Suara Pembaruan, 15 Desember 2006
Benyamin F. Intan
Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Administrasi Kependudukan (Adminduk) menjadi undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR Jumat lalu (8/12), sangat dise-salkan banyak pihak, pasalnya RUU ini masih mengandung pengaturan yang bersifat diskriminatif, khususnya terhadap warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Bukan lagi merupakan suatu rahasia umum bahwa penghayat kepercayaan sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif akibat tidak dimasukkannya aliran kepercayaan sebagai agama dalam kolom KTP.
Berbagai nasib pahit mereka alami, seperti pencitraan buruk, dianggap komunis karena dituduh tidak beragama, dipaksa menganut agama tertentu, banyak perkawinan yang tidak dicatatkan di kantor catatan sipil karena dianggap tidak memeluk agama, dan anak-anak dari hasil perkawinan dianggap sebagai anak kumpul kebo, yang mengakibatkan sejumlah pegawai negeri sipil warga penghayat tidak mendapat tunjungan anak atau isteri.
Memang harus diakui bahwa UU Adminduk ini telah mengakomodasi beberapa hak sipil dari warga penghayat. Pencatatan data (database) kependudukan yang ditetapkan dalam Pasal 58 misalnya, apabila sebelumnya hanya mencantumkan kolom agama, sekarang disempurnakan menjadi kolom agama/kepercayaan. Begitu pula dengan Pasal 105 yang menjamin para penghayat mendapatkan pelayanan yang sama dalam pencatatan peristiwa penting, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian.
Kendati demikian, UU Adminduk ini masih belum menampung semua aspirasi para penghayat. Buktinya, UU yang baru disahkan ini tetap tidak memberi tempat kepada para penghayat untuk mencatatkan keyakinan mereka di KTP dan kartu keluarga karena yang disediakan di sana hanya kolom agama.
Padahal UU ini ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. Perlakuan yang diskriminatif ini tidak sesuai dengan natur perundang-undangan yang seharusnya bersifat inklusif dan non-sektarian. Amat disayangkan memang bahwa UU Adminduk yang baru disahkan ini masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Definisi Agama
Penolakan pemerintah terhadap aliran kepercayaan sebagai bukan agama yang mengakibatkan perlakuan diskriminatif terhadap warga penghayat, dikarenakan ketidaksanggupan kepercayaan memenuhi kriteria agama versi pemerintah.
Di bawah rezim Sukarno melalui Departemen Agama, pemerintah pertama kalinya mendefinisikan agama dengan persyaratan sebagai berikut: memiliki kitab suci, memiliki nabi, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi, adanya pengakuan internasional, dan sistem hukum agama yang komprehensif.
Berdasarkan ketentuan tersebut, enam agama ditetapkan pemerintah Orde Lama sebagai “agama negara” (officially recognized religion): Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu.
Kriteria agama hasil godokan Departemen Agama itu otomatis mengeksklusi aliran kepercayaan. Anehnya, tak ada satu pun dari kelima persyaratan tersebut di atas yang dapat dipenuhi oleh aliran kepercayaan. Sehingga Niels Mulder benar bahwa sasaran utama pembuatan kriteria agama versi Departemen Agama sejak semula adalah untuk menyangkali keberadaan aliran kepercayaan sebagai agama (Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, hal. 4-6).
Pendefinisian agama menurut Departemen Agama itu sangatlah memihak karena dibuat berdasarkan kacamata pandangan Islam dan Kristen yang tergolong agama samawi atau agama langit (revealed religion).
Sehingga sangat tidak adil jika kriteria menurut agama samawi tersebut kemudian diterapkan pada agama bumi (natural religion) yang notabene merupakan sistem kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat secara turun temurun seperti aliran kepercayaan.
Sebetulnya jika mau jujur, yang harus dieksklusi bukan hanya aliran kepercayaan, tapi juga Budha, Hindu, dan Konghucu yang juga notabene adalah agama bumi. Oleh karena baik Budha, Hindu, maupun Konghucu sama sekali tidak mengenal konsep “Tuhan yang berpribadi dan personal,” salah satu persyaratan agama di atas. Bagi mereka yang menganut agama bumi ini, konsep “Tuhan” harus selalu dipahami sebagai “Ketuhanan” yang bersifat abstrak dan impersonal (divine).
