Pengaruh Politik dalam Pendidikan di Indonesia

Esai

  • Nathanael Tjandra
  • Siswa SMA Kristen Calvin
  • 2 Februari 2022
  • Waktu Baca 19 menit

Berbagai kebijakan pemerintah memiliki dampak yang luas, baik positif maupun negatif. Dalam hal kondisi pendidikan yang masih tertinggal, hal itu menunjukkan bahwa perlu ada perbaikan dalam berbagai sisi khususnya kebijakan. Ketika kebijakan telah menjadi lebih baik, maka akan lebih mudah mendapatkan hasil nyata yang positif. Kondisi pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kolonial dan pendidikan pada masa Politik Etis. Korupsi dalam sektor pendidikan juga dapat diperbaiki dengan lebih membenahi keadaan yang ada dan belajar dari berbagai negara. Harapannya, pemikiran dalam tulisan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah yang hendak mengambil kebijakan serta menjadi sumber inspirasi bagi publik yang terlibat dalam sektor pendidikan. Dengan demikian, penyia-nyiaan sumber daya alam maupun manusia yang sudah terjadi sejak masa lalu tidak terulang lagi dan sebaliknya dapat mengembangkan talenta-talenta di masa sekarang, dan meminimalkan pelumpuhan bangsa di masa depan.
Esai ini bertujuan menjabarkan hubungan antara politik dan pendidikan di Indonesia dari sejarah masa lalu, keadaan pada masa sekarang, dan arah masa depan. Pengaruh korupsi juga dipertimbangkan. Selain itu, dilakukan pengkajian terhadap kebijakan yang diambil pemerintah terkait pendidikan dalam beberapa waktu terakhir. Esai ini juga membandingkan sejarah dan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia dengan beberapa negara yang pendidikannya lebih maju, seperti Singapura (yang juga adalah bekas jajahan), Jepang (yang melakukan reformasi besar-besaran di zaman Meiji), Tiongkok (yang menyelenggarakan pendidikan secara efektif dalam populasi yang besar), dan Amerika Serikat (salah satu negara tujuan favorit untuk pendidikan tinggi). Sebagai penutup, penulis menawarkan beberapa langkah yang dapat dipetik untuk mengejar ketertinggalan kita dalam bidang pendidikan.


Wajah Pendidikan di Indonesia
Keadaan pendidikan saat ini masih jauh dari ideal. Walaupun sudah terdapat kemajuan dibandingkan dengan masa lalu, kemajuan ini masih belum mencapai tingkatan yang memuaskan. Hal ini nyata saat membandingkan kemampuan matematis dan membaca dengan negara lain, bahkan yang dulunya sama-sama dijajah. Seperti apa dan pada tingkatan apa saja pendidikan Indonesia masih memerlukan perbaikan?
Pendidikan menengah di Indonesia yang masih relatif tertinggal sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya, dalam tes-tes PISA (Programme for International Student Assessment), Indonesia seringkali menempati posisi dekat terbawah di antara negara-negara yang diuji. Pada tes PISA tahun 2018, Indonesia berada pada urutan ke-71 dari 77 negara yang diuji.[i] Adapun yang diuji dalam tes PISA adalah kemampuan matematika, sains, dan membaca―hal-hal yang sangat krusial bagi kemajuan sebuah negara. Kemampuan atau skills seperti ini memiliki korelasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian di Stanford menunjukkan bahwa hal yang penting bukan sekadar berapa banyak orang bersekolah namun sesungguhnya seberapa kuat cognitive skills dari populasi.[ii] Tampak bahwa pendidikan dasar dan menengah di Indonesia masih berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
Pendidikan tinggi (universitas) di Indonesia juga masih dalam keadaan tidak kalah memprihatinkan. Hal ini tampak dari peringkat universitas terbaik di Indonesia yang tidak masuk 250 universitas terbaik di dunia. Dalam pemeringkatan 1200 lebih universitas terbaik dunia versi QS World University Rankings tahun 2022,[iii] hanya 12 universitas di Indonesia masuk di dalamnya. Bahkan dari Top 1000 dalam lembaga pemeringkat yang sama, Indonesia hanya menyumbang tujuh universitas yang masuk di dalamnya. Pemeringkat universitas lain yang sering dipakai, yaitu Times Higher Education,[iv] bahkan memperlihatkan realitas yang lebih kelam. Dari 1000 universitas teratas, hanya terdapat satu universitas di Indonesia yang masuk di dalamnya, dan hanya tiga universitas di Indonesia berada dalam peringkat 1200 universitas teratas dunia.
Kenyataan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Indonesia memperlihatkan wajah pendidikan Indonesia yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.

