Suara Pembaruan, 19 Oktober 2007
Benyamin F. Intan
Dalam acara buka puasa bersama dan dialog lintas agama yang diprakarsai Indonesian Committee on Religions for Peace (IcomRP), Ketua Umum PP Muhammadiyah yang juga Ketua Umum IcomRP, Prof Dr Din Syamsuddin, mengatakan, penolakan pluralisme agama adalah akibat adanya kesalahpahaman terhadap pluralisme itu sendiri. Pluralisme dipahami seolah sama dengan relativisme yang memandang semua agama benar. Bagi Din, relativisme agama dengan paham kebenaran agama yang bersifat relatif dan nisbi harus ditolak. “Relativisme ini dapat mengarah kepada unifikasi agama, dan hal ini tidak dapat dibenarkan oleh semua agama,” tegas Din (SP, 10/10/2007).
Dengan kata lain, bagi Din, menerima pluralisme agama tidak harus merelatifkan agama-agama, apalagi menyamakan semua agama untuk kemudian mencampurkannya secara bersama. Pluralisme yang dipahami Din adalah pluralisme non-indiferen, bukan pluralisme indiferen. Pluralisme indiferen adalah pola pikir yang menganggap semua agama sama. Paradigma berpikir seperti ini tidak menghargai keunikan agama. Berbagai aspek keagamaan hakiki, seperti, religious belief, religious ritual, dan religious experience yang membedakan satu agama dengan agama lainnya, oleh pola ini tidak diperlakukan dengan wajar. Hans Kung menyebutnya pluralisme “murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Melaluinya agama-agama direlatifkan, yang akhirnya menuju pada sinkretisme agama.
Beda dari pluralisme indiferen, pluralisme non-indiferen yang dianut Din mengakui dan menghargai kenyataan pluralisme iman dan agama. Paradigma berpikir seperti ini menganggap serius perbedaan-perbedaan antaragama. Jati diri dan keunikan masing-masing agama diakui dan dihargai. Pendekatan demikian menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi upaya peleburan satu agama dengan agama lainnya.
Pengakuan dan penghargaan atas realitas pluralisme tidak harus selalu identik dengan paham pluralisme indiferen. Menjadi seorang pluralis, dalam arti orang yang menghargai keberagaman agama, tidak harus menjadi penganut pluralisme indiferen. Seorang penganut pluralisme indiferen pastilah seorang pluralis, tapi seorang pluralis belum tentu seorang penganut pluralisme indiferen.
Sebaliknya, yang menolak paradigma pluralisme indiferen tidak harus dicap anti-pluralis. Sejauh menganut pluralisme non-indiferen, orang tersebut seorang pluralis. Namun, ketika menolak pluralisme non-indiferen, orang tersebut menolak realitas keberagaman sama sekali, resikonya, anti-pluralis.
Komunitas Merdeka
Bukan lagi rahasia umum bahwa penolakan terhadap paham pluralisme non-indiferen, ketidakrelaan, dan ketidaksanggupan menerima kehadiran “yang lain” , menjadi pemicu utama konflik agama baik internal maupun eksternal. Di sini persoalan perbedaan diselesaikan dengan cara “hukum rimba” (yang kuat hidup, yang lemah mati) melalui prinsip live and let die. Perbedaan-perbedaan dihilangkan dengan cara membidik hak hidup “yang lain.” Pihak yang kuat, dengan segala macam cara, kalau perlu dengan kekerasan, memaksa yang lemah menuruti dan menyesuaikan diri dengan mereka yang kuat.
Dalam kondisi seperti ini kebebasan menjadi barang mahal, terenggut oleh arogansi dan dominasi dari pihak yang kuat. Kebebasan agama-agama dalam community of freedom (komunitas merdeka) menjadi prasyarat bagi terealisasinya realitas pluralisme keagamaan. Paradigma community of freedom menjamin kebebasan agama-agama dalam bentuk negative immunity, di mana agama-agama hidup berdampingan secara damai melalui sikap hidup live and let live (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, hal. 142). Dalam pola pikir seperti ini, perbedaan-perbedaan religius diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan, karena memang tidak punya pilihan lain. Ada toleransi memang, tapi masih dalam bentuk yang sangat minim. Penerimaan satu sama lain masih belum sincere, ketulenannya diragukan. Perbedaan-perbedaan masih belum dapat diterima sebagai sesuatu yang baik secara intrinsik. Ada hidup bersama memang, tapi jauh dari rasa kebersamaan. Mereka saling menyapa, tapi tidak ada interaksi yang sesungguhnya.
Persoalannya, bagaimana supaya keberagaman agama bukan hanya sekadar tidak membawa petaka, tapi mampu memaslahatkan bangsa? Itu berarti sikap hidup live and let live saja tidak cukup. Hidup bersama bukan lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tapi secara “teologis.” Toleransi dipahami bukan lagi sekadar menerima keberagaman (agree to disagree), tapi bagaimana supaya keberagaman dapat membawa manfaat (sublimated disapproval). Dengan demikian, kebebasan agama-agama dalam bentuk negative immunity saja tidak cukup. Kebebasan religius harus pula mencakup positive immunity, di mana agama harus bebas mengekspresikan keyakinannya di publik, kesempatan mempengaruhi kehidupan publik masyarakat (the public life of society) dengan nilai-nilai universal yang diyakininya (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, hal. 143). Peran publik agama tersebut tidak dilakukan sendiri-sendiri, tapi secara bersama-sama membentuk common good.
Memang tidak gampang membuat konsensus common good dalam masyarakat Indonesia yang heterogen secara budaya dan religius. Perlu dialog yang jujur dan terbuka, serta good will memaslahatkan bangsa. Konsepsi common good yang dihasilkan bukanlah pendapat mayoritas atau sekadar titik temu dari argumentasi yang popular. Sebaliknya, melalui proses pemikiran dan argumentasi, common good dicapai ketika “doktrin menjadi solid” (doctrine solidifies) dan ada konsensus (John Courtney Murray, We Hold These Truths, hal. 105). Itu berarti common good bukanlah “jumlah keseluruhan” , tapi “kesatuan” dari partial goods. Meskipun kesatuan dari partial goods, common good, menurut John Courtney Murray, harus pluralist in structure (“The Problem of State Religion,” hal. 158).
Common good harus menjiwai spirit Pancasila, dalam arti, ketika common good “berbeda” dari partial goods masing-masing kelompok agama, ia tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan dan ajaran setiap kelompok. Syarat minimal common good, menurut Franz Magnis-Suseno, harus bisa menjamin hak-hak kelompok minoritas. Jauh dari menjadi petaka bangsa melalui common good, kehadiran keberagaman agama bukan hanya tidak menjadi permasalahan bangsa, tapi justru menjadi agen pembawa kemaslahatan bangsa.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society