Sinar Harapan, 1 April 2010
Benyamin F. Intan
Kematian Kristus di atas kayu salib bukan karena dosa-Nya, bukan karena Yesus tak mampu menyelamatkan diri dari strategi busuk Yudas, murid-Nya, bukan pula karena kedigdayaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang secara lihai menjadikan Pilatus alat memuaskan nafsu durjana mereka yang meluap-luap.
Yesus disalib karena hidup benar, tidak berkompromi dengan dosa, dan hidup-Nya konsisten dengan Firman Tuhan. Hidup benar membawa risiko. Punya musuh, bahkan banyak musuh. Musuh Kristus bukan orang yang Dia benci, tapi orang yang membenci Dia. Mereka yang melakukan kebenaran, kata Yesus, bagaikan domba di tengah-tengah serigala (Matius 10:16). Dibenci karena melakukan kebenaran. Dunia ini tidak netral. Plausible structure dunia (meminjam perkataan Peter Berger), gelap dan busuk.
Dunia keadilan dan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Belum selesai persoalan Century dan pertentangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang membuat geram rakyat, baru-baru ini seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan seorang pengacara tertangkap tangan sesaat melakukan transaksi suap. Dana pendidikan yang melimpah ruah menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum dibarengi pengelolaan yang tepat dan transparan. Korupsi tampaknya telah menjadi kanker yang menyebar ke mana-mana dan sulit diredam.
Indonesia memang telah berupaya memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jauh-jauh hari telah memproklamasikan diri sebagai pemimpin pemberantasan korupsi. Berbagai media secara luar biasa melaporkan keberhasilan penangkapan koruptor, dan KPK tak kenal lelah mempromosikan kantin kejujuran yang banyak bangkrut karena kehabisan modal. Herannya, ketakutan terhadap korupsi bukannya makin menguat, sebaliknya kegairahan melakukan korupsi ternyata makin meningkat.
Penganugerahan Indonesia sebagai negara terkorup di antara 16 negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik yang dilansir Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong pada 8 Maret 2010 memang menyakitkan, tapi itu bukannya tanpa bukti.
Penyangkalan Diri
Indonesia butuh keteladanan Yesus, yakni hidup-Nya yang menyangkal diri dan mau berkorban. Kematian Yesus disalib bukan karena terpaksa, tapi atas dasar kerelaan. Pengorbanan untuk membahagiakan manusia berdosa yang tanpa harapan, berada pada jurang terjal, yang siap menerima penghukuman atas kejahatannya. Itu sebabnya hari ketika Yesus disalibkan disebut Jumat Agung. Pada hari itu pengorbanan agung dipentaskan, sepatutnya diteladani semua manusia yang hidup.
Pengorbanan tahap pertama menahan diri, tidak merugikan sesama apa pun kondisinya. Ini pengorbanan level terendah. Tahap kedua pengorbanan berupaya mencegah kejahatan (to prevent evil). Jenjang ketiga, pengorbanan menghapus kejahatan (to remove evil). Pengorbanan level keempat mempromosikan kebaikan (to promote good). Pengorbanan level tertinggi (to promote good) merupakan hal teragung dari semua pengorbanan yang agung. Itulah yang dipertontonkan Yesus di kayu salib: mati menebus dosa manusia.
Pengorbanan di negeri ini berada di titik nadir karena untuk menahan diri, berupaya tidak merugikan sesama, belum mampu dilakukan, khususnya oleh mereka yang duduk di tahta kekuasaan. Korupsi di negeri ini bisa diberantas jika kita memuliakan pengorbanan dan belajar berkorban mulai level terendah, tidak merugikan sesama apa pun kondisinya.
Peristiwa salib mestinya bisa menjadi jalan keluar persoalan yang kini menggayuti negeri ini. Sebuah pengorbanan betapa pun kecilnya bisa menjadi penyambung asa bagi negeri yang terus meratapi betapa rakusnya kita. Kebutuhan yang terpenuhi dengan gaji memadai bagi staf perpajakan ternyata tidak mampu membunuh kerakusan. Pajak yang utamanya bagi kesejahteraan bangsa justru digerogoti mereka yang dikuasai nafsu keserakahan.
Mencuatnya makelar kasus perpajakan yang menjadikan Gayus Tambunan lebih tersohor dari selibritas papan atas, sampai pada pengungkapan Menteri Keuangan Sri Mulyani atas 15.000 pegawai perpajakan yang rawan suap, meski telah dilakukan reformasi birokrasi, merupakan pil pahit yang harus kita telan sebagai bangsa yang taat beragama.
Gerakan pemboikotan pajak tentu saja tidak sejalan dengan semangat pengorbanan Yesus. Kita tentu mengerti mengapa banyak orang di negeri ini marah terhadap ulah makelar kasus di perpajakan, tapi gerakan untuk tidak membayar pajak sama saja melawan ketidakadilan dengan ketidakadilan, yang akan membawa negeri ini pada titik nadir pengorbanan. Suatu kehidupan yang mempromosikan keburukan.
Korupsi di negeri ini bisa diberantas jika semua orang di negeri ini memuliakan semangat pengorbanan. Pengorbanan yang membahagiakan orang lain, dan secara bersamaan memuliakan mereka yang melakukan pengorbanan.
Selamat menyambut Jumat Agung.
Benyamin F. Intan, Penulis adalah rohaniawan dan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society