Binsar A. Hutabarat
Suara Pembaruan, 16 Februari 2006
Waktu baca: 8 menit
Perdebatan seputar Rancangan Undang- Undang RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sedang digodok di DPR saat ini menjadi isu “panas”. Kalau tidak salah, isu ini mulai mencuat (lagi) ketika Rhoma Irama menuding goyangan “ngebor” Inul Daratista sebagai salah satu jenis pornoaksi.
Inul sendiri membantah tuduhan Si Raja Dangdut itu sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak mempunyai dasar. Pertengkaran mereka sempat mereda, namun dengan adanya pembahasan RUU Antipornografi dan Pornoaksi, perselisihan kedua artis kondang tersebut kembali menjadi pemberitaan hangat.
Tingginya desakan dari sekelompok masyarakat agar RUU Pornografi dan Pornoaksi disahkan, pun tidak terlepas dari rencana terbitnya Majalah Playboy versi Indonesia. Bahkan, nyaris setiap hari ada demo besar untuk menolak Playboy khas Indonesia ini. Padahal kalau mau jujur, selama ini sudah sejak lama beredar majalah yang mungkin lebih “parah” dari Playboy yang bakal diterbitkan itu, namun tidak pernah ter-lalu diributkan.
Bahkan, VCD-VCD porno (blue film) juga bertebaran di mana-mana tanpa ada yang mau peduli. Mungkin karena tekanan terhadap pornografi sedang menguat, banyak pula kasus lama yang dinilai berbau pornografi, kini mulai ditangani. Anjasmara, yang dituding melecehkan Nabi Adam, akhir-akhir ini kasusnya mencuat lagi ke permukaan.
Masalah pornoaksi dan pornografi memang rumit. Jadi, bagaimana membuat UU-nya juga jelas bukan masalah sederhana.
Adalah fakta bahwa banyak pihak yang menginginkan adanya UU Antipornografi, namun sebaliknya tidak sedikit orang yang menolaknya. Sehingga, jika RUU Antipornografi disahkan karena dorongan kelompok tertentu, pastilah UU tersebut akan menimbulkan diskriminasi. Padahal UU seharusnya dibuat untuk memberikan kebahagiaan bersama sebagai sesama warga bangsa.
Definisi
Pro-kontra yang mengitari RUU Antipornografi dan Pornoaksi berawal dari belum adanya definisi “pornografi” yang dapat diterima secara bersama oleh semua kalangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, serta (2) bahan bacaan yang dengan sengaja semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Persoalannya, setiap orang punya batas sendiri tentang mana tingkah laku erotis yang membangkitkan birahi, dan mana yang termasuk dalam unsur seni-bukan usaha untuk membangkitkan birahi seks. Pornografi juga melahirkan definisi yang beragam berdasarkan pengaruh pandangan suku, budaya, dan agama. Akibatnya tidak mudah untuk menarik nilai-nilai bersama yang akan dituangkan dalam UU Antipornografi tersebut.
UU Antipornografi dan Pornoaksi yang bisa menjadi sintesa nilai-nilai bersama semua suku, budaya, dan agama dapat saja diperlukan. Namun, itu terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang belum dewasa untuk menilai mana yang baik atau tidak menyangkut pornografi. Yang bahaya adalah jika UU tersebut dipergunakan oleh kelompok tertentu untuk melindungi keutuhannya, tanpa peduli kelompok lain.
Tindakan demikian adalah tindakan warga bangsa yang belum dewasa, sebab UU tersebut dapat diibaratkan sebagai larangan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa. Sehingga, tidaklah mengherankan jika belum lama ini Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seksologi, di hadapan anggota legislatif yang tengah merancang RUU tersebut, mengatakan bahwa UU Antipornografi substansinya cenderung mencampuri urusan pribadi.
Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi dampak pornografi, pendidikan seks lebih penting dibanding sebuah UU. Ia juga mengatakan bahwa ketika pendidikan seks diberikan secara tepat, maka ancaman pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Proteksi yang terlalu berlebihan dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya berlaku untuk anak-anak.
Memang, setiap individu mempunyai hak yang melekat dalam dirinya, dan kebebasan untuk menikmati haknya dibatasi oleh penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Jadi, pornografi yang mengganggu ketertiban umum, sebagai sesuatu hal yang bersifat asusila tidak dapat diizinkan.
