Pluralisme Agama dan Negara Berkeadilan

Seputar Indonesia, 25 Agustus 2010
Benyamin F. Intan

Menjelang HUT Ke-65 Republik Indonesia Forum Solidaritas Kebebasan Beragama (FSKB) menggelar ibadah bersama di depan Monas, Jakarta 15/8. Aksi solidaritas ini menyuarakan, setiap orang memiliki hak beribadah, dan secara bersamaan prihatin bahwa di negeri yang merdeka ini masih ada individu atau kelompok minoritas yang belum bebas beribadah bahkan kerap mengalami kekerasan ketika menjalankan kewajiban ibadah mereka.

Terakhir, aksi kekerasan menimpa Gereja HKBP Pondoh Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur. Tiga minggu berturut-turut jemaat mengalami gangguan ibadah. Bahkan, pada 8 Agustus 2010, ketika melaksanakan ibadah, beberapa jemaat mengalami luka-luka akibat tindak kekerasan sekelompok orang.

Sangat disayangkan kelompok agama dan kepercayaan minoritas belum menikmati buah manis multikulturalisme. Perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan dialami kelompok minoritas karena ajaran mereka dianggap sesat (heresy) atau tidak sesuai (unorthodoxy belief) dengan ajaran kelompok yang lebih besar. Pembakaran dan penyerangan terhadap rumah ibadah minoritas oleh kelompok agama tertentu masih terus terjadi.

Kasus-kasus ini terus berulang karena aparat negara tidak banyak berperan dalam pencegahan tindak kekerasan. Negara kurang melindungi kelompok yang tergolong relatif kecil secara kuantitas dari tindak kekerasan kelompok lain. Negara lalai memproteksi kebebasan beragama warganya seperti digariskan konstitusi. Sadar atau tidak, negara telah melakukan kejahatan pembiaran (crime by omission).

Akibat tindakan pembiaran, heresy dan unorthodoxy belief yang tadinya tidak mengganggu kepentingan umum mulai dianggap membahayakan kehidupan publik. Kepercayaan mulai dipolitisasikan. Terjadi apa yang dinamakan politicized belief. Sadar atau tidak, aksi pembiaran negara telah mengeskalasi level intoleran dari heresy dan unorthodoxy belief kepada politicized belief. Dalam politicized belief, negara memolitisasi agama. Keberpihakan (pasif) negara terhadap kelompok mayoritas bukan tanpa tujuan, ujung-ujungnya kelanggengan kekuasaan negara.

Pelanggaran negara tidak hanya sebatas aksi pembiaran tapi mencakup tindakan aktif negara (crime by commission). Setara Institute mencatat dari 291 aksi pelanggaran kebebasan beragama di tahun 2009, terdapat 139 tindakan pelanggaran yang melibatkan negara, 101 tindakan aktif negara dan 38 aksi pembiaran oleh negara. Akibat tindakan aktif negara, heresy dan unorthodoxy belief tidak lagi sekedar politicized belief tapi telah berevolusi menjadi seditious belief, suatu kepercayaan/ideologi yang membahayakan eksistensi negara. Itu sebabnya, butuh tindakan aktif negara. Amat disayangkan kehadiran negara menjadi kontraproduktif: bukannya menjamin kebebasan beragama waganya tapi malah jadi sumber masalah. Keadilan yang menjadi tugas pokok utama negara hilang tanpa membekas.

Prinsip Regulasi
Terciptanya kebebasan beragama butuh peran negara. Bukannya berperan negatif negara untuk tidak berkontraproduktif tapi peran positif negara di dalam menjamin dan memproteksi kebebasan beragama. Negara memang tidak boleh meregulasi kehidupan beragama. Tapi, negara bukan hanya diperbolehkan bahkan diharuskan membuat regulasi untuk melindungi kebebasan beragama.

Pembuatan regulasi kebebasan beragama oleh negara, menurut Reinhold Niebuhr, harus berpedoman pada “prinsip regulasi” (regulative principle). Kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) menjadi elemen dasarnya. Tanpa kedua elemen ini, mustahil menegakkan keadilan negara. Sehingga, bagi Niebuhr, tuntutan kebebasan beragama bukan hanya sebatas jaminan kebebasan tapi juga mencakup jaminan atas perlakuan yang sama (liberty and equality).

Regulasi jaminan kebebasan oleh negara sejatinya memberi ruang kebebasan seperti digariskan konstitusi. Artinya, negara perlu membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Beragama sebagai implementasi dari pasal 29 UUD 1945. Sangat disesalkan banyak pihak, kebebasan beragama yang begitu penting belum memiliki dasar jaminan hukum setingkat undang-undang. Dengan hadirnya UU Kebebasan Beragama, negara diharapkan tidak lagi melakukan pembiaran, apalagi tindak aktif pelanggaran kebebasan beragama.

Jaminan atas perlakuan yang sama oleh negara pertama-tama dilakukan dengan menghapus semua peraturan kenegaraan yang bersifat diskriminatif. Cukup banyak peraturan diskriminatif setingkat UU, penetapan presiden, keputusan menteri, dan peraturan daerah yang perlu dicabut. Upaya memperjuangkan antidiskriminatif sejatinya bermuara pada ketegasan negara menganulir tindak kekerasan suatu kelompok agama terhadap kelompok agama lain.

Keadilan Minoritas
Kehadiran regulasi jaminan kebebasan dan perlakuan yang sama tidak serta-merta menjamin keadilan kelompok agama minoritas dari tindak kekerasan dan perlakuan diskriminatif. tapi belum mampu mengakomodir apa yang David Hollenbach katakan sebagai hak partisipasi minoritas (minority rights of participation). Bagi Hollenbach, partisipasi minoritas adalah test case bagi negara berkeadilan. Membiarkan masyarakat mengesampingkan hak-hak minoritas sama artinya melanggengkan ketidakadilan (The Common Good and Christian Ethics, 173-211).

Dengan kata lain, kelompok minoritas butuh keberpihakan negara mendorong partisipasi mereka. James Skillen menoleransi keberpihakan negara pada kaum minoritas sejauh berada dalam koridor sphere of responsibility negara yang menjunjung tinggi keadilan (political order and the plural structure of society). Artinya, partisipasi minoritas oleh negara didorong oleh keinginan luhur untuk menegakkan prinsip keadilan semata, dan bukannya malah menimbulkan ketidakadilan baru. Sphere of responsibility juga berarti, keberpihakan negara tidak boleh keluar dari yurisdiksi negara, sampai mencampuri apalagi meregulasi urusan internal kelompok minoritas. Singkatnya, keberpihakan negara pada kaum minoritas dalam koridor sphere of responsibility semata-mata demi keadilan.

Mewujudkan buah manis multikulturalisme dalam rangka HUT Ke-65 Kemerdekaan Idnonesia di ranah perjumpaan agama-agama memang tidak mudah. tapi, bukan hal mustahil peran aktif negara berkeadilan merupakan salah satu solusi utamanya.

Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.