Sejarah, Kebijakan, dan Integritas Politik
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi ketertinggalan ini. Beberapa diantaranya adalah sejarah masa kolonial, kebijakan yang kurang efisien, dan korupsi.
Setelah Cultuurstelsel, mulai terjadi perubahan dalam kebijakan yang membuka akses pendidikan bagi penduduk yang dijajah. Secara moral hal ini seolah merupakan usaha balas budi dari Belanda terhadap rakyat yang telah mengalami banyak penderitaan namun membawa kemakmuran besar serta membawa masa keemasan dalam sejarah Belanda. Namun, sebenarnya tujuan utama Belanda bukanlah kemakmuran bagi Hindia-Belanda melainkan mempertahankan kekuasaan Belanda sendiri dan memperoleh keuntungan lebih besar.
Pada masa itu, beberapa gerakan pendidikan yang cenderung anti-kolonial sedang bangkit. Hal ini mengkhawatirkan Belanda, sehingga pendidikan “versi Belanda” di sekolah-sekolah Belanda yang mencetak lulusan pro-Belanda menjadi semakin penting. Selain itu, Belanda tidak begitu berminat mendidik mayoritas rakyat. Berbeda dari usaha yang dilakukan Inggris atau Amerika Serikat di beberapa negara jajahan mereka. Jumlah sekolah yang didirikan Belanda sangat minim dan kebanyakan hanya tersedia bagi bangsawan. Kebijakan politis ini untuk memudahkan kontrol, karena Belanda mampu menentukan anak bangsawan mana saja yang bisa mendapat akses pada sekolah-sekolah ini.
Pada masa itu, Belanda juga sedang memerlukan tenaga kerja murah yang lebih terdidik. Mendatangkan tenaga kerja melek-huruf dan berpendidikan dari Belanda cenderung mahal. Dengan membuat sekolah kejuruan atau sejenisnya, diharapkan orang-orang lokal dapat dibekali untuk menjalankan pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi pendidikan yang tinggi sehingga dapat dibayar dengan jauh lebih murah. Jarang sekali lulusan-lulusan ini akhirnya mendirikan perusahaan-perusahaan milik sendiri. Mayoritas lulusannya bekerja pada perusahaan asing.[v] Didorong juga oleh para pemilik modal dan perusahaan asing di Indonesia yang menginginkan suplai tenaga murah, kebijakan pemerintah kolonial  menekankan pencetakan tenaga kerja dan bukan pendidikan liberal atau inovatif, apalagi pendidikan terbuka seperti di Eropa,  Dilihat dari latarnya, sistem ini awalnya tidak dimaksudkan untuk mendidik bangsa yang merdeka, sehingga hal ini menimbulkan banyak tantangan yang masih perlu diatasi.
Bila melihat konstitusi, terdapat arah untuk meningkatkan pendidikan yang terlihat pada salah satu amanat negara, yaitu “mencerdaskan bangsa”. Namun, amanat tersebut sepertinya tidak dituangkan secara konkret dalam kebijakan. Misalnya, saat ini hanya 20% pendapatan negara dipakai dalam bidang pendidikan. Angka ini masih jauh dari cukup karena 20% ini harus dipakai untuk seluruh pendidikan dari SD, SMP, SMK, SMA, hingga universitas dan belum lagi riset. Padahal, Pendapatan Domestik Bruto Indonesia tidak begitu besar.