Dan, kewajiban negara untuk menjaga hubungan bersama tersebut tanpa harus merampas hak-hak individu. Belum adanya UU Antipornografi tidak berarti tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggar hukum berkenaan dengan tindakan yang mengganggu ketertiban umum. Karena hal tersebut sudah ada hukumnya.
Buktinya, Anjasmara-yang aksi “seni”-nya dinilai meresahkan kelompok tertentu, menghadapi proses hukum. Jadi, perangkat hukum terhadap pelanggaran susila (pornografi) telah ada sehingga tidak perlu merampas hak kebebasan individu.
Perdebatan
Adanya perdebatan dalam penyusunan RUU Antipornografi mengindikasikan bahwa dalam masyarakat Indonesia belum ada kesepakatan nilai-nilai bersama. Masyarakat Indonesia belum menyatu, sebab masih berupa kumpulan masyarakat. Walaupun Indonesia telah merdeka cukup lama (61 tahun), namun masyarakat yang Pancasilais belum juga terwujud.
Bahkan, di sana-sini timbul konflik. Rasa keindonesiaan belum tertanam kuat. Akibatnya, dalam transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan, sering menimbulkan diskriminasi terhadap sesama warga bangsa. Karena individu, kelompok yang ada sering tidak berusaha untuk menghormati kebebasan orang lain. Sebaliknya, setiap individu dan kelompok selalu berusaha untuk memaksakan kehendaknya. Transformasi Pancasila ke dalam UU seringkali tidak dijiwai oleh semangat Pancasila yaitu bhineka tunggal ika.
Dapat dipahami apabila RUU Antipornografi tetap ingin diusahakan untuk diundangkan maka berarti masyarakat Indonesia belum dewasa, nyatanya, karena individu atau kelompok diizinkan untuk memaksakan nilai-nilainya yang partikular menjadi sesuatu yang universal. Dan, ketidakdewasaan tersebut juga nyata dari tindakan yang tidak menghargai perbedaan. Terlebih lagi, karena tentang definisi pornografi belum ada kata sepakat, maka tidak boleh ada suatu kelompok pun yang bisa memaksakan nilai-nilai partikular agama dan kepercayaannya melalui UU.
Untuk mengatasi tindakan yang tidak bertanggung jawab dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan dari usaha yang haram, merusak moralitas manusia dengan memperdagangkan hal-hal yang bersifat pornografi, jalan terbaik adalah menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk mengatasi dampak negatif dari pornografi dan pornoaksi.
Pada bagian ini, peran keluarga dan agama menjadi sesuatu yang penting. Moralitas keluarga yang terjaga dengan baik, melalui teladan orang tua, merupakan kekuatan yang mampu menahan semua usaha yang mau menghancurkan moralitas bangsa.
Demikian juga agama-agama seharusnya semakin menyadari bahwa ia bukan hanya merupakan suatu sistematisasi kepercayaan, tetapi juga harus mewujud dalam kehidupan umatnya. Apabila penegakan hukum dan UU yang telah ada berjalan dengan baik, hal tersebut cukup untuk membawa Indonesia ke dalam kehidupan moral yang lebih baik.
Persoalannya, seringkali hukum yang dibuat susah payah, justru ditelantarkan.
UU tentang Antipornografi tampaknya tidak akan memberikan kontribusi positif. Terlebih lagi, karena menimbulkan pro-kontra yang belum selesai. Dengan demikian sudah seharusnya jangan buru-buru disahkan.
Siapa yang berani menjamin UU Antipornografi tersebut dapat membuat Indonesia lebih bermoral? Kejahatan yang nyata-nyata di depan mata saja tidak pernah disentuh, apalagi hal-hal yang masih menimbulkan kontroversi. Sebagai negara terkorup di dunia dengan konflik antarsuku, budaya, dan agama yang sangat memprihatinkan, masihkah Indonesia merasa sebagai negara bermoral tinggi?
Bencana demi bencana melanda Indonesia, hanya sebagian kecil orang yang peduli, bahkan tidak jarang orang Indonesia yang tidak punya hati nurani, menyunat bantuan bagi orang-orang yang menderita. Apakah hukum Indonesia hanya cocok untuk orang kecil?
Bukankah hanya orang kecil yang kesulitan mendapatkan bacaan-bacaan pornografi, sedang orang-orang beruang tetap mendapatkan akses untuk mengonsumsinya? Mudah-mudahan bukan hanya pemerintah yang berusaha bertindak bijak, tetapi semua warga bangsa juga belajar untuk menjadi bijak.
Binsar A. Hutabarat, penulis adalah seorang dosen.