- Koran Tempo, 11 Maret 2015
- H. Hans Panjaitan
- Waktu Baca: 4 menit
Istilah “ngeyel” berasal dari kata dasar “eyel“, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya: tidak mau mengalah dalam berbicara; ingin menang sendiri dalam berbicara.
Kata dari bahasa Jawa ini bisa berkonotasi positif maupun negatif. Seseorang disebut ngeyel kalau dia bersikap bersikap keras kepala, bandel, tidak mau taat perintah, membangkang, dan sebagainya. Sekalipun demikian, orang yang bersikap ngeyel tidak berarti selalu buruk. Misalnya, ada bawahan yang ngeyel terhadap perintah atasan apabila perintah itu dinilai tidak baik, tidak pantas, atau merugikan diri sendiri atau orang lain. Maka di balik ngeyelnya seseorang, bisa jadi orang tersebut cerdas, kritis, pintar, dan tentu saja berani. Dan ini bisa disebut ngeyel dalam arti positif.
Sebaliknya, ada ngeyel yang negatif, di mana orang itu ngotot mempertahankan argumen sekalipun salah dan keliru. Tentu lebih celaka lagi bila orang itu sadar kalau yang dia “ngeyelan” itu sebenarnya salah, keliru, dan tidak jelas juntrungannya. Ini namanya ngeyel dalam arti negatif.
Akhir-akhir ini DKI Jakarta diramaikan oleh orang-orang yang ngeyel. Gubernur dan DPRD sama-sama ngeyel menyangkut Anggaran Dasar dan Belanja Daerah (APBD) 2015. Baik Gubernur DKI maupun DPRD sama-sama bersikukuh dengan APBD versi masing-masing.
Ketika titik temu sudah tidak ada, di mana kedua belah pihak ngeyel dengan pendirian masing-masing, DPRD akhirnya menggagas hak angket, yang katanya, bisa berujung pada pemakzulan. Ahok yang dari sononya memang dikenal sebagai jago ngeyel bukannya menciut, justru membawa kasus ini ke KPK. Dia ingin agar dugaan-dugaan penyimpangan yang ditemukan dalam APBD 2015 versi DPRD DKI tersebut diselidiki tuntas.
Sepintas, alasan Ahok memang tepat. Siapa pun pasti kebingungan membaca sejumlah program di APBD versi DPRD yang tidak jelas, dengan jumlah dana yang tidak masuk akal dan peruntukan yang kurang urgen. Salah satu contoh adalah pengadaan uninterruptible power supply (UPS) di beberapa sekolah, yang dana untuk satu unit UPS versi APBD DPRD saja justru bisa membangun satu sekolah.
Entah sudah berpengalaman atau memang dasar tukang ngeyel profesional, DPRD DKI tidak surut langkah. Dimotori oleh duo wakil ketuanya: Abraham Lulung dan Muhammad Taufik, genderang perang terhadap Ahok terus dikobarkan. Mediasi yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Kamis 5 Maret 2015 pun tidak membuahkan hasil yang bisa diterima kedua belah pihak. Yang terjadi justru kisruh menjelang acara tersebut selesai. Setelah acara mediasi yang gagal tersebut, pemerintah DKI Jakarta menyatakan masih menunggu hasil penetapan Kemendagri atas Rancangan APBD 2015.
Adu ngeyel yang dipertontonkan oleh Gubernur Ahok dengan DPRD, kelihatannya tidak perlu ditunggu kapan berakhir. Sementara dana APBD harus segera digelontorkan guna menjamin keberlangsungan geliat DKI Jakarta terutama warganya. Biarlah urusan ini diselesaikan Kemendagri. Namun rakyat Indonesia, secara khusus masyarakat DKI Jakarta, yang diam-diam menjadi saksi dan wasit dalam pertikaian antara Gubernur Ahok dengan DPRD DKI, tentu dapat menilai dengan pikiran jernih: siapa sebenarnya yang ngeyel dalam arti yang positif, dan sebaliknya.
Dan yang paling penting, ngeyelnya Ahok dalam kisruh APBD 2015 ini, semoga saja menjadi bahan renungan dan evaluasi bagi segenap elemen masyarakat di seluruh daerah Nusantara ini, bagaimana menyusun APBD yang peruntukannya 100% untuk kepentingan rakyat, bukan untuk para siluman.
H. Hans Panjaitan, peneliti