Bahkan 20% dari APBN, yaitu sekitar 550 triliun rupiah[vi] masih lebih kecil dari endowment tahunan Harvard University senilai 53,2 miliar dolar[vii] pada tahun 2021 (lebih dari 600 triliun rupiah). Dana sebesar ini hanya berasal dari sumbangan alumni saja, belum termasuk uang sekolah dan sebagainya. Artinya, satu Harvard University sudah memiliki dana total yang lebih besar dibandingkan anggaran tahunan untuk pendidikan di seluruh Indonesia, yang bunganya dapat dipakai untuk riset maupun berbagai keperluan lain.
Lebih jauh lagi, kebijakan dan bahkan kurikulum juga kurang stabil dalam skala nasional. Ketika pemerintahan berganti, yang biasanya juga mengganti menteri pendidikan, kebijakan atau arah pendidikan seringkali ikut berganti. Bahkan, terkadang kurikulum juga diganti. Hal ini menciptakan ketidakefektifan proses belajar-mengajar karena guru dan siswa harus terus beradaptasi dan mempelajari ulang sistem yang baru. Kurikulum dan arah pendidikan seharusnya didasarkan pada riset yang kuat dan ilmiah sehingga ketika pemerintahan berganti tidak perlu ikut berganti juga.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah untuk pendidikan, banyak kepala daerah terjerat korupsi dalam bidang pendidikan. Padahal, pendidikan juga merupakan salah satu hal yang paling gencar dikampanyekan saat pilkada. Tujuan otonomi daerah dalam hal pendidikan, yakni memberikan ruang dan fleksibilitas agar daerah dapat menyesuaikan pendidikan dengan keadaan masing-masing, namun malah berakibat pada ketimpangan pendidikan. Sebenarnya, ada baiknya jika dalam beberapa hal pendidikan dapat kembali ke pemerintah pusat, namun harus ada political will dari pemerintah pusat untuk memeratakan pendidikan.
Namun demikian, masalah terbesar tetaplah korupsi. Sudah dananya kecil, masih dikorupsi pula. Itulah keadaan politik pendidikan di Indonesia. Korupsi terjadi dalam hampir setiap tingkatan. Korupsi dapat terjadi karena birokrasi yang rumit dan perlunya semacam “penyetoran”. Hal ini terjadi karena sistem dan kebijakan pemerintah yang ada. Misalnya, gubernur menunjuk tim yang melakukan akreditasi sekolah.[viii] Karena itu, gubernur dapat menyalahgunakan wewenang atas sekolah termasuk meminta setoran maupun meminta dukungan dalam pilkada. Pejabat juga memiliki hak mengganti kepala sekolah sehingga kepala sekolah “takut” melawan pejabat. Hal ini perlu diubah. Jabatan seperti ini seharusnya berdasar pada kompetensi dan bukan koneksi dengan pejabat. Selain itu, harus ada hukuman yang lebih keras bagi koruptor agar menjadi peringatan bagi pejabat lain.
Salah satu sarana korupsi lainnya adalah perizinan universitas maupun sekolah.[ix] Birokrasi yang panjang membuat proses ini sangat memakan waktu dan akhirnya banyak hal-hal yang tidak semestinya dilakukan demi mempercepat prosesnya. Tampak bahwa banyak masalah korupsi sebenarnya disebabkan sistem yang lemah dan birokrasi yang tidak efektif. Perlu dilakukan simplifikasi birokrasi dan peningkatan transparansi sistem dan institusi pendidikan.
Namun, tentunya proses ini akan panjang. Dalam banyak hal, Indonesia bisa belajar dari negara Asia lainnya, yang bahkan kemerdekaannya lebih muda dari Indonesia.

