahkan inefisiensi. Stiglitz menjelaskannya berfokus pada teori informasi asimetris dikenal sebagai Ilmu Ekonomi Informasi yang membuat ekonomi pasar secara inheren mengandung ketimpangan dan berpotensi menyuburkan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).
Hendaknya, Indonesia segera berbenah dengan menstimulus peningkatan daya beli masyarakat, daya saing, daya tahan usaha serta peningkatan ekspor, karena perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi global sudah mulai merambah ke sini. Bahkan, Direktur Perencanaan Makro Bappenas, Bambang Prijambodo, menilai perekonomian Indonesia telah positif dijangkiti gejala resesi. Prijambodo menambahkan bahwa semua negara di dunia telah mengimplementasikan proteksionisme dan tetap berupaya mempertahankan pasar dalam negerinya.
Perlambatan ekonomi global tahun 2009 akan berdampak pada 153 negara anggota World Trade Organization (WTO), terutama yang menggantungkan pertumbuhan ekonominya dari ekspor. Sebuah rilis yang dikeluarkan WTO mengungkapkan pertumbuhan perdagangan tahun 2008 mencapai 4%, turun dari 5,5% dibandingkan tahun 2007.
International Monetary Fund (IMF) memprediksikan perdagangan dunia akan terkontraksi sebesar 2,8% tahun 2009, turun dengan 4,1% pada tahun 2008 dibandingkan 7,2% tahun 2007. Kajian langkah-langkah penanganan krisis harus segera diambil untuk ditelaah seberapa efisien dan efektif, karena kebijakan proteksionisme dan menutup pasar pintu perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mempertahankan lapangan kerja bagi warga negaranya, ternyata memperparah krisis global.
Yang penting adalah bagaimana Indonesia lebih memfokuskan upaya mengembangkan, memperbesar dan meningkatkan pasar domestik. Menjaga perekonomian domestik dengan kebijakan perdagangan yang produktif dan memberantas produk impor ilegal karena kontribusi perdagangan dalam negeri sekitar 80% dan kepentingan domestik lebih urgen diprioritaskan. Namun, harus berhati-hati dalam mengimplementasikan komitmen G-20 untuk memerangi proteksionisme.
Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society