Suara Pembaruan, 11 September 2009
Binsar A. Hutabarat
Biaya pelantikan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 1 Oktober 2009 sedikitnya Rp 49,6 miliar. Uang itu akan dibelanjakan melantik 692 orang, terdiri dari 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD. Biaya itu akan ditanggung oleh tiga lembaga, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD. Dengan demikian, untuk pelantikan dan orientasi anggota dewan negara harus mengeluarkan Rp 71,7 juta per anggota. Ini jumlah yang teramat besar, apalagi pada saat negeri ini sedang dirundung bencana gempa.
Gempa bumi yang terjadi, baru-baru ini, hingga Minggu (6/9) menelan korban meninggal 73 orang, yang tersebar di delapan kabupaten di Jawa Barat dan satu kabupaten Jawa Tengah. Untuk menanggulangi bencana tersebut sedikitnya dibutuhkan Rp 1,4 triliun. Karena pos dana bencana dalam APBN 2009 sudah habis terpakai, maka dana akan diambil oleh pemerintah dari dana cadangan APBN 2009.
Tingkah laku anggota dewan dalam hal ini meneguhkan apa yang dikatakan oleh sosiolog Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of The Leisure Class (1899), bahwa masyarakat memiliki kebutuhan pamer guna memperlihatkan status mereka dengan penampilan yang mencolok. Apabila pelantikan anggota dewan yang menghabiskan dana demikian besar tersebut benar didorong oleh egoisme diri untuk memamerkan pencapaian mereka menduduki kursi kekuasaan, ini adalah fakta suatu anomali semestinya dihindari, karena akan melukai hati rakyat.
Kalau saja wakil-wakil rakyat di negeri ini memahami makna dari panggilan sebagai anggota dewan, yaitu menjadi pelayan rakyat, maka pelantikan anggota DPR dan DPD tidak akan pernah menjadi ajang memaksimalkan kesempatan untuk mengeruk kekayaan, apalagi itu terjadi pada saat jeritan korban gempa bumi masih terus berkumandang, karena minimnya bantuan yang mereka peroleh. Pelantikan anggota dewan sejatinya harus menjadi ajang di mana anggota dewan membuktikan komitmennya kepada rakyat yang telah memilih mereka. Kesempatan itu harus dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk lebih mendekatkan diri kepada rakyat yang diwakilinya.
Oleh karena itu, akan sangat membanggakan jika biaya pindah rumah anggota dewan mereka tolak dan mereka bersedia menanggung sendiri biaya tersebut. Kemudian, dengan rasa peduli yang tinggi serta didorong oleh kerelaan hati pada penderitaan korban gempa, pada acara pelantikan itu mereka dapat menunjukkan komitmen kepada rakyat dengan menyisihkan sebagian dari kekayaan mereka untuk membantu korban gempa yang telah memilih mereka.
Panggilan Mulia
Anggota dewan tampaknya perlu menyimak apa yang dikatakan oleh Paul Marshall, “Pemerintah-pemerintah bukan dipanggil untuk menjadi penguasa mutlak, namun untuk menjadi hamba. Mereka tidak dipanggil untuk menjadi kekuatan-kekuatan yang egosentrik, namun sebaliknya harus menjadi hamba yang melayani, demi kebaikan seluruh rakyat.”
Menjadi anggota dewan seharusnya dimaknai sebagai panggilan mulia untuk mendedikasikan diri bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tugas untuk memperhatikan dan mengangkat taraf kehidupan rakyat, yang masih berada dalam kemiskinan, adalah suatu tugas yang mulia. Adalah suatu kekeliruan yang teramat besar jika jabatan sebagai anggota dewan dimaknai sebagai pusat kegiatan hidup, yakni sebagai suatu peluang untuk memperkaya diri, atau meraup sebanyak-banyaknya kekayaan demi kehidupan pribadi, karena wewenang kekuasaan adalah untuk melayani, bukan untuk hal yang lain.
Kebutuhan pamer adalah suatu anomali, tak layak dipelihara oleh siapa pun. Semangat pamer mengindikasikan adanya usaha untuk merendahkan sesama. Gairah untuk pamer harus diwaspadai oleh siapapun, khususnya mereka yang menjadi panutan masyarakat.
Anggota dewan seharusnya mampu menghindari diri dari anomali budaya pamer, yaitu keinginan untuk mempertontonkan status mereka dengan menyelenggarakan pelantikan yang serba mewah. Apalagi, kini mereka mengemban suatu tugas yang maha penting yakni menyuarakan suara hati nurani rakyat, khususnya mereka yang sedang menderita.
Kalau saja acara pelantikan anggota dewan itu dapat diisi dengan kegiatan yang dapat menunjukkan komitmen mereka kepada rakyat, dukungan rakyat terhadap mereka tentu akan sangat besar, dan itu bisa menjadi tenaga yang amat besar untuk melaksanakan tugas mulia, yang tidak mudah, yang harus mereka emban. Pada sisi yang lain, itu juga bisa mengobati luka hati rakyat yang lelah melihat kemalasaan anggota dewan menghadiri persidangan, dan perilaku beberapa anggota dewan yang kini ditahan, karena melakukan korupsi.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society