Pancasila, Agama, dan Ranah Publik

Seputar Indonesia, 1 Juni 2011
Benyamin F. Intan, Ph.D.

“Mengapa Pancasila tidak mengadopsi konsep Barat tentang naked public square yang memprivatisasikan agama?” tanya Prof Yvonne Haddad ketika penulis memberi kuliah Religious Freedom in Indonesia di Georgetown University, 30 Maret 2011 lalu.

Pertanyaan Prof Haddad sangat beralasan mengingat akhir-akhir ini konflik bernuansa agama semakin meningkat di Tanah Air. Sebagai produk “sekular”, naked public square meniadakan kiprah agama di publik. Alasannya karena agama tidak bakal menerima apa yang John Rawls katakan sebagai “fakta keberagaman” (fact of pluralism). Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 menjembatani perbedaan ideologis antara golongan kebangsaan dengan konsep negara sekulernya dan golongan Islam yang pro-negara agama. Konsep naked public square dari negara sekuler sangat pesimistis terhadap peran agama di domain publik.

Clash of Civilizations dari Samuel Huntington memberi peringatan, jika tidak was-was terhadap kiprah agama di publik, kita akan mengalami perang agama yang pernah terjadi di Eropa abad ke-16 dan ke-17, dalam skala global. Negara agama dengan konsep sacred public square, sebaliknya, sangat optimistis terhadap agama di ruang publik. Namun dibatasi hanya satu agama, yaitu agama negara (official religion), agama lainnya tidak punya hak berkiprah di publik. Kedua opsi ini menekan kebebasan. Itu sebabnya Pancasila menolak.

Mitos dan Bahaya

Merespons Prof Haddad, Pancasila pertama-tama mempertanyakan keberadaan naked public square. Dengan meminggirkan agama ke ranah privat, apakah ruang publik lantas “telanjang”— bebas dari pengaruh keagamaan? Setiap individu, menurut sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin lepas dari “keagamaan” dalam arti luas. Contoh: untuk lepas dari pengaruh agama, sekolah negeri di AS meniadakan pelajaran agama, tapi anehnya, tetap mengajarkan evolusionisme, atheisme yang notabene merupakan “agama sekuler”. Itu mitos, kata Roy Clouser, jika domain publik netral dari pengaruh keagamaan (the myth of religious neutrality).

Masalah lain dari naked public square adalah menyuburkan fundamentalisme. Agama tidak akan tinggal diam melihat proses privatisasi agama yang dilakukan naked public square. Perlawanan agama terhadap upaya marginalisasi, menurut Mark Juergensmeyer, dilakukan dalam bentuk “serangan balik” (backlash). Dan sering kali mengandung apa yang Gilles Kepel katakan sebagai unsur “balas dendam” sehingga berpotensi melahirkan radikalisme agama yang dapat mengganggu kepentingan umum. Dengan meminggirkan agama ke ranah privat, naked public square mengekang kebebasan beragama yang notabene bertentangan dengan sari Pancasila.

Kehadiran sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukan semata-mata menjamin toleransi dan kebebasan beragama. Kalau sekadar toleransi dan kebebasan beragama, sila kedua hingga kelima sudah menjamin. Keunikan sila pertama: menjalankan fungsi publik agama atau dalam istilah Soekarno mengedepankan “kepentingan (kemasyarakatan) agama” (Lahirnya Pantja Sila). Singkatnya, konsep kebebasan beragama Pancasila, meminjam istilah David Hollenbach, bukan hanya negative immunity—bebas dari cengkeraman kekuasaan politik—, tapi juga positive immunity— bebas menjalankan peran publik agama. Konsep naked public square hanya sebatas menjamin negative immunity, positive immunity diabaikannya. Itu sebabnya Pancasila menolak.

Sektarian dan Mandul

Menolak naked public square tidak berarti Pancasila lantas menerima sacred public square. Konsep sacred public square dari negara agama menyalahi spirit kebinekaan Pancasila karena memperlakukan warga negara berdasarkan agama. Tolok ukur kebijakan negara bukan lagi asas keadilan, tapi agama. Dengan demikian, sirnalah sudah fungsi luhur negara sebagai pengayom kemaslahatan warga. Negara agama antidemokrasi karena eksklusif dan diskriminatif. Eksklusif karena bertumpu pada asas superioritas, prioritas, dan mayoritas dalam memperlakukan warga negara. Diskriminatif karena membeda-bedakan warga.

Lengket dengan kekuasaan politik membuat agama mandul, hilang daya transendental, tak lagi kritis dan profetik, tidak lagi mampu menjaga koridor moralitas bangsa. Akibatnya, agama menjadi komoditas politik belaka, sekadar alat legitimasi kekuasaan negara. Singkatnya,dalam negara agama terjadi langkah bunuh diri baik terhadap agama maupun negara.

Peran Publik Agama

Dengan menolak naked public square dan sacred public square, Pancasila mengedepankan konsep civil public square. Melalui konsep ini, Pancasila mengizinkan semua kepercayaan berkiprah di kehidupan publik. Tapi dengan syarat, harus bertolak dari realitas kemajemukan agama. Artinya, kiprah agama di domain publik harus dilakukan pada aras civil society. Agama di ranah publik pada level civil society mempunyai misi memberdayakan kekuatan potensial agama-agama dalam menjawab tantangan konkret kemanusiaan di dalam masyarakat. Fokusnya bukan pada isu dominasi antarkelompok agama, tetapi bagaimana agama-agama tampil sebagai kekuatan demokratis dalam mentransformasi kehidupan sosial-politik masyarakat.

Target agama di publik dalam wacana civil society adalah bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa bermoral dan beretika. Masuk melalui sisi moral politik atau yang acap disebut “politik moral”, kontribusi agama-agama diharapkan menerangi dan menggarami kehidupan politik bangsa agar keputusankeputusan politik yang diambil tertanggung jawab. Sejauh berada di rel politik moral pada dataran civil society, peran publik agama akan positif,mampu menjadi kekuatan transformatif dan liberatif guna menyusun kehidupan sosial politik yang demokratis.

Benyamin F. Intan, Ph.D., Penulis adalah Direktur Eksekutif RCRS

Leave a Comment

Your email address will not be published.