Natal dan Pengharapan Sejarah

Kompas Jawa Barat, 24 Desember 2009
Antonius Steven Un

Tanggal 25 Desember 1989 merupakan hari Natal pertama dalam 40 tahun sejarah Romania yang dirayakan sebagai hari libur nasional. Selama 22 tahun terakhir, di bawah kepemimpinan diktator komunis Nicolae Ceausescu, umat Nasrani bersama umat beragama lain berada di bawah penindasan. Etnik Hongaria bersama seorang rohaniwan pentolannya, Pastor Laszlo Tokes, merupakan salah satu kelompok minoritas yang amat ditindas sang penguasa lalim. Malam Natal tahun 1989, Tokes mempersiapkan naskah khotbah Natal di sebuah kapel kecil di tempat pengasingannya. Ia membaca berulang kali cerita Natal dalam Injil Matius dan Injil Lukas, lalu mengakhiri pencariannya pada teks pembantaian anak-anak di Betlehem oleh raja bengis, Herodes. Tokes sedang berada di Betlehem masa kini.

Keesokan harinya, lonceng gereja berdentang berkali-kali, sorak-sorai melanda seluruh Romania. Satu lagi, Herodes tumbang. Di bawah peran penting mendiang Paus Yohanes Paulus II yang bermain dalam politik moral, pemerintahan rezim diktatorial komunisme di Eropa Timur akhirnya runtuh. Natal tahun itu, dan sejatinya itulah makna Natal, melagukan kidung pengharapan bagi umat manusia.

Marjinalisasi
Eksistensi Kaisar Agustus dengan lagu hitnya, “Pax Romana” (“Damailah Romawi”), ternyata tak terlepas dari bau anyir marjinalisasi. Para gembala dan wanita yang berada di seputar Natal merupakan kelompok yang mengalami marjinalisasi berlipat ganda, direndahkan masyarakat Romawi, dihina kaum Yahudi, dan diabaikan kebudayaan Yunani.

Para gembala (Lukas 2:8-20) yang menerima kabar baik dari para malaikat adalah orang-orang dalam masyarakat agraris yang terpaksa bekerja sambilan karena beban pajak yang begitu besar, sementara lahan pertanian mereka amat kecil dan nafkah tidak mencukupi untuk kebutuhan primer anggota keluarga.

Jika Lukas memerhatikan para gembala, Matius menempatkan orang asing, wanita, dan orang berdosa dalam pusaran lampu sorot kasih Allah. Ketiga kelompok inilah yang paling banyak mengalami kekerasan dari kelompok mayoritas kala itu. Akan tetapi, sejatinya Natal melagukan kidung pengharapan bagi mereka. Matius mencatat wanita asing penuh dosa dalam silsilah suci sang Mesias serta menggambarkan pengabdian murni nan tulus para Majus dari Timur bagi Dia yang dilahirkan.

Natal sejatinya memanggil kaum marjinal untuk mengalami kasih Kristus. Perayaan Natal yang sarat aroma komersialisasi dan selebrasi sebagai anak haram modernisasi sudah saatnya digantikan oleh peringatan sederhana sarat makna sebagai transfer kasih vertikal pada perhatian horizontal bagi kaum marjinal. Natal tidak boleh identik dengan kemewahan dan aksesori karena Yesus Kristus lahir di palungan dalam kandang domba yang bau dan dingin di Betlehem. Yesus lahir dalam marjinalisasi sebagai bentuk empati bagi kaum tertindas.

Natal melagukan kidung pengharapan melawan pesimisme tafsir sejarah. Ilustrasi terbaik pesimisme adalah tulisan Albert Camus (1913-1960) yang berjudul The Plague (versi Perancis La Peste tahun 1947 dan versi Inggris tahun 1948). Buku ini memberitakan keputusasaan para dokter menghadapi penyakit mematikan yang disebabkan oleh tikus. Setelah berhasil mengatasi penyakit mematikan itu, para dokter dengan putus asa mengeluh bahwa suatu hari tikus-tikus itu akan kembali lagi.

Analogi alegoris
Menurut teolog Anthony Hoekema, buku ini kerap dianggap sebagai analogi alegoris Camus terhadap teror Adolf Hitler atas Eropa, untuk menegaskan kehampaan makna sejarah (1979). Berita Natal penuh pengharapan terpancar dalam Magnificat-nya Maria yang memuji Allah. Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang rendah (Lukas 2:51-52).

Kita tidak sedang menghadapi rezim diktator bak Herodes dan Kaisar Romawi. Namun, di tengah krisis bertubi-tubi, mulai dari krisis energi, ekologi, pangan, moneter, sosial, identitas, dan politik, kita merindukan “es kelapa muda” pengharapan yang membesarkan hati.

Pasca-pemilihan umum yang berjalan aman dan damai, pasca-aksi pemberantasan terorisme oleh Polri yang menggembirakan hati, kita masih harus dirundung duka krisis politik tingkat nasional dengan perseteruan tripartit Komisi Pemberantasan Korupsi-Kejaksaan Agung-Polri. Setelah itu, kini krisis mengguncangkan sanubari seputar aliran dana talangan Bank Century.

Terlepas dari ingar-bingar perseteruan politik tingkat “gajah”, ada pergumulan “semut” di akar rumput soal kemiskinan, kebodohan, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, infrastruktur yang masih jauh