Investor Daily, 28 September 2010
Dini Y. Rachman
Sebetulnya tak perlu mendatangkan Dekan Harvard Kennedy School, David T. Ellwood (Kompas, 16/9/2010) kalau hanya untuk mengetahui perlunya program terencana jangka panjang guna mengatasi kemiskinan. Sejak lama para ekonom Indonesia sesungguhnya telah mengkaji dan menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasi kemiskinan.
Mohammad Hatta dalam bukunya Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi (1967) atau Boediono dalam Ekonomi Indonesia Mau ke Mana? (2009) telah menyinggung banyak hal tentang program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Dalam Ekonomi Indonesia Mau ke Mana, misalnya, Boediono menyatakan tujuan akhir kebijakan ekonomi sebuah negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Hal itu bisa saja tercipta jika harga kebutuhan pokok stabil dan penghasilan rakyat dapat diandalkan. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat. Karena itu, prioritas utama di bidang perekonomian adalah untuk dapat menampung mayoritas angkatan kerja yang kenyataannya masih terdiri dari tenaga kerja kurang terampil.
Khusus untuk pengentasan kemiskinan, menurut Boediono, hal itu harus dilakukan dengan strategi yang jelas serta pelaksanaan dan penyusunannya harus melibatkan pemangku kepentingan termasuk departemen, pemerintah daerah, dunia usaha kelompok masyarakat, dan tentunya kaum miskin itu sendiri.
Program Jangka Panjang
Sejarah mencatat bahwa program terencana (well-planned) jangka panjang harus dilaksanakan secara serius untuk mendukung keberhasilan pengentasan kemiskinan. Tiongkok dalam hal ini menunjukkan keberhasilannya. Bank Dunia mencatat bahwa pada tahun 1990 posisi Tiongkok dan Indonesia hampir sama yaitu lebih dari 70% penduduknya berpendapatan kurang dari US$2 per hari. Tahun 2008, tak sampai 30% penduduk Tiongkok berpendapatan kurang dari US$2 per hari, sedangkan Indonesia masih mendekati 50%.
Apa yang menyebabkan suatu negara (tetap) miskin sementara negara lainnya bisa dengan cepat keluar dari belitan kemiskinan? Victor V. Claar & Robin J. Klay dalam International Economic Relations, Hope for the Third World menyebutkan tiga penyebab kemiskinan tiga.
Penyebab pertama kemiskinan yakni kondisi geografis yang sulit, seperti suhu udara yang sangat panas, seringnya terjadi bencana alam, bergunung-gunung, kondisi tanah yang sangat kering, dan sebagainya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan bahan pangan karena sulitnya menjalankan kegiatan di bidang pertanian, terhambatnya akses distribusi barang dan jasa, dan meningkatnya biaya akibat bencana alam.
Tapi mengapa Belanda yang tanahnya lebih rendah dari permukaan air, Jepang yang sering gempa bumi, dan Tiongkok yang merupakan bentangan daratan yang sangat panjang justru lebih maju dari negara lain, yang memiliki sumber daya alam yang sesungguhnya jauh lebih kaya?
Negara-negara tersebut tidak kaya secara mendadak, tetapi melalui proses yang panjang. Mereka harus membangun infrastruktur dan menggunakan teknologi sedemikian rupa untuk menaklukkan alamnya. Belanda, misalnya, membangun tanggul terbaik di dunia dan memanfaatkannya untuk pembangkit listrik, bangunan-bangunan di Jepang dirancang tahan gempa, dan Tiongkok tercatat membangun lebih dari 77 km jalan tol per 1 juta penduduk, terpanjang kedua di dunia.
Pemerintahan dan kebijakan publik yang buruk juga sangat menghambat pertumbuhan ekonomi. Korupsi adalah contoh paling nyata. Pemerintahan yang korup pasti mengakibatkan terhambatnya pembangunan karena penghisapan sumber daya negara oleh individu-individu atau kelompok tertentu.
Pemerintahan yang korup akan menghasilkan kebijakan yang sifatnya tidak jangka panjang dan memuaskan kerakusan yang berkepentingan. Semakin mewabah korupsi, akan semakin sulit kemajuan dilaksanakan di negara tersebut. Karena itu, pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan upaya tata kelola pemerintahan yang baik (good and clean governance). Pekerjaan ini tentu menuntut konsistensi jangka panjang.
Pacu Sektor Riil
Penyebab kemiskinan yang ketiga yakni regulasi yang berlebihan atau tidak berimbang. Krisis keuangan pada akhir 1990an di Asia merupakan bukti kecenderungan yang berlebihan dari pemerintah terhadap sektor keuangan dibandingkan sektor riil. Hal ini sekaligus menunjukkan lemahnya kebijakan di sektor tsb. Sektor perbankan pada waktu itu berusaha menyerap keuntungan besar dari kredit yang dikucurkan kepada dunia usaha tanpa betul-betul memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent).
Di Indonesia, preferensi kepada sektor keuangan juga sangat tinggi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya porsi pertumbuhan sektor non-tradable (jasa) yaitu sebesar 9,5% dibandingkan sektor tradable sebesar 3,2% pada kuartal ketiga 2008 (Data BPS).
Dari persentase sektor non-tradable tsb, sektor keuangan menyumbang sebesar 8,5%. Padahal sektor tradable, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, adalah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
Penyebab-penyebab di atas diharapkan dapat menjadi cermin bagi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kemiskinan di Tanah Air.
Kebijakan ekonomi yang baik haruslah berorientasi kepada rakyat, tidak bersifat tambal sulam (jangka pendek), dan fokus kepada kestabilan pertumbuhan ekonomi (jangka panjang). Hanya dengan dtrategi dan kebijakan seperti itu, ide pengentasan kemiskinan tidak lagi berhenti pada kuliah-kuliah yang tak pernah dipraktikkan.
Dini Y. Rachman, Penulis adalah Peneliti Muda Reformed Center for Religion and Society