Binsar A. Hutabarat
Investor Daily, 15 Maret 2010
Waktu baca: 5 menit
Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Perayaan ini menandai bangkitnya perempuan dalam kancah politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Di Indonesia, peran perempuan di bawah bayang-bayang kaum pria, bahkan kerap menjadi sasaran kekerasan laki-laki.
Hari Perempuan Internasional di negara-negara Barat mulai dirayakan pada sekitar tahun 1910-an dan 1920-an. Sempat menghilang beberapa saat, perayaan ini dihidupkan kembali seiring bangkitnya gerakan feminisme pada tahun 1960-an. Sejak 1975, PBB mulai mensponsori perayaan Hari Perempuan Internasional.
Meski peran kaum ini sudah mulai tampak dalam berbagai bidang, nasib malang yang menimpah mereka tetap saja tak bisa ditutup sebelah mata. Korban kekerasan rumah tangga atau menjadi korban pelecehan seksual masih sering menjadi kisah tragis yang dialami kaum perempuan kita, tidak memandang suku, agama, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan.
Data Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan, sepanjang tahun 2009, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 263%, atau naik tiga kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun 2008. Tahun 2009 terjadi 143.586 kasus, sedangkan tahun 2008 hanya 54.425 kasus.
Kekerasan terhadap istri, baik fisik maupun psikis cukup menonjol, yakni 96% atau 146.849 kasus. Perempuan mengalami diskriminasi bukan hanya pada ruang publik, tapi juga pada ruang privat perempuan.
Boleh saja kita mengatakan bahwa saat ini perempuan lebih berani melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, namun melihat peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan yang amat spektakuler—tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya—dapat disimpulkan bahwa martabat perempuan Indonesia masih belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya.
UU Anti Diskriminasi
Hal yang tampak masih menonjol adalah perlakuan diskriminatif terhadap kaum ini. Menurut Convention of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah segala pembedaan, pengesampingan, atau pembatasan apapun yang dibuat atas dasar jenis kelamin.
Pembedaan ini mempunyai mempunyai pengaruh atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya oleh kaum dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya.
Diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada ranah publik, tetapi juga pada ranah privat. Perempuan Indonesia dipaksa menjadi “super woman” bekerja di luar rumah sebagaimana laki-laki, namun masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dianggap domain perempuan.
Beratnya penderitaan perempuan Indonesia itu masih ditambah lagi dengan kekerasan yang dialami dalam rumah tangga, pemberian upah yang tidak adil, bahkan perlindungan yang minim terhadap buruh migran perempuan yang selalu menjadi bulan-bulanan kekerasan majikan.
Diskriminasi terhadap perempuan yang membuat perempuan termarjinalkan ini sangat merendahkan martabat suatu bangsa, karena sebagai sebuah bangsa yang beradab, perempuan dan laki-laki harus diperlakukan setara dan harus memiliki persamaan dalam hak-haknya. Apalagi untuk Indonesia yang telah meratifikasi konvensi CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984.
Berdasarkan undang-undang tersebut, diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bidang sudah selayaknya disudahi, dan diskriminasi terhadap perempuan sesungguhnya juga melawan konstitusi RI yang menempatkan laki-laki dan perempuan setara adanya.
Aksi Afirmasi
Masih rendahnya partisipasi perempuan Indonesia mengindikasikan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi persoalan yang menuntut peran pemerintah dalam memenuhi hak-hak perempuan.
Rintangan diskriminasi yang menghalangi partisipasi perempuan itu harus dihapuskan. Peningkatan partisipasi perempuan Indonesia ini penting dan harus lebih ditingkatkan. Perempuan harus diberikan ruang sebebas-bebasnya dalam mengabdi kepada bangsa dan sesama manusia.
Marginalisasi perempuan Indonesia merupakan faktor penting yang membuat Indonesia terus berada dalam kemiskinan, ini dapat dipahami karena jumlah terbesar penduduk Indonesia adalah perempuan. Marginalisasi perempuan dalam bidang pendidikan, politik, sosial, ekonomi otomatis akan menghambat kemajuan bangsa.
Fakta membuktikan bahwa keberhasilan pemberdayaan perempuan di negara-negara berkembang identik dengan keberhasilan usaha membangun bangsa, demikian juga sebaliknya. Bagaimanapun, seperti kata David Hollenbach, “partisipasi kelompok marginal mempunyai prioritas atas pemeliharaan tata masyarakat yang mengesampingkan mereka.”
Karena itu pemerintah sepatutnya menerapkan kebijakan aksi afirmatif terhadap perempuan atau diskriminasi positif untuk mengurangi efek diskriminatif yang dialami perempuan yang menghalangi partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa. Pemerintah yang membiarkan masyarakat memarginalkan perempuan sama saja dengan melanggengkan ketidakadilan.
Aksi afirmatif terhadap perempuan tidak akan meminggirkan laki-laki karena laki-laki dan perempuan pada hakikatnya memiliki interdepedensi. Karena itu, demi Indonesia yang lebih baik dan demi penghormatan terhadap hak-hak perempuan, pemerintah sepatutnya menunjukan keberpihakannya terhadap perempuan agar kaum ini dapat menggunakan hak partisipasinya.
Binsar A. Hutabarat | Peneliti Reformed Center for Religion and Society (2006–2019).