Kompas Jawa Timur, 26 Februari 2008
Antonius Steven Un
Dalam acara Gerak Jalan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Malang memperingati hari lahir ke-82 NU, Wakil Rois Syuriah PCNU Kota Malang, H Imam Hambali dan Ketua PCNU Kota Malang, KH Marzuki Mustamar menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan dan bukan politik sehingga seyogyanya bersikap netral dalam pilkada Kota Malang, Juli 2008.
Penegasan demikian patut mendapatkan apresiasi dan atensi memadai dari tokoh religius di daerah, sebab merupakan suatu upaya reposisi dan revitalisasi eksistensi dan peran agama dalam wujud depolitisasi.
Kekuatiran terjadinya politisasi agama di daerah, bukanlah hal yang berlebihan mengingat beberapa konsiderasi. Terdepan, memang tidak dapat dimungkiri bahwa organisasi dan asosiasi religius memiliki massa. Elemen inilah yang paling menggoda tokoh politik dan religius untuk memelesetkan peran agama.
Godaan ini bukan hanya terjadi pada organisasi Muslim seperti NU dan Muhammadiyah tetapi juga pada organisasi Kristen seperti Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) yang ada di Jawa Timur dan juga beranak pinak di puluhan Kabupaten dan Kotamadya. Selain itu masih terdapat ragam organisasi di daerah seperti Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa Indonesia (PGTI), Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili (PGLI), Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI) dan Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah. Masing-masing organisasi ini mengklaim memiliki massa.
Selain itu, adalah sesuatu yang common sense bahwa dimensi religius memiliki kadar loyalitas yang jauh lebih kuat ketimbang loyalitas politik. Fakta ini adalah sebuah kekuatan sekaligus memiliki potensi bahaya yang besar. Selain rentan dimanfaatkan elite politik, konflik horisontal dalam ranah religius kerap sulit disolusi dengan damai. Karena kadar loyalitas yang demikian kuat, elite politik tergiur untuk memanfaatkan jalur ini dalam meraup preferensi politik.
Di luar dua konsiderasi di atas, patut disadari bahwa elite religius juga memiliki kepentingan tertentu, diantaranya harapan kemudahan birokratif. Misalnya, para pemimpin tokoh Kristiani kerap mendukung pasangan calon tertentu dengan harapan nantinya terbuka akses kemudahan pengurusan ijin tempat ibadah.
Sementara itu, tidak sedikit organisasi religius di kalangan Muslim yang berharap bantuan dana pemerintah untuk operasional organisasi dan pembangunan tempat ibadah. Kepentingan ini terkesan mulia namun berpotensi mempelacurkan agama di lokalisasi politik.
Efek Samping
Dengan posisi agama yang rentan politisasi, signifikan mewacanakan efek samping politisasi agama. Paling depan, membawa agama ke ranah politik merupakan sebuah perjudian yang mahal harganya karena loyalitas yang kuat berpotensi menimbulkan konflik horisontal yang sarat kekerasan.
Kita tahu semua bahwa pilkada an sich rentan dan sarat konflik. Hampir setiap tahapannya, mulai dari persiapan, penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon, kampanye, pencoblosan, penghitungan suara, penetapan hasil hingga pelantikkan calon terpilih, tidak pernah bersih dari konflik.
Tidak heran, PBNU yang diwakili KH Hasyim Muzadi sampai mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui sistem politik reprentasi seperti dulu. Beliau sudah kecewa dan putus asa dengan pilkada karena biaya politik, sosial dan ekonomi terlalu mahal, tidak sebanding dengan produknya, pasangan kepala daerah yang minim kapabilitas keahlian dan integritas moral rendah.
Apalagi ditambah dengan menyeret paksa agama ke dalam ranah politik praktis. Hasilnya, jangan heran kalau konflik pilkada akan bertambah buram. Konflik horisontal akan menghancurkan modal sosial yang pada gilirannya melemahkan sendi-sendi demokrasi. Karena itu jangan coba-coba bawa agama ke ring tinju politik.
Revitalisasi
Agama sejatinya dikembalikan ke baraknya sebagai lencana kemanusiaan bukan sapi perah segelintir manusia. Sebagai lencana kemanusiaan berarti agama berusaha untuk memanusiakan manusia sebagai Imago Dei. Martin Luther King, Ibu Teresa, Mahatma Gandhi, adalah pejuang kemanusiaan yang berlatarbelakang religius. Di konteks kontemporer, almarhum Nurcholish Madjid, Dr. Stephen Tong, Romo Franz Magnis Suseno merupakan contoh tokoh religius yang menolak terlibat politik praktis agar menjaga purifikasi agama sebaga pejuang garda depan bagi kemaslahatan kemanusiaan.
Selain itu, seyogyanya agama menjadi agen memperjuangkan nilai-nilai demokratis. Di sini, konsistensi menjaga posisi menjadi agenda penting. Pertama, agama harus berinisiatif dan proaktif terlibat penuh dalam politik moral, tetapi pasif dan menolak terlibat dalam politik praktis.
Agama harus membawa suara kenabian menegur pemerintah yang lalim dan yang menzalimi rakyat kecil. Agama harus menyadari posisnya sebagai nurani masyarakat, peka terhadap penyimpangan prinsip-prinsip moral dan hukum serta menyuarakan hal itu dalam ranah publik. Tetapi untuk politik praktis, satu detik dan satu incipun, agama tidak boleh terlibat.
Kedua, agama mendorong masyarakat untuk memilih dalam pilkada tetapi tidak boleh berpihak pada salah satu pasangan calon. Menggerakan partisipasi politik melalui pencerahan dalam ranah religius adalah agenda mulia. Tetapi meraup preferensi politik untuk kandidat tertentu adalah pencederaan terhadap identitas agama.
Ketiga, individu religius memiliki hak memilih dan dipilih sesuai perundangan yang berlaku tetapi organisasi religius harus bersih dari urusan memilih dan dipilih. Ali Maschan Moesa boleh mencalonkan diri tetapi NU sejatinya tidak mengarahkan suara kepada satu kandidat. Hal ini penting sebab NU bukan saja organisasi masyarakat bagi kemaslahatan kaum Muslimin tetapi bagi kemanusiaan, kebangsaan dan demokrasi.
Dengan menyeret NU masuk politik praktis, yang dikuatirkan berpotensi menimbulkan konflik internal. Hal ini akan sangat merugikan bukan saja kalangan Muslim, tetapi juga merugikan kalangan minoritas, karena NU selama ini merupakan salah satu pilar terkuat penyokong kebebasan beragama di negara Pancasila ini.
Antonius Steven Un, Penulis adalah Rohaniawan, Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society