Seputar Indonesia, 14 Juni 2008
Antonius Steven Un
Wacana yang mengeskalasi beberapa hari terakhir adalah soal penguatan posisi dan peran negara. Hal ini seolah berantitesis dengan realitas pergumulan kala rezim Orde Baru berkuasa, yakni penguatan posisi dan peran masyarakat. Pemerintahan tiranis menyebabkan rakyat tertindas. Namun, pemerintahan lemah menyebabkah rakyat lelah karena anarkisme mengemuka, sebagai bentuk kekuasaan yang terdesentralisasi secara maksimum, kalau tidak mau dikatakan mutlak tanpa pemerintahan.
Filsafat politik mendikotomi struktur sosial yang anarkis dan pemerintahan tiranis pada kutub yang bertentangan serta mengartikulasikan secara cermat suatu pemerintahan demokratis, di mana hukum berkuasa (rule of law). Di sini, terdapat suatu ketegangan (tension) antara tegas menjalankan hukum di satu sisi dan keterbukaan terhadap kritik dan partisipasi masyarakat di sisi lain.
Negara dalam dipahami sebagai organisasi pokok dan integrasi dari kekuasaan politik (Budihardjo, 2008: 47). Para ilmuwan politik seperti Harold J. Laski (1947), Max Weber (1958) maupun Robert M. MacIver (1926) memandang negara sebagai asosiasi atau agen yang menyelesaikan persoalan berdasarkan hukum dengan kekuatan koersi.
Konsepsi bahwa negara legitim menggunakan kekerasaan dan paksaan mengindikasikan bahwa, sejak semula memang negara telah dipahami memiliki posisi yang kuat. Termasuk di dalamnya memiliki tiga sifat yang mengindikasikan hal tersebut yakni sifat paksaan, sifat monopoli dan sifat mencakup semua (Budihardjo, 2008: 49-51).
Sakralisasi Negara
Negara sejatinya memiliki posisi dan peran sakral. Filsuf-teolog John Calvin (1509-1564) menegaskan bahwa “tidak ada ada seorangpun yang seharusnya meragukan bahwa otoritas sipil [negara] adalah sebuah panggilan, bukan hanya kudus dan sah di hadapan Allah, tetapi juga amat sakral dan sejauh ini paling mulian di antara semua panggilan dalam kehidupan mortal manusia” (1559: IV.XX.4).
Penegasan demikian didasarkan atas pemahaman bahwa secara teologis, negara menerima mandat sebagai wakil Tuhan untuk mengelola simtom hegemonis dan konflik antagonis. Selain peran pada sisi negatif tersebut, pada sisi positif, negara adalah organisasi pokok dalam kekuasaan politik untuk mengelola kepentingan dan tujuan individu dan organisasi masyarakat.
Bahwa hegemonisme dan antagonisme adalah realitas hampir setua usia manusia akibat eksistensi dosa dan kejahatan di dalam kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Karena itu, sakralisasi negara harus dimaknai bukan sebagai legitimasi state crime tetapi sebagai legitimasi state against crime. Kegagalan negara, entah disengaja atau tidak, dalam menekan anarkisme merupakan suatu penghinaan dan pemerkosaan terhadap perannya yang demikian sakral.
Calvin menyebut tugas kenegaraan dan pemerintahan sebagai suatu panggilan ilahi. Karena itu, dalam pandangan Calvin, terdapat sejumlah tugas pokok negara antara lain agar manusia dapat bernafas, makan, minum dan hidup dalam kehangatan. Negara juga bertugas memprevensi public peace dari segala gangguan, juga suatu preservasi terhadap properti penduduk agar aman serta ”that honesty and modesty may be preserved among men…in short, it provides that a public manifestation of religion may exist…and that humanity be maintained among men” (1559: IV.XX.3).
Negara Demokratis
Dalam konteks kekinian, sejumlah catatan penting patut digarisbawahi terkait posisi dan peran negara. Pertama, penguatan posisi negara bukanlah secara sporadis melainkan merupakan penguatan penegakkan hukum. Dengan kata lain, state empowerment is a law enforcement. Hal ini untuk menghindari timbulnya pemerintahan tiranis, yang sudah susah payah kita tumbangkan pada sepuluh tahun lalu.
Kedua, penguatan posisi negara tidak berarti intervensi kelewat batas hingga mencakup domain privat dari warga negara, seperti agama dan pilihan politik. Jika demikian, maka tidak heran suatu hari nanti pemerintahan totalitarian akan mengatur, (maaf) dalam satu minggu sepasang suami istri harus berhubungan intim berapa kali.
Ketiga, penguatan posisi negara adalah dalam rangka prevensi harta kekayaannya, termasuk pluralitas, sebagai suatu modal sosial. Negara harus berani tegas terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berlaku antitesis, mencoba mengkonstruksi uniformitas dan monolitas. Sebab, hal terakhir ini sejatinya adalah suatu pengkerdilan terhadap perbedaan sebagai ekspresi nilai intrinsik manusia, yakni sesuatu yang given dari Sang Khalik.
Keempat, negara menolak berperan dengan semangat totaliterian dan diktatorial tetapi tidak berarti memberikan karpet merah kepada individu dan kelompok massa untuk menguasai dan menekan negara. Sikap-sikap memaksakan kehendak, memasung kebebasan, melunturkan perbedaan, membenci lawan, memperkosa hukum positif dan disapresiasi terhadap kemanusiaan sebagai fondasi dasar demokrasi harus dilawan habis-habisan oleh segenap lapisan masyarakat khususnya dengan kehadiran dan penguatan posisi serta peran negara.
Semoga!
Antonius Steven Un, Penulis adalah Peneliti Teologi Politik Reformed Center for Religion and Society