Belajar dari Singapura, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat
Beberapa negara Asia mengalami pelejitan kemajuan pendidikan walaupun tertinggal ratusan tahun dari universitas-universitas di Barat. Universitas unggulan yang dimiliki Singapura dan Tiongkok, misalnya, sudah mengungguli hampir semua universitas di Amerika Serikat dan Inggris (walaupun universitas-universitas terbaik di Inggris dan Amerika Serikat hingga sekarang masih lebih baik dari universitas-universitas terbaik Singapura dan Tiongkok, seperti tampak dari indikator pemeringkatan baik QS World University Rankings, Times Higher Education Rankings, atau US News Rankings).[x]
Di negara seperti Tiongkok dan Singapura, terdapat peran dan niatan pemerintah yang sangat besar untuk membangun universitas berkelas dunia dan perlahan universitas di kedua negara ini mulai mengalahkan banyak universitas terkenal di Barat. Misalnya, dalam QS World University Rankings 2022[xi] (dan beberapa tahun sebelumnya) National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) di Singapura sudah mengungguli Yale University dan University of Pennsylvania (UPenn) di Amerika Serikat atau University of Edinburgh di Inggris, sementara Tsinghua University dan Peking University di Beijing sudah mengungguli Princeton University, Cornell University, maupun Johns Hopkins University di Amerika Serikat. Sebagai catatan, QS World University Rankings adalah pemeringkat universitas yang paling banyak dilihat di seluruh dunia. Pencapaian ini tentu bukan datang tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dukungan dana, sumber daya, dan tenaga pengajar maupun peneliti profesional yang sungguh-sungguh.
Singapura adalah negara kecil namun universitas-universitasnya berkualitas internasional. Jepang pada zaman Meiji dan Tiongkok pada zaman Deng Xiaoping awalnya menutup diri namun telah mengejar ketertinggalan secara cepat. Amerika Serikat sendiri memiliki pendidikan yang cukup dominan dan secara umum dianggap nomor satu khususnya untuk pendidikan tinggi di dunia saat ini. Bagaimana mereka menyelenggarakan pendidikan?
Pertama-tama, terdapat paradigma bahwa bakat adalah aset yang besar. Negara maju di seluruh dunia berupaya “merebut” bakat dari luar negeri mereka dan menjaga agar bakat dalam negeri tidak berpindah kewarganegaraan. Fenomena ini begitu penting hingga disebut The Global War for Talent. Mereka juga memiliki kemampuan menyaring bakat yang ada dan mengembangkannya. Hal ini menjadi tantangan saat negara berpopulasi kecil seperti Singapura (perlu menarik bakat dari luar negeri) atau justru berpopulasi sangat besar (seperti Indonesia, India, Tiongkok, dan sebagainya).
Penyaringan bakat yang berskala besar dan efisien dilakukan misalnya di Tiongkok. Menghadapi banyaknya murid yang perlu bersekolah dan disaring, pemerintah Tiongkok membuat sistem tes masuk universitas yang disebut Gaokao.[xii] Tes ini memang sangat berat, tetapi bagaimana pun tes ini adalah cara paling realistis ketika puluhan juta orang yang mau memasuki universitas, sementara tempat yang tersedia hanya puluhan ribu. Tidak realistis menyaring dengan cara memakan waktu seperti pengerjaan esai dan sejenisnya. Selain itu, sistem tes ini lebih tidak bias untuk menguntungkan orang kaya (walaupun tetap saja bisa ada bias) dibandingkan sistem yang memerlukan konsultan-konsultan (misalnya konsultan untuk menulis esai aplikasi universitas dan sebagainya). Indonesia juga perlu mencari metode yang realistis dan sesuai dengan jumlah pelajar Indonesia yang banyak. Dengan memakai sistem yang paling cocok, bakat dapat disaring dengan lebih baik.
Walaupun sering “dianggap enteng” dan dipercaya tidak akan inovatif karena pendidikan yang kaku dan berbasis tes, pada kenyataannya universitas-universitas di Tiongkok telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir, di luar ekspektasi sebagian orang. Dana penelitian yang dialokasikan memang masih belum sebesar dana yang tersedia di Amerika Serikat, namun sudah ada usaha pemerintah dan usaha mengaitkan industri dengan universitas. Sebagai hasilnya, perguruan tinggi seperti Tsinghua University sudah mengalahkan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam bidang seperti computer science menurut US News Rankings. Mereka juga mulai banyak berkontribusi dalam proyek sains maupun penanganan masalah ekosistem yang ada. Padahal kita mengetahui kondisi politik yang cenderung tertutup di Tiongkok. Indonesia dapat belajar bahwa walaupun Indonesia saat ini masih sangat tertinggal, seperti Tiongkok pada tahun 1970 awal, dengan usaha dan dukungan yang tepat maka universitas-universitas Indonesia juga dapat mengalami kemajuan signifikan.
Selain pengelolaan bakat, salah satu hal yang juga sangat penting adalah untuk tidak menyalin sistem pendidikan Barat. Ini adalah sebuah kesalahan fatal. Pertama, tidak ada sistem yang sempurna dan sistem Barat memiliki kelemahannya yang justru tidak dimiliki sistem di Asia. Karena itu, sistem Barat perlu disaring agar hal yang buruk tidak terbawa masuk. Selain itu, hal yang baik dan cocok di Barat belum tentu baik di Asia, sehingga sekali lagi perlu dilihat konteksnya.
