Suara Pembaruan, 24 Desember 2009
Binsar A. Hutabarat
Gereja Katolik St Albertus di Perumahan Harapan Indah, Bekasi, pada 18 Desember 2009, diserbu ratusan orang berjubah putih. Massa yang kesulitan membakar bangunan gereja yang belum selesai itu, kemudian melampiaskan nafsunya dengan membakar fasilitas gereja dan bedeng tempat pekerja bangunan berteduh.
Gerakan pembakaran rumah ibadah tersebut jelas-jelas dikoordinasikan. Ada king maker di balik gerakan yang melibatkan ibu dan anak-anak itu. Ada dugaan kelompok itu sudah lama beroperasi dan ada motif lain yang sesungguhnya bukan motif agama, dan simbol agama tertentu hanya siasat untuk menutuf motif tak terpuji itu. Ironisnya, pihak kepolisian tidak berani mencegahnya, dengan alasan klasik yang dikumandangkan adalah karena jumlah massa jauh lebih besar dari jumlah aparat.
Pembakaran, pengrusakan, dan penutupan rumah ibadah, baik yang sudah mengantongi izin, atau yang terbelit kesulitan pengurusan Injil di negeri ini, sesungguhnya telah mencapai titik yang memprihatinkan. Pembakaran gereja juga telah mencemarkan nama Indonesia di mata dunia. Pembiaran terhadap pembakaran rumah ibadah terjadi sejak sepuluh tahun lalu, pada awal era reformasi. Di Cipayung, pada 15 Desember 1999, Yayasan Kristen Doulos menjadi sasaran amuk massa yang terorganisasi. Pada peristiwa itu seorang meninggal dunia dan belasan lainnya luka parah terkena sabetan senjata tajam.
Pihak kepolisian mengumandangkan hal yang sama, jumlah massa tak sebanding dengan jumlah aparat, sehingga tidak mampu meredam aksi massa tersebut. Alasan ini tentu saja tak rasional. Polisi seharusnya mampu mengantisipasinya karena peristiwa itu telah direncanakan sebelumnya dan diorganisasi secara baik. Jelaslah, di sana ada king maker. Ironisnya, king maker itu dapat melenggang dengan aman, karena hingga kini tak seorang pun yang tertangkap dan dijatuhi hukuman atas peristiwa tak beradab itu.
Selama pemerintah, dalam hal ini aparat kepolisian, tidak pernah serius menuntaskan kasus pembakaran rumah ibadah, kasus yang sama akan terulang, dan ini berbahaya bagi keutuhan Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah terindikasi telah melalaikan tanggung jawabnya, yakni melindungi kebebasan warganya dalam beribadah.
Preseden Buruk
Tidak tuntasnya penyelesaian kasus pembakaran rumah ibadah merupakan preseden buruk bagi penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia. Kejadian yang menimpa STT Arastamar, sejak setahun yang lalu, merupakan bukti bahwa arogansi kekerasan yang tidak tertuntaskan itu kemudian melahirkan kekerasan baru. Hingga kini, STT tersebut belum dapat kembali ke tempat mereka, dan herannya, hal yang sama terjadi lagi, tak seorang pun provokator atau aktor di balik penyerangan STT Arastamar yang tertangkap. Padahal, tidak sedikit mahasiswa Arastamar yang terluka karena sabetan senjata tajam. Yang lebih menyedihkan adalah sebagai korban mereka bukannya mendapatkan perlindungan, sebaliknya harus mengembara, dipimpong ke sana-kemari oleh pemerintah daerah dalam usaha kembali ke kampus milik mereka.
Tuntutan penuntasan pelanggaran HAM, seperti: peristiwa Semanggi, orang hilang, dan kasus Munir, merupakan bukti bahwa tanpa adanya penuntasan pelanggaran HAM pada masa lalu, republik ini tak mungkin hidup bersama dengan baik. Kecurigaan antarumat beragama akan tumbuh dengan subur dan pada puncaknya akan melahirkan konflik.
Membiarkan individu/kelompok pelaku kekerasan bertindak semena-mena bukan hanya akan membuat supremasi hukum hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah jadi kenyataan, tapi sama saja dengan mengoyakkan tali perekat kebersamaan. Untuk menegakkan supremasi hukum pemerintah harus menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lampau, demikian juga dengan persoalan Yayasan Doulos, STT Arastamar, Ahmadiyah, dan Gereja Katolik St Albertus.
Apabila pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan terhadap warganya yang terdiskriminasikan, pemerintah yang sama juga tidak akan pernah sanggup memberikan perlindungan terhadap individu atau kelompok yang saat ini belum terdiskriminasikan, suatu saat semua warga akan menerima perlakuan yang dikriminatif dari pemerintah yang tak bertanggung jawab.
Pemerintah yang menjadi “Leviathan”, meminjam istilah Thomas Hobbes, tak pernah bisa melindungi siapa pun. Karena itu, perjuangan untuk melawan tindakan diskriminatif, arogansi individu atau kelompok harus merupakan perjuangan semua orang, bukan hanya kelompok tertentu.
Keadilan tidak pernah datang dengan sendirinya. Keadilan mesti diperjuangkan dan semua orang membutuhkan keadilan. Perjuangan untuk mendapatkan keadilan secara bersama ini akan membuat siapa pun takut untuk berbuat tidak adil. Wajah kelam penegakan HAM di Indonesia, khususnya pada kasus pembakaran rumah ibadah, hanya bisa dihilangkan dengan perjuangan bersama semua rakyat Indonesia dan pemerintah dalam hal ini menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan jaminan kebebasan beragama.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society