Dan para founding fathers kita tahu persis akan hal ini. Itu sebabnya sila pertama Pancasila didefinisikan mereka seinklusif mungkin untuk mencakup seluruh umat beragama. Sila pertama didefinisikan bukan sebagai “Tuhan” tetapi “Ketuhanan” Yang Maha Esa. Kata “Ketuhanan” (awalan “ke” dan akhiran “an” pada kata “Tuhan”) merujuk pada konsep “Tuhan” yang abstrak dan impersonal.
Inklusivitas Pancasila mengayomi semuanya baik agama samawi maupun agama bumi. Sehingga baik Budha, Hindu, Konghucu, maupun aliran kepercayaan yang tergolong agama bumi seharusnya memiliki hak hidup dan terjaminnya hak sipil yang tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan agama langit seperti Islam dan Kristen.
Sehingga tak ayal lagi pengkriterian agama ala Departemen Agama yang sepihak dan jauh dari rasa memenuhi keadilan masyarakat itu telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila yang toleran dan non-diskriminatif.
Karena aliran kepercayaan (berjumlah ratusan di Indonesia) tidak memenuhi ketentuan agama tersebut, sehingga jadilah aliran kepercayaan bukan sebagai agama, tetapi budaya, dan tempatnya juga bukan di Departemen Agama tetapi dibina oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui TAP MPR No.IV/MPR/1978. Sejak saat itulah aliran kepercayaan mengalami diskriminasi.
Negara Pancasila
Kajian ulang terhadap kriteria agama versi Departemen Agama dengan tujuan agar diskriminasi agama terhadap aliran kepercayaan dapat dihapuskan adalah sesuatu yang penting tapi itu bukan persoalan utamanya. Masalah dasarnya yakni apakah negara memang berhak mendefinisikan apa itu agama, dan berwenang menentukan mana yang agama dan mana yang tidak.
Dalam kamus negara Pancasila, prinsip subordinasi tidak dikenal, apakah itu “pensubordinasian agama di bawah negara” dalam bentuk agama negara ataukah “pensubordinasian negara di bawah agama” dalam bentuk negara agama.
Pengkriterian agama versi Departemen Agama yang melahirkan “agama negara” tidak lain merupakan bentuk “pensubordinasian agama di bawah negara.” Hal ini tentunya bertentangan dengan jiwa Pancasila. Negara Pancasila tidak mempunyai wewenang untuk menentukan mana yang agama dan mana yang tidak, mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana agama yang bisa diakui dan mana agama yang harus dilarang.
Dalam framework negara Pancasila, wewenang yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan penganut agama ini tidak boleh diambil alih oleh negara. Manakala agama disubordinasikan di bawah kekuasaan negara, ia akan kehilangan daya transendentalnya. Tanpa identitas transenden, agama menjadi mandul, tidak lagi menjalankan fungsi kritis dan profetis.
Akibatnya, ia tidak lagi mampu mengemban misinya dalam menjaga koridor moralitas bangsa. Itu sebabnya mengapa tokoh Reformator Martin Luther bersikeras melepaskan agama dari kekuasaan negara. Tanpa imun dari intervensi kekuasaan negara, agama tidak mungkin dapat mengemban tugas moralnya.
Di lain pihak, negara yang mensubordinasikan agama di bawah kekuasaannya dengan jargon “agama negara” adalah negara yang sedang mengebiri dirinya sendiri.
Sadar atau tidak, agama telah dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara. Apabila hal itu terjadi, sirnalah sudah reputasi negara sebagai pengayom dan pelindung yang adil bagi seluruh warga negara.
Natur negara yang seharusnya inklusif dan non-sektarian kini menjadi otoriter dan diskriminatif. Itu sebabnya mengapa Niccolo Machiavelli memisahkan kekuasaan negara dari agama.
Jadi, jika Luther mengeluarkan politik dari agama, yang dilakukan Machiavelli hal sebaliknya, ia mengeluarkan agama dari politik. Memang, hubungan agama-negara dalam bingkai negara Pancasila tidak boleh tumpang tindih: “a free [Religion] in a free State,” kata Abraham Kuyper.
Hanya dengan hubungan agama-negara yang tidak tumpang tindah maka persemaian agama-agama di bumi Pancasila dapat terwujud. Tapi untuk itu, butuh langkah berani menafikan “pensubordinasian agama oleh negara”: hapuskan kriteria agama, hilangkan jargon “agama negara,” tolak pencantuman agama dalam KTP, dan last but not least UU Adminduk yang baru disahkan, harus direvisi!
Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society