Seputar Indonesia, 21 September 2010
Benyamin F. Intan
Pemberlakuan Peraturan Bersama (Perber) Menag dan Mendagri 2006 yang merupakan revisi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Mendagri No 1/1969 menimbulkan permasalahan serius. Betapa tidak, sejak perber diterapkan, gelombang penolakan terhadapnya terus meningkat. Puncaknya pada pemukulan dan penusukan aktivis dan pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah,Bekasi,12 September 2010.Alasan utamanya, peraturan tersebut cenderung mengekang kebebasan beragama.
Sejak diberlakukan, perber langsung menyasar gereja-gereja kecil yang belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Padahal, sebelumnya tempat-tempat ibadah tersebut banyak yang tidak pernah dipersoalkan kehadirannya oleh masyarakat sekitar. Lahirnya perber memberikan legitimasi bagi penutupan banyak gereja yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana tertera dalam perber, yakni memiliki persetujuan dari 60 orang warga sekitar, dan jumlah anggota jemaat minimal 90 orang dewasa yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP).
Dalam usianya yang terbilang muda itu, perber kemudian juga menyasar gereja-gereja besar, seperti yang dialami Gereja HKBP, Gereja Kristen Indonesia (GKI) misalnya GKI Taman Yasmin, dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), antara lain GPIB Galaksi, demikian juga beberapa Gereja Katolik, seperti yang terjadi di Harapan Indah Bekasi dan Purwakarta.
Sekretaris Jenderal Gereja HKBP Pdt Ramlan Hutahaean, MTh, menyimpulkan, maraknya perusakan dan pelarangan berdirinya rumah ibadah di Indonesia adalah karena perber tersebut memiliki celah bagi kaum mayoritas di suatu tempat untuk menghalangi berdirinya rumah ibadah kaum minoritas. Hal yang sama ditegaskan Yenny Zannuba Wahid, Direktur The Wahid Institute, bahwa semangat perlindungan minoritas absen dalam perber (SINDO, 20/11/10).
Diskriminatif
Amat disayangkan, Perber 2 Menteri 2006 yang merupakan revisi dari SKB 2 Menteri 1969, tidak dapat melepaskan dirinya dari konteks politik yang mencetuskan SKB 1969 tersebut. Seperti diketahui, munculnya SKB 1969 tidak dapat dipisahkan dari konsesi politik yang diberikan pemerintah kepada Islam.
Ketegangan dan kecurigaan hubungan Islam-Kristen dimulai tahun 1967, ketika itu disinyalir bahwa akibat G30S PKI, banyak Islam abangan yang berideologi komunis masuk Kristen. Untuk menghentikan proses pertumbuhan tersebut, atas desakan kelompok Islam, pemerintah meminta para wakil agama menandatangani pernyataan tidak akan membawa agama kepada orang yang telah beragama dalam Musyawarah Antar Umat Beragama tahun 1967. Namun wakil Kristen dan Katolik menolak menandatangani.Akibatnya musyawarah berakhir tanpa hasil.
Sebagai konsesi kepada Islam, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No1/1969 tentang pendirian tempat ibadah, targetnya jelas: membatasi tempat ibadah orang Kristen.Itu sebabnya mengapa bagi Gus Dur,SKB adalah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja.
Entah berapa banyak gereja yang tidak jadi didirikan gara-gara SKB.Entah berapa banyak gedung gereja yang ditutup dan dihancurkan hanya karena alasan SKB tersebut. Sangat ironis memang, ketika gereja begitu sulit dibangun, ia dengan begitu mudahnya ditutup dan dirusak.
Itu sebabnya kita menyambut Perber 2006 yang merevisi SKB 1969. Tapi alangkah kecewanya kita, bagai pinang dibelah dua, perber hampir tidak ada bedanya dengan SKB. Sama-sama bersifat diskriminatif. Perber yang mensyaratkan pendirian rumah ibadah melalui persetujuan 60 warga sekitar dan jemaat minimal 90 orang dewasa ber-KTP, dengan amat mudahnya dapat dipenuhi kelompok agama mayoritas pada suatu daerah.
Tapi bagaimana dengan kaum minoritasnya? Mengumpulkan jemaat minimal 90 orang dewasa ber-KTP tidaklah mudah. Jika tingkat kelurahan tidak cukup, dinaikkan ke tingkat kecamatan. Jika masih juga tidak cukup harus ke tingkat perkotaan. Jika itu pun masih tidak cukup, harus gabungkan beberapa kota demi mendirikan sebuah rumah ibadah.
Dalam praktiknya, hal ini hampir-hampir mustahil bisa dijalankan mengingat faktor jarak. Di Sumatera Utara, misalnya, ada daerah di mana satu kelurahan dengan kelurahan lain berjarak sangat jauh sehingga perber menjadi kontraproduktif, kehadirannya bukannya mendorong tapi malah mengekang kebebasan beribadah.
Perlu dicatat, perber diskriminatif ini bukan persoalan umat kristiani semata. Mengekang hak-hak minoritas demi langgengnya kepentingan mayoritas, bisa terjadi kepada siapa saja, dimana saja, dan pada agama apa saja. Ia bisa menimpa umat Islam yang ingin mendirikan mesjid di Bali dengan mayoritas Hindu. Ia bisa pula terjadi pada umat Islam dan umat Hindu yang ingin mendirikan rumah ibadah di daerah yang mayoritas Kristen. Singkatnya, perber adalah persoalan setiap kita, anak bangsa.
Kluster Agama
Syarat mengantongi persetujuan 60 warga sekitar untuk berdirinya sebuah tempat ibadah pada suatu daerah merupakan syarat yang paling sulit. Karena itu tidak jarang demi meloloskan izin pendirian rumah ibadah, tanah-tanah di sekitar rumah ibadah jauh-jauh hari telah dibeli anggota kelompok agama tersebut. Demikian juga dilakukan oleh kelompok yang menolak pendirian tempat ibadah. Mereka berupaya membeli tanah-tanah di mana akan dibangun rumah ibadah agama lain untuk kemudian menghalanginya.
Masyarakat akan terbelah berdasarkan agama yang kemudian melahirkan kluster-kluster berdasarkan agama. Hubungan interkomunal menjadi jauh lebih dominan dibandingkan kelompok intraagama. Hal ini akan memperlemah rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Yang pada akhirnya,merupakan tindakan bunuh diri bagi negara.
Sejak awal penerapannya, perber telah mendapat penolakan dari kelompok-kelompok minoritas agama. Empat tahun sudah kita menyaksikan sepak terjang perber yang diskriminatif. Ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasinya. Suara-suara keras yang menginginkan revisi dan pencabutan perber harus secepatnya ditindaklanjuti pemerintah.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society