Ongkos Mimpi Demokrasi Timor Leste

Jawa Pos/Indo Pos, 12 Februari 2008
Antonius Steven Un

Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta ditembak gerilyawan pemberontak di Dili, Senin (11/2) pagi (mobile.liputan6.com, 11/02, 08.10). Penembakkan ini bukan saja kontraproduktif tetapi menambah parah upaya demokratisasi negara pendatang baru tersebut.

Peristiwa ini amat menyayat hati dan patut disayangkan mengingat posisi presiden bukan saja siginifikan dalam kelembagaan birokrasi dan tata negara tetapi juga sebagai simbol negara. Peristiwa yang menjadi preseden buruk bahkan dapat memupuskan asa membangun Timor Lorosae.

Ungkapan ini tidaklah berlebihan. Hal Hill dan Joao Mariano Saldanha mendaftar sejumlah titik tolak menyedihkan dalam pembangunan negara di ujung timur pulau Timor ini, antara lain, kondisi negara amat miskin dengan pendapatan per kapita hanya 300 dolar AS; sekitar 70% bangunan hancur pada 1999.

Selain itu, terjadi resettlement dan eksodus penduduk besar-besaran ada periode itu; kekurangan man power birokratik akibat sebelumnya disuplai Indonesia dan saat ini bergantung PBB; tidak memiliki konstiusi dan sistem perundangan serta skisma politik hebat (East Timor: Development Challenge for the World’s Newest Nation, 2001).

Kebutuhan Demokrasi
Dengan keadaan demikian kritis, ditambah dengan peristiwa penembakkan ini, pembangunan demokrasi makin sulit. Padahal, demokrasi dalam dimensi praksis historis berevidensi efektif. Pasca gerakan kebudayaan Renaissance dan Reformasi di Eropa Barat abad 13 hingga abad 16, banyak negara yang menganut demokrasi terbukti memaslahatkan rakyatnya dan bahkan menjadi berkah bagi bangsa sekitar.

Negara-negara maju penganut demokrasi dan penghargaan HAM cenderung lebih stabil secara multidimensional. Lihat saja negara-negara penganut demokrasi seperti Singapura, India dan Jepang di Asia yang kini memiliki kekuatan ekonomi politik menakjubkan dan bersaing ketat dengan negara-negara Eropa dan Amerika Utara.

Timor Leste baru dikatakan demokratis jika memenuhi sejumlah kriteria empiris seperti dikemukakan ilmuwan politik Robert Dahl (1989). Pertama, terdapat mekanisme check and balances terhadap kebijakan pemerintah oleh institusi konstitusional. Kedua, pejabat publik atau elite politik dipilih secara adil dalam suatu frekuensi suksesi tertentu yang damai.

Ketiga, secara praktis, semua orang dewasa memiliki hak dan kesempatan untuk vote dalam pemilihan umum. Keempat, kebanyakan orang dewasa memiliki kesempatan kandidasi yang dalam jabatan-jabatan politis.

Kelima, warga negara didorong untuk secara efektif memiliki dan memakai hak kebebasan berekspresi termasuk ekspresi politik dalam menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.

Keenam, publik memiliki akses kepada informasi yang tidak dimonopoli.

Ketujuh, warga negara juga mendapat jaminan ekspresi kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi termasuk ranah sosial politik.

Kendala Vital
Sejumlah kendala vital yang amat memperlamban proses demokratisasi di negara bekas propinsi ke 27 RI itu.

Pertama, proses pembentukan negara ini tidak melalui persiapan yang matang, antara lain dengan pengadaan infrastruktur fisik dan sosial yang terbatas, dan fungsi tata pemerintahan yang minim.

Kedua, proses take over tidak berlangsung secara damai tetapi berdarah. Hal ini menyebabkan, antara lain infrastruktur hancur dan luka sosial menganga.

Ketiga, stabilisasi keamanan amat sulit dicapai karena di satu sisi petugas keamanan belum tersedia, di sisi lain anarkisme bekas perang dan potensi konflik seputar kepentingan politik dan kepemilikan tanah masih membara.

Agenda Krusial
Menuju terwujudnya mimpi demokrasi di negara republik-demokratik itu, diperlukan sebuah proses pembangunan yang strategis, komprehensif dan gradual, bukan perubahan overnight semudah membalikkan telapak tangan.

Agenda terdepan adalah pemulihan keamanan dan law enforcement. Untuk yang pertama, dibantu pasukan perdamaian PBB. Untuk yang kedua, perlunya pembentukan dan penguatan konstitusi, perangkat perundangan serta tata negara dan struktur birokrasi.

Dalam keadaan demikian, peran negara donor amat dibutuhkan. Ilmuwan dari Suffolk University, Boston, Jonathan Haughton, mengemukakan sejumlah saran signifikan kepada komunitas donor dalam rekonstruksi pasca perang.

Antara lain, memperkuat daya serap dengan pelatihan personel, relokasi pengungsi, rekonstruksi desa dengan fokus pembersihan sisa materi perang, land reform, pemulihan sarana kesehatan dan pertanian. Di samping itu, sudah tentu bantuan dana yang tidak sedikit (2001).

Sementara itu, jika pemeerintahan telah terbentuk, sejumlah tanggung jawab berat siap menanti. Antara lain rehabilitasi legitimasi pemerintahan, pemulihan infrastruktur fisik dan sosial, membantu pasukan perdamaian dalam stabilisasi keamanan dan penyelesaian masalah-masalah kepemilikan.

Semoga!

Antonius Steven Un, Penulis lahir dan besar di Timor Barat, Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.