- Sinar Harapan, 22 Juni 2012
- Binsar A Hutabarat
- Waktu Baca: 5 menit
“Keadilan adalah berpihak pada mereka yang miskin.“ (Samuel Butler)
Sekitar 85 persen pengelolaan lapangan migas di Indonesia saat ini dikuasai asing dan memperkaya asing. Misalnya, PT. Freeport Indonesia yang telah puluhan tahun menambang emas dan tembaga di Mimika Papua, merupakan salah satu penghasil emas terbesar di dunia dengan kontribusi laba terhadap perusahaan induknya, Freeport McMorran yang tercatat di New York Stock Exchange, mencapai 70 persen lebih. Perusahaan asing itu bukti bahwa manfaat terbesar perusahaan-perusahaan tambang Indonesia dinikmati kepentingan asing, kekayaan alam Indonesia terus-menerus dikeruk oleh asing.
Dominasi asing juga merambah di bisnis telekomunikasi, juga berbagai bank swasta nasional hampir 50 sahamnya dikuasai berbagai bank asing. Perkembangan tersebut semakin meneguhkan Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kedaulatan ekonomi.
Intervensi asing yang dimungkinkan dengan penguasaan bidang-bidang strategis itu akan membuat pembangunan Indonesia tidak “melulu” untuk rakyat Indonesia, tetapi juga untuk kepentingan asing. Bila pemerintah tidak bertindak menyudahi dominasi asing ini yang paling menderita adalah rakyat miskin.
Selain itu, rakyat harus bersama-sama menggelorakan kembali semangat gotong royong untuk mendesak pemerintah melaksanakan pembangunan berkeadilan, yaitu pembangunan yang berpihak pada si miskin, yang memang jumlah terbanyak penduduk Indonesia.
Mandat Konstitusi
Pembangunan berkeadilan adalah mandat konstitusi. Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Lebih lanjut Pasal 33 UUD 45 menetapkan, rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam Indonesia yang dikuasai negara. Asing tak boleh menguasai kekayaan alam Indonesia; dan rakyat Indonesia harus mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari pengelolaan alam tersebut.
Bila pemerintah punya komitmen kuat melaksanakan pembangunan berkeadilan di negeri ini, jurang antara si kaya dan si miskin pasti kian menyempit. Makin lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin di negeri ini mesti menjadi alarm bagi pemerintah bahwa ada yang salah dalam pembangunan Indonesia.
Sebagai bangsa yang terkenal dengan semangat gotong royongnya kita tentu tak boleh membiarkan kondisi ini berlanjut. Ketidakadilan pembangunan mestinya juga menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa.
Gotong Royong Kian Tipis
Soekarno mengakui, sila-sila dari Pancasila bukan temuannya, tapi nilai-nilai yang diam dalam sanubarinya masyarakat Indonesia. Pancasila cerminan kehidupan rakyat Indonesia. Tentu saja ada alasan mendasar jika Soekarno lalu memeras kelima sila dari Pancasila itu menjadi satu sila, yakni “gotong royong”. Ini karena gotong royong merupakan karakter utama bangsa Indonesia. Semangat gotong royong mencerminkan kuatnya solidaritas nasional Indonesia. Solidaritas diartikan sebagai semangat kepedulian seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah yang menumbuhkan sikap-sikap kepahlawanan, kerelaan berkorban dan kesediaan untuk ikut merasakan dan membantu orang lain.
Bila semangat gotong royong ini diarahkan kepada pencapaian tujuan bersama – pemenuhan kepentingan-kepentingan yang mengarah kepada kesejahteraan sesungguhnya dari komunitas yang lebih besar, maka itu akan memampukan mereka yang miskin berpartisipasi menciptakan kesejahteraan mereka.
Pembangunan berkeadilan tidak akan meninggalkan orang-orang miskin begitu saja, tetapi menopang si miskin untuk menciptakan kondisi-kondisi politik, ekonomi dan sosial untuk berpartisipasi dalam mengejar kebaikan bersama.
Pembangunan berkeadilan mengutamakan manfaat bagi semua. Tepatlah apa yang dikatakan John Rawls, “Ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sehingga ketidaksamaan-ketidaksamaan itu: (a) untuk kebaikan terbesar bagi yang paling kurang beruntung (miskin), (b) diletakkan pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dengan syarat-syarat kesempatan yang sama dan adil.”
Kebijakan Afirmasi
Memperlakukan si miskin sama dengan si kaya jelas tidak adil. Si miskin mesti diperlakukan berbeda dengan si kaya, tentunya tanpa menegasikan prinsip kesamaan. Ketidaksamaan dalam distribusinya dibenarkan, asalkan bisa memperbaiki posisi si miskin. Ketidaksamaan dalam distribusinya bertujuan agar orang-orang dengan keberuntungan yang tidak sama benar-benar menikmati kesamaan (equal liberty).
Prinsip “kesamaan” tidak sama bobotnya dengan “prinsip perbedaan”. John Rawls berpendapat dalam “tatanan leksikal”, prinsip “kesamaan” lebih dulu daripada prinsip yang mengatur ketidaksamaan-ketidaksamaan ekonomi dan sosial.
Kebebasan bisa dibatasi hanya demi kebebasan, bukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi. Ketidaksamaan-ketidaksamaan di dalam distribusinya harus dilaksanakan dalam arti positif, yaitu menopang si lemah, bukan dalam arti negatif yaitu melemahkan yang kuat.
Mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi di negeri ini, demikian juga si kaya mesti merenungkan apa yang pernah dikatakan Sanjit Bunker Roy, pendiri Barefoot College, simbol masyarakat miskin India, dan memiliki cabang di sejumlah negara di dunia, dan telah membantu ribuan kaum marginal untuk menggapai hidup yang lebih baik,
“Bagaimana mungkin seorang yang berpendidikan tinggi bisa menjadi orang yang congkak? Orang yang berpendidikan tinggi yang mampu meraih suatu pendidikan yang baik sering kali tak mau berbagi dengan orang orang di sekitar mereka.”
Binsar A Hutabarat, Peneliti Reformed Center for Religion and Society