Murniaty Santoso
Investor Daily, 10 November 2006
Waktu baca: 3 menit
Dalam rangka mengevaluasi dua tahun pemerintahan SBY-JK, Lembaga Survei Indonesia (LSI) meluncurkan hasil jajak pendapat: sebanyak 62% masyarakat mengatakan pemerintah gagal menanggulangi kemiskinan, sedangkan 71,5% menyatakan SBY-JK gagal mengurangi pengangguran.
Tidak berbeda dengan survey tersebut, BPS juga menunjukkan tren kenaikan angka kemiskinan dari 15,75% pada Februari 2005 menjadi 17,95% pada Maret 2006. Sedangkan angka pengangguran naik dari 9,5 juta orang menjadi 10,4 juta orang.
Data-data di atas melaporkan bahwa pemerintah kita sampai saat ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan khususnya dalam mengupayakan pembukaan lapangan kerja baru. Kita tentunya setuju bahwa tingkat kemiskinan dapat dikurangi dengan membuka lapangan kerja baru. Namun, pembukaan lapangan kerja baru untuk meningkatkan produktifitas tentunya terkait dengan national competence yang merupakan jalan tol bagi masuknya investasi yang diperlukan. Sayangnya national competence Indonesia saat ini sangat rendah.
Kemiskinan
Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom mengatakan, kemiskinan harus dilihat sebagai the deprivation of basic capabilities atau hilangnya kemampuan dasar seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Dalam konteks ini kemiskinan bukan hanya dilihat semata sebagai pendapatan paling rencah dalam sebuah keluarga atau individu. Pendapatan yang rendah hanya sebagai akibat dari kehilangan kemampuan seseorang untuk memproduksikan sesuatu (a person’s capability deprivation) yang secara bersamaan mempengaruhi national competence.
Competence adalah daya saing individu yang diukur dalam produktivitas. Kehilangan kemampuan kerja yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia menciptakan rendahnya national competence, sehingga pada ujungnya membuat Indonesia tidak mampu bersaing dengan dunia global.
Rendahnya national competence paling tidak disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, pendidikan yang sangat rendah membuat seseorang tidak dapat meningkatkan produktivitas dalam dirinya, baik pada saat ia bekerja di pabrik atau buruh kasar maupun saat tenaga kerja manusia diganti dengan tenaga mesin dari segi globalisasi dunia. Dalam kaitan ini pemerintah tidak memberikan budget yang memadai untuk menopang pendidikan.
Hal lainnya, faktor kesehatan dan tidak adanya birth control (KB). Seseorang yang menghidupi keluarga dengan tanggungan satu anak berbeda dengan seseorang yang memiliki pendapatan sama tetapi harus menghidupi delapan anak. Aspek yang juga perlu dicatat adalah program land reform yang tidak jelas berupa terjadinya kerancuan antara tanah pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dengan real estate atau industrial estate.
Tidak bisa dilupakan adalah masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia, yang sampai saat ini menempati posisi sebagai Negara terkorup di Asia, dan nomor enam terkorup di dunia. Korupsi mengakibatkan penurunan dalam economic growth secara bersamaan mempengaruhi budget pendidikan. Selain itu pemerintah juga tidak fokus meningkatkan proyek-proyek pembangunan yang berguna bagi masyarakat seperti jalan, irigasi, listrik, rumah sakit dan sekolah.
National Competence
Pemerintah yang masih percaya bahwa menaikkan gaji buruh dan subsidi adalah sebuah acuan untuk mengurangi kemiskinan dikhawatirkan akan kecele karena kepercayaan tersebut akan mengakibatkan ekonomi menjadi lebih parah, karena negara tidak akan pernah membangun national competence dari rakyatnya. Fakta ini dapat dibaca dalam kebijakan Indonesia yang tidak pernah berhasil mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
Pengeluaran belanja dari rakyat yang berdasarkan subsidi dari pemerintah bukan berdasarkan output yang dihasilkan dari setiap individu akan membuat belanja Negara makin tinggi, pendapatan Negara tidak bertambah, tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta melambungnya angka kemiskinan. Menurut penulis, jalan utama untuk mengurangi kemiskinan bukanlah menaikkan gaji dan subsidi tetapi membangun national competence Indonesia.
National competence Indonesia akan meningkat sejalan dengan meningkatkan kapabilitas individu, hal tersebut harus diupayakan dengan membangun beliefs yang benar. Beliefs yang benar itu menurut Michael Porter mencakup lima hal.
Pertama, perkembangan ekonomi yang sukses untuk menuju kemakmuran dalam mengurangi kemiskinan sangat tergantung pada kapabilitas masyarakat dimana pendidikan, kesehatan, dan attitude harus berkembang positif. Kemakmuran bukanlah dicapai dengan cara mengontrol resources, kekuatan militer, monopoli dan fasilitas dari pemerintah.
Kedua, pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan stabilitas dalam makro ekonomi seperti suku bunga, konsisten memberikan budget/expenditure untuk pendidikan dan kesehatan, efisien fiscal infrastructure, competitiveness dalam government body untuk meningkatkan output sesuai garis kebijakan yang ada sampai tingkat provinsi, memberikan peraturan dan kebijakan yang jelas, insentif untuk mendorong government competitiveness dan meningkatkan produktivitas.
Ketiga, tingkatkan program-program penting untuk bangsa yang melibatkan kalangan pengusaha, institusi, universitas, industri grup, dimana seluruh lapisan masyarakat berusaha meningkatkan standar produktivitas. Kenaikan labor cost harus sejalan dengan standar produktivitas dan kualitas international.
Keempat, Porter menekankan pada cluster concept bahwa setiap area bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi kemiskinan secara nasional dengan menyelesaikan tanggung jawab rencananya masing-masing yaitu dengan bekerja sama dengan perusahaan lokal dan asing, universitas, dan berbagai institusi yang ada.
Kelima, peraturan perburuhan yang fair, contohnya pesangon tidak dapat diberikan bagi karyawan yang unproductive dan bad attitude, karena peraturan perburuhan yang ada pada hari ini sangat tidak kompetitif dibandingkan dengan Negara lain di ASEAN, produktivitas yang rendah dan peraturan pemerintah yang tidak fair antara yang produktif dengan yang tidak produktif mengancam kelangsungan dunia usaha.
Semua usaha untuk meningkatkan kapabilitas yang adalah sebuah beliefs hanya dapat dibangun pada setiap individu melalui pendidikan, kesehatan dan attitude. Agama tentunya memiliki peranan penting untuk meningkatkan atau menghancurkan economic culture sehingga perlu ditegaskan bahwa agama tidak diperbolehkan memegang peranan dalam ekonomi-politik, agama dapat disampaikan sebagai iman dan untuk memperbaiki moral dari individu. Sehingga attitudes dan values lebih berorientasi untuk meningkatkan kapabilitas bangsa untuk mengurangi kemiskinan dan menuju kemakmuran.
Indonesia pernah mencapai peningkatan kemakmuran bangsa yang membanggakan pada tahun 1970-an dengan melakukan pemberantasan buta huruf, meningkatkan pendidikan melalui Sekolah Dasar (SD) Inpres, meningkatkan produktivitas beras nomor satu di dunia, serta pemberantasan penyakit dengan peningkatan kesehatan melalui puskesmas. Pertanyaannya, di mana hal itu sekarang? Usaha mengentaskan rakyat dari kemiskinan bukanlah suatu utopia, namun tanpa peningkatan national competence mustahil sulit diwujudkan. Kehadirannya akan berdampak bagi kemakmuran bangsa.
Murniaty Santoso, Dewan Eksekutif RCRS (2006-2021); Alumnus S2 dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology (MIT).