Petaka dalam Jeratan Narkoba

Investor Daily, 28 Maret 2010
Joseph H. Gunawan

Sebuah laporan yang dirilis oleh Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya baru-baru ini menyebutkan, sejak Januari 2009 hingga Maret 2009, tercatat 505 kasus tindak pidana narkotika dan psikotropika yang melibatkan pelajar dan mahasiswa. Mengejutkan sekaligus mencemaskan.

Angka yang dirilis Polda Metro Jaya tersebut di atas seolah memperkuat data yang dirilis Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mensinyalir lebih dari 1,1 juta pelajar dan mahasiswa telah terjerat penyalahgunaan narkoba.

Di Indonesia pengguna narkoba tercatat mencapai 1,5% dari 225 juta penduduk. Kejahatan narkotika di negeri ini sudah termasuk kategori kejahatan sangat serius, karena kematian 15 ribu korban pecandu narkoba per tahun atau telah membawa korban 41 orang mati setiap hari. Sementara itu, 8 ribu orang yang menggunakan narkotika dengan alat bantu suntik dan 60% terjangkit HIV/AIDS.

Itu dari sisi korban nyawa. Dari sisi kerugian ekonomi, triliunan rupiah menguap sia-sia untuk membiayai dampak penggunaan narkoba. Berdasarkan data BNN dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia, dampak ekonomi dan sosial dari penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai Rp 23,6 triliun pada tahun 2004.

Sementara itu, di sisi lain, dana masyarakat yang dibelanjakan sekitar Rp 292 triliun per tahun, karena apabila ada 3,2 juta korban dan masing-masing membelanjakan Rp 200 ribu per hari, per bulan Rp 640 miliar. Ini akibat penyebaran perdagangan gelap narkotika yang sudah sedemikian luas dan mewabah.

Kejahatan Terorganisasi
Jelas, narkoba bukan saja masalah nasional suatu negara. Penyakit masyarakat ini sudah menjadi masalah semua negara di dunia, sehingga mayoritas anggota PBB telah menyepakati United Nation Convention Against the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances pada 1988. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Ultima ratio merupakan terminologi etika, yang artinya upaya jalan terakhir. Karl Barth (1886-1968) berpandangan bahwa eksekusi mati sebagai ultima ratio dapat dikenakan pada pengkhianat bangsa dan negara yang menyengsarakan masyarakat karena merusak dan menghancurkan generasi penerus bangsa. Kejahatan narkotika atau drug offences atau drug crimes pada umumnya dan drugs trafficking pada khususnya merupakan bagian dari kejahatan yang terorganisasi.

Kejahatan narkotika pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Ruang lingkup dan dimensi kejahatan narkotika sangat luas, sehingga kegiatan dan aktivitasnya mengandung ciri sebagai organized crime, white collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, kejahatan narkotika dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.

Eksekusi mati tetap menjadi salah satu bentuk sanksi pidana, namun pelaksanaannya harus memenuhi syarat kehati-hatian sebagai pidana yang bersifat khusus, yakni dengan syarat-syarat khusus dan didukung oleh bukti-bukti saksi serta bukti-bukti lain yang sangat kuat.

Di Indonesia, legitimasi eksekusi mati terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba berat ini diperkuat oleh penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 30 Oktober 2007, tentang permohonan judicial review atau pengujian materiil sejumlah pasal dalam UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun, prosedur hukum yang panjang tetap merupakan salah satu kendala pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi mati sebagai ultima ratio itu dijatuhkan dalam rangka untuk melindungi kepentingan individu sekaligus mengayomi masyarakat. Eksekusi mati bagi pelaku penyalahgunaan narkoba ini diberlakukan agar ditegakkannya asas perlindungan kepada masyarakat dan pemeliharaan komunitas.

Di masa mendatang, ultima ratio dapat diberlakukan bagi produsen-dan penanamnya- dan pengedar narkoba kelas kakap yang semuanya dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan yang bertujuan membunuh dan memusnahkan suatu bangsa dan negara secara perlahan namun pasti. Kejahatan jenis ini dikategorikan “sangat luar biasa”, sehingga penanganannya harus dilakukan secara extra keras.

Konsistensi Pemerintah
Mengingat begitu luasnya dampak yang ditimbulkannya, maka perang terhadap menyalahgunaan narkoba haruslah menjadi kebijakan negara. Untuk memerangi kejahatan yang sudah terorganisasi secara internasional ini, sangat diperlukan kebijakan negara yang integral dan komprehensif dengan melibatkan seluruh institusi negara terkait, aparatur negara dari yang tertinggi sampai yang terendah, seluruh unsur elemen masyarakat.

Eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba berat merupakan salah satu upaya konsistensi penegakan hukum dan tegaknya kewibawaan hukum di Indonesia. Konsistensi pemerintah ini tentunya bukan persoalan mudah di tengah begitu maraknya perlawanan terhadap eksekusi mati. Tapi, apapun juga, pilihan terhadap keselamatan generasi masa depan bangsa, haruslah menjadi pertimbangan utama.

Masyarakat tetap harus diajak untuk aktif berpartisipasi dalam memerangi narkoba, dengan upaya konkret dan memerhatikan secara khusus lingkungan sekolah dan kampus-kampus perguruan tinggi. Kampanyekan dan yakinkan masyarakat bahwa hidup dalam jeratan narkoba adalah sebuah petaka, tidak bagi si individu, tapi juga masyarakat, bangsa, dan negara.

Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.