Pendidikan dan Kompetensi Nasional

Investor Daily, 21 September 2007
Binsar A. Hutabarat

Pendidikan merupakan faktor penting yang mampu mendongkrak kompetensi nasional (national competence) suatu bangsa. Indonesia yang kaya sumber alamnya takkan bisa berbuat banyak bila sebagian besar rakyatnya berpendidikan rendah.

Harapan agar mutu pendidikan secepatnya diperbaiki guna meningkatkan kompetensi nasional rupanya masih harus menunggu waktu lama lagi. Target anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 sebesar Rp. 700 triliun sebagaimana diamanatkan UUD 1945 sudah dipastikan tak bisa terpenuhi.

Tahun depan pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp. 48,72 triliun, yang berarti jauh dari target yang diamanatkan konstitusi. Dengan total APBN untuk tahun depan Rp. 700 triliun, alokasi anggaran pendidikan mestinya mencapai Rp. 140 triliun.

Sudah bisa dibayangkan bahwa dengan tersedianya anggaran yang terbatas, dunia pendidikan masih akan menghadapi persoalan yang sama yakni kesulitan mendongkrak mutu lulusannya. Pendidikan bukannya makin maju, malah mengalami kemunduran.

Memang ada usaha untuk membuka pintu investasi asing dalam bidang pendidikan, namun hal itu tidak mudah, berbagai kontroversi menyangkut masuknya modal asing dalam dunia pendidikan menunjukan hal itu. Tambahan pula, industrialisasi pendidikan yang makin transparan akhir-akhir ini dikhawatirkan akan lebih mempersempit ruang orang miskin untuk menikmati pendididikan yang layak.

Melihat realitas tersebut di atas, Indonesia barangkali perlu belajar dari Korea selatan. Negeri Ginseng yang merdeka belakangan dari Indonesia ini justru mencatat kemajuan ekonomi yang luar biasa. Korea selatan kini sudah masuk dalam jajaran negara maju, sedangkan Indonesia masih tetap terseok-seok.

Belajar dar Korea Selatan
Syngman Rhee, Presiden pertama Korea tidak membawa kemajuan berarti dalam perekonomian Korea karena banyaknya korupsi dari rezim lama. Dan oleh Suatu Coup yang dilakukan Mayor Jendral Park Chung hee, ia turun tahta dan melarikan diri ke Hawai. Income per capita Korea pada saat pemerintahan baru itu adalah US$ 72.-, Korea pada waktu itu tergolong negara miskin.

Park memiliki peran yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, dengan melakukan perombakan besar-besaran dalam kabinet dan ekonomi yang dikenal dengan First Five Years Economic Development Plan, yaitu mengembangkan Korea menjadi negara Industri, dengan didahului peningkatan pendidikan yang luar biasa.

Pada periode 5 tahun pertama pemerintahannya (1962- 1967), Park memfokuskan pada pembangunan pendidikan, Kesehatan dan infrastruktur. Park Chung Hee, melakukan pembangunan gedung-gedung sekolah serta pengadaan tenaga-tenaga guru yang handal. Pada masa kepemimpinananya, tak ada satu anak pun yang boleh tinggal dirumah. Pendidikan di Korea meningkat secara luar biasa baik dari segi jumlah maupun kualitas. Jika pada tahun 1962 Perbandingan ratio jumlah guru terhadap murid untuk primary school 1 : 54 ; tahun 1980 1 : 30, dan untuk secondary school tahun 1962, 1 : 34, tahun 1980 perbandingan yang ada menjadi 1:18. total biaya pendidikan sebesar 37% disubsidi oleh pemerintah.

Hal lain yang menarik adalah, perusahaan di Korea memberlakukan pembayaran gaji yang berbeda, bergantung pada pendidikan yang disandang, dan kenaikan gaji sangat tergantung pada produktivitas, senioritas dan profesionalisme pegawai, bukan “per kongkoan”. Itulah yang menyebabkan rakyat Korea mesti menerima pendidikan yang memadai sesuai dengan permintaan Industri yang ada.

Perusahaan Korea, Hyundai, Faywoo, Samsung, mengirim ribuan pekerjanya untuk mendapatkan pendidikan S2, S3 di Amerika dan Eropa. Bagi mereka, Investasi dalam bidang pendidikan adalah identik dengan meningkatkan kemampuan pekerja untuk dapat berinteraksi dengan cepat dan menyesuaikan dengan perubahan pekerjaan dan tekhnologi yang ada, itu sebabnya “national competence” Korea melejit jauh melampaui Indonesia.

Di Korea ada 26 public vocational training institutes, dan setiap tahun pekerja yang ditraining disana minimum mencapai 350,000 pekerja, kurang lebih 3% dari Labour force diseluruh Korea. Jadi pendidikan yang mempengaruhi Human Capital sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi, kultur dan masa depan negara. Korea mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perkembangan manusia dalam pendidikan mempunyai relasi yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika 26 October 1979, Park mati tertembak oleh Direktur KCIA Kim Jae-kyu, income percapita Korea telah meningkat secara luar biasa, sebesar US$. 2420 dari US$ 72.- pada tahun 1962.

Bagaimana dengan Indonesia
Menurut data UNDP hampir 55% dari laki-laki berumur 12 – 17 tahun di Indonesia hanya mengecap pendidikan sampai SMP, dan 30% hanya menikmati sampai dengan SD, itupun pada sekolah dengan mutu rendah. Jumlah guru dengan standar mutu competence, untuk Indonesia kira-kira tidak lebih dari 20%, selebihnya adalah tidak memadai untuk era globalisasi pada saat ini. Sertifikasi guru untuk mendongkrak kualitas guru itu tentunya akan terhambat dengan anggaran pendidikan yang makin kecil.

Tidak mengherankan, Korea yang minim natural resources dibanding Indonesia kini tergolong negara maju, karena pemerintah, swasta dan rakyat berjuang untuk menjadi negara industri dengan target eksport keseluruh dunia, kristalisasi merk electronik dan mobil, sehingga terjadi chaebol business yang benar-benar fokus kepada industri dengan competitiveness human development, sehingga Korea pada hari ini menjadi salah satu negara yang mempunyai stock human resources yang competitive secara mendunia. Tindakan luar biasa Korea Selatan untuk menjadi negara maju dengan mengadakan peningkatan luar biasa dalam bidang pendidikan mestinya patut dicontoh oleh Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya yang berada dalam kondisi miskin, apalagi tingkat kemiskinan di Indonesia itu sejajar dengan tingkat pengangguran.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.