Peran Sosial Televisi Lokal

Kompas Jawa Timur, 9 Januari 2007
Antonius Steven Un

Setelah reformasi 1998, keran kebebasan pers terbuka sehingga televisi swasta bermunculan di sana-sini baik secara lokal maupun nasional. Dalam konteks lokal Jawa Timur, hadir JTV. Dalam konteks lokal Malang Raya, hadir Agropolitan TV, Malang TV, Batu TV, Mahameru TV dan lain sebagainya. Timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah peran sesungguhnya dari televisi lokal di dalam konteks pembangunan daerah khususnya sosial politik? Tulisan ini bermaksud melakukan deskripsi dan preskripsi terhadap peran sosial televisi lokal.

Evaluasi Efek Siaran Televisi Lokal
Tidak disadari siaran televisi lokal di Jawa Timur pun mulai menjadi sarana tranfer nilai buruk khususnya nilai kekerasan. Hal ini terlihat dari ditayangkannya film-film berbau kekerasan di televisi-televisi lokal. Sebagai contoh, Batu TV menayangkan film silat Asia, JTV bahkan menayangkan film barat nuansa kekerasan dalam dubbing bahasa lokal. Justru cara dubbing ini menjadi sangat berbahaya karena nilai itu ditranfer ke dalam masyarakat grass-root yang bahkan hanya bisa berbahasa lokal.

Nilai kekerasan juga perlahan-lahan tertanam dalam pikiran masyarakat melalui tayangan siaran berita kriminal yang telah ditayangkan berbagai televisi lokal kita. Apa yang dideskripsikan dalam siaran demikian tanpa disadari telah diterima sebagai sesuatu yang normatif. Apalagi siaran berita kriminal kini telah dikemas dalam bahasa daerah. Itu sebabnya, misalnya, kejahatan narkoba seringkali telah merangsek masuk ke dalam kehidupan masyarakat desa.

Selain nilai kekerasan, transfer budaya barat/perkotaan yang penuh nilai konsumtif pun merupakan efek samping yang sadar atau tidak akan mempengaruhi budaya lokal. Dengan cara-cara tadi ditambah dengan tayangan video klip musik barat fulgar, misalnya oleh Mahameru TV pada malam hari perlahan-lahan mulai menanamkan life-style barat ke tengah-tengah masyarakat desa yang mempunyai cara hidup serta nilai budaya yang sangat berbeda. Sebagai contoh, budaya konsumerisme dan cara berpakaian pun tertonton setiap hari oleh masyarakat lokal kita.

Hadirnya media televisi di tengah masyarakat lokal akan menjadi kontraproduktif terhadap usaha menanamkan budaya membaca. Budaya membaca adalah kebutuhan mutlak dan mendesak dalam pendidikan publik untuk mencetak sumber daya lokal demi mencukupi kebutuhan demokrasi, otonomi serta pembangunan daerah. Tetapi dengan hadirnya media televisi maka generasi muda kita akan lebih tertarik kepada visualisasi ketimbang harus menekuni teks demi teks kering hanya untuk mencari ilmu pengetahuan.

Dengan hadirnya media televisi di tengah-tengah masyarakat pedesaan maka makin lama nilai kekeluargaan akan makin terkikis. Media televisi telah menjadi orang asing yang mendominasi komunikasi dan relasi di dalam keluarga. Waktu bersama berkumpul dan berbicara kini telah digantikan oleh waktu menonton televisi di mana tiap orang menjadi pendiam. Kalau pun berbicara, maka pokok pembicaraan bukan lagi soal hubungan personal antar anggota keluarga melainkan topik yang sedang ditayangkan di televisi.

Peran Sosial Televisi Lokal
Dengan hadirnya efek-efek samping televisi lokal tersebut, tidak berarti bahwa kita akan menghilangkan media televisi. Yang patut dilakukan adalah reposisi dan revitalisasi peran sosial media televisi lokal. Peran dan tanggung jawab sosial menuntut media televisi untuk tidak sekedar menjadi unit bisnis dan media hiburan. Dengan sekedar menjadi unit bisnis maka penyelenggaraan siaran televisi akan menjadi sangat pragmatis, hanya soal untung rugi dan mengabaikan nilai dan prinsip serta pendidikan publik. Dengan sekedar menjadi media hiburan maka media televisi berorientasi kepada pasar, menyenangkan publik tanpa memperdulikan apa yang disajikan benar atau tidak, baik atau tidak dan perlu atau tidak.

Tuntutan ini bukanlah sesuatu yang berlebihan mengingat media televisi mempunyai dua kekuatan penting. Pertama-tama, media televisi menggunakan ruang publik secara leluasa dan simultan. Siaran sebuah stasiun televisi dapat ditangkap diberbagai kota dan pelosok desa yang menerima siarannya, pada saat yang sama sekaligus. Itu sebabnya, jikalau media televisi tidak memikirkan tanggung jawab sosialnya, maka siaran yang ditayangkan akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya.

Selain itu, media televisi dengan visualisasinya memiliki kekuatan pengaruh yang lebih besar dari koran dan radio. Visualisasi dapat membangkitkan imajinasi dan imitasi dengan sangat mudah. Itu sebabnya, jika media televisi tidak mempertimbangkan dan menyadari tanggung jawab sosialnya, sungguh kehadiran media televisi bukanlah menjadi berkah bagi masyarakat justru akan menjadi malapetaka.

Dengan dua kekuatan penting ini, kita mengharapkan peran sosial media televisi lokal di dalambeberapa hal. Pertama, media televisi lokal hadir sebagai sarana pencerdasan publik. Di sini, penggunaan bahasa daerah sangatlah tepat. Sebagai contoh, siaran cara-cara penanganan kehamilan, melahirkan, dan peran bidan desa dalam bahasa Madura sangatlah penting dalam rangka mengurangi angka kematian ibu di Kabupaten Jember. Contoh lain, media televisi lokal dapat dipakai untuk pembelajaran tentang pemilihan langsung, dengan menayangkan rekaman siaran yang disiapkan oleh KPUD Kota Batu.

Kedua, media televisi dapat berfungsi kritik bagi kepentingan demokrasi. Dengan adanya kebebasan pers setelah era reformasi maka seharusnya kehadiran media untuk terus menerus mengkritik dan memberi masukan kepada kebijakan pemerintah. Media televisi dan mengundang opini, wacana dan diskusi publik untuk memberikan kritik bagi pemerintah. Kritik kepada pemerintah tidak harus dikemas dalam bentuk talkshow tetapi juga film-film dokumenter tentang kemiskinan untuk menyerukan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan secara adil. Dengan begini maka demokratisasi akan tetap terpelihara di negara yang kita cintai ini.

Ketiga, media televisi berperan sebagai agen perubahan bagi kebudayaan dan peradaban. Ada banyak nilai-nilai positif yang dapat diajarkan. Misalnya, film Les Miserables yang diangkat dari novel Victor Hugo mengajarkan bukan nilai-nilai kekerasan dan balas dendam tetapi cinta kasih, pengampunan dan penerimaan.

Antonius Steven Un, Penulis adalah Ketua Sekolah Teologi Reformed Injili Malang

Leave a Comment

Your email address will not be published.