Contoh nyata dapat dilihat dalam kasus Singapura dibandingkan Sri Lanka. Keduanya bekas jajahan Inggris dan mewarisi sistem pendidikan akuntansi yang mirip dari masa kolonial. Namun, Singapura mulai mengubah sistem pendidikan akuntansinya menjadi lebih sesuai perkembangan zaman dan konteks negaranya segera setelah merdeka. Sementara, Sri Lanka terus berpegang teguh pada warisan Inggris. Hasilnya adalah perbedaan besar pada jumlah akuntan profesional yang dihasilkan. Sri Lanka dengan 17.9 juta penduduk hanya memiliki sekitar 2000 akuntan pada tahun 1995. Singapura pada masa yang sama, dengan hanya 2.9 juta penduduk, memiliki lebih dari 8000 akuntan profesional. Sebagai akibatnya, ekonomi Sri Lanka juga menderita.[xiii] Tampak bahwa negara yang move on dari peninggalan (legacy) penjajahan dapat mencapai kemajuan ekonomi lebih besar.
Pada masa awal reformasi Meiji, Jepang menyadari seberapa tertinggal mereka dan perlunya mengadopsi sistem sains dari Barat. Namun, mereka kemudian membuat sebuah kurikulum nasional yang seragam, dengan bersandar pada model Barat. Hal ini diterapkan tanpa kompromi di seluruh Jepang. Kebijakan politik ini, yang disebut Gakusei,[xiv] melahirkan pertentangan dari banyak orang Jepang yang menganggapnya sangat tidak relevan. Pemerintah Jepang akhirnya menyadari kesalahannya dalam pemaksaan dan penjiplakan model asing seperti ini. Mereka mengubah kebijakan mereka menjadi Kyoikurei, sebuah model yang lebih fleksibel dan longgar. Sekali lagi, hal ini menunjukkan pentingnya untuk menghindari penjiplakan model pendidikan dari negara tertentu.
Hal lain yang dapat dipelajari adalah hubungan antara institusi pendidikan dengan industri. Faktor yang penting dalam mendapatkan dana riset dan mengembangkan pendidikan adalah menjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara industri dan institusi pendidikan. Salah satu keunggulan sistem universitas di Amerika Serikat adalah kuatnya kaitan dengan industri. Sebuah penelitian mencoba mengukur pengaruh riset dan industri, khususnya di Amerika Serikat dan Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa riset di universitas memang berkontribusi pada perusahaan-perusahaan lokal, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada ekonomi nasional.
Riset[xv] menunjukkan bahwa negara dengan sektor kimia, farmasi, dan elektronika yang kuat biasanya memiliki universitas dalam negeri yang berkualitas tinggi. Riset lainnya menunjukkan bahwa universitas sangat menguntungkan negara secara ekonomi dan meningkatkan taraf hidup. Seperti ditunjukkan penelitian terhadap Jepang dan Amerika Serikat, riset korporat juga berperan besar. Karena itu, adalah hal yang sangat pantas untuk menjadikan investasi dalam bidang pendidikan secara serius di dalam kebijakan politik negara. Dalam hal ini, Indonesia perlu belajar meningkatkan kualitas institusi dan sistem pendidikan dan membangun kepercayaan antara industri dan universitas sehingga keduanya saling melengkapi dan memajukan, seperti terjadi di Amerika Serikat.
Alokasi dana yang serius dan bertujuan jelas, ketika dijalankan dengan efisien, bisa menghasilkan efek dalam jangka waktu beberapa puluh tahun saja. Hal ini dicontohkan oleh Singapura yang dari sejak berdirinya telah mengalokasikan dana secara serius pada bidang pendidikan, sebab mereka menyadari pentingnya sumber daya manusia untuk kelangsungan negaranya. Singapura secara aktif mengemas universitas mereka menjadi menarik secara regional dan bahkan global. Universitas paling terkenal di Singapura, NUS dan NTU, didukung oleh pemerintah dengan banyak fasilitas. Selain itu, mereka fleksibel mengikuti perkembangan zaman dan rela menggelontorkan dana untuk riset dan menggaji akademisi berkualitas secara pantas. Dalam hal ini, tampak bagaimana Singapura menjadi tempat yang menarik bagi banyak pelajar berkualitas termasuk dari Tiongkok dan Indonesia.
Awalnya, pemerintah Singapura harus menyubsidi universitas-universitas ini, seperti memberikan beasiswa melalui kementerian pendidikan demi menarik orang yang berbakat dari luar negeri agar mau berkuliah di Singapura. Alasannya, reputasi tinggi sebuah universitas perlu alumni yang berhasil dan alumni seperti ini didapat ketika orang berbakat tertarik masuk ke dalam sebuah universitas tersebut. Awalnya perlu dana besar mendukung pendidikan. Namun, belakangan justru industri pendidikan Singapura menjadi salah satu sumber devisa negara yang signifikan.[xvi] Indonesia perlu berani melakukan investasi dan subsidi di awal. Barulah ketika universitas di Indonesia sudah bereputasi tinggi maka akan banyak murid internasional datang dan membawa devisa tinggi bagi negara dan keuntungan ekonomi yang meningkatkan taraf hidup guru maupun elemen masyarakat lain.

Langkah ke Depan
Indonesia masih memiliki potensi yang sangat tinggi untuk memajukan pendidikan dalam negeri. Apalagi, dalam beberapa tahun akan ada surplus demografi anak muda. Pendidikan menjadi sangat penting demi menghindari banyaknya pengangguran. Beberapa langkah dapat diambil mulai dari sekarang.
Indonesia perlu menyadari seberapa berharga bakat yang dimiliki sebagai negara dengan penduduk yang besar, dan mengambil langkah praktis agar bakat-bakat tersebut dapat berkembang. Salah satunya adalah menyediakan institusi pendidikan yang lebih layak dan berkualitas tinggi. Misalnya, dengan memakai dana secara lebih efisien, beberapa universitas di Indonesia bisa ditargetkan untuk mendapatkan dana yang besar untuk riset, hingga perlahan reputasi universitas-universitas tersebut akan naik, dan mampu menarik pelajar berkualitas dari mancanegara. Dana tersebut dapat difokuskan untuk meningkatkan fasilitas laboratorium maupun kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik di beberapa PTN unggulan. Jika berhasil, model ini kemudian diterapkan pada lebih banyak PTN lagi.
Di samping itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas tenaga pengajar dan tenaga riset di universitas dalam negeri dengan memberikan gaji dan insentif lainnya seperti fasilitas yang lebih tinggi agar orang Indonesia yang bekerja di luar negeri rela kembali ke Indonesia. Lebih jauh, Indonesia dapat memberikan insentif agar pengajar yang berkualitas dari negara lain dapat mengajar juga di Indonesia dan dengan demikian menjadikan tenaga pengajar lebih beragam.
Indonesia juga perlu memiliki sarana penyaringan bakat yang efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat tes masuk perguruan tinggi (seperti yang sudah ada sekarang) namun dengan catatan perlunya tes yang berkualitas dan menghindari tipe soal berbasis terlalu hafalan atau teknis. Indonesia juga perlu mengembangkan sektor pendidikan SMP dan SMA untuk mempersiapkan murid secara maksimal untuk studi intensif sebelum masuk perguruan tinggi maupun tes penyaringan untuk masuk PTN.
Indonesia dapat belajar mengaitkan sektor pendidikan dengan sektor industri secara lebih maksimal agar tidak semua dana harus datang dari pemerintah, karena dana pemerintah bisa dipakai misalnya untuk infrastruktur atau hal lainnya. Pemerintah dapat membuat aturan yang memberikan insentif pada industri agar mau berkolaborasi dengan universitas dalam negeri. Misalnya, dengan memberikan keringanan dalam hal pajak jika sebuah perusahaan dapat bersumbangsih pada riset dalam negeri. Selain itu, mungkin universitas dapat dilibatkan dalam transfer teknologi dengan perusahaan asing.
Perlu diperhatikan bahwa kita tidak dapat mengadopsi mentah-mentah cara pendidikan di negara manapun, namun harus menyesuaikannya dengan konteks Indonesia. Misalnya, silabus yang digunakan sebaiknya dikembangkan oleh Indonesia sendiri (seperti yang sudah dilakukan) namun harus dengan memastikan bahwa silabus ini benar-benar diajarkan di sekolah-sekolah dan mampu menghasilkan siswa yang secara akademik mampu bersaing dalam dunia internasional.
Korupsi dapat dikurangi dalam hal pendidikan misalnya dengan membuat aturan yang lebih jelas dari pusat sehingga pemerintah daerah lebih sulit meminta kompensasi dari badan pendidikan misalnya untuk mendapatkan izin membangun gedung sekolah/universitas atau sejenisnya.
Jika Indonesia dapat dengan serius mengembangkan pendidikan, hasilnya tidak langsung bisa dirasakan, namun akan sangat bermanfaat di masa depan.


Referensi:
[i] “PISA 2018 Worldwide Ranking − Average Score Of Mathematics, Science and Reading – Factsmaps,” Factsmaps, diakses pada 31 Januari 2022, https://factsmaps.com/pisa-2018-worldwide-ranking-average-score-of-mathe.

[ii] Eric Hanushek, “For Long-Term Economic Development, Only Skills Matter”, IZA World of Labor, 2017, https://doi.org/10.15185/izawol.343.

[iii] “QS World University Rankings: Top Global Universities,” QS Top Universities, diakses pada 31 Januari 2022, https://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-rankings/.

[iv] “World University Rangkings 2022,” Times Higher Education (THE), diakses pada 31 Januari 2022, https://www.timeshighereducation.com/.

[v] M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200 (London: Palgrave Macmillan, 2008), 331−332.

[vi] “Tulisan”, Kemdikbud.Go.Id, Last modified 2022, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/01/pagu-anggaran-kemendikbud.

[vii] Virginia L. Ma dan Kevin A. Simauchi, “Harvard’s Endowment Soars to $53.2 Billion, Reports 33.6%,” The Harvard Crimson, diakses pada 31 Januari 2022, https://www.thecrimson.com/article/2021/10/15/endowment-returns-soar-2021/.

[viii] Fatkhuri, “Desentralisasi Pendidikan di Indonesia: Korupsi dan Problem Politik Kekuasaan,” Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, no. 2 (2019): 278−297, https://doi.org/10.31629/kemudi.v3i2.874.

[ix] Ibid.

[x]  “The Best Universities in the World,” US News, diakses pada 31 Januari 2022, https://www.usnews.com/education/best-global-universities/rankings.

[xi] “QS World University Rankings: Top Global Universities,” QS Top Universities, diakses pada 31 Januari 2022, https://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-rankings/.

[xii] Gareth Davey, Chuan De Lian, dan Louise Higgins, “The University Entrance Examination System in China”, Journal of Further and Higher Education 31, no. 4 (2007): 385−396, https://doi.org/10.1080/03098770701625761.

[xiii] Hema Wijewardena dan Senarath Yapa, “Colonialism and Accounting Education in Developing Countries: The Experiences of Singapore and Sri Lanka,” The International Journal of Accounting 33, no. 2 (1998): 269−281, https://doi.org/10.1016/s0020-7063(98)90030-9.

[xiv] Ferry Rustam, “Reformasi Pendidikan pada Masa Jepang Meiji: Studi tentang Peran Politik Kekuasaan dalam Penerapan Pendidikan,” Makara Human Behavior Studies in Asia 7, no. 2 (2003): 45, https://doi.org/10.7454/mssh.v7i2.50.

[xv] Jennifer W. Spencer, “How Relevant Is University-Based Scientific Research to Private High-Technology Firms? A United States–Japan Comparison,” Academy of Management Journal 44, no. 2 (2001): 432−440, https://doi.org/10.5465/3069465.

[xvi] Poh-Kam Wong, Yuen-Ping Ho, dan Annette Singh, “Towards an ‘Entrepreneurial University’ Model to Support Knowledge-Based Economic Development: The Case of The National University of Singapore,” World Development 35, no. 6 (2007): 941−958, https://doi.org.10.1016/j.worlddev.2006.05.007.  

Penyunting:
Semy Arayunedya
Calvin Nathan Wijaya

Korespondensi: tjandranathan@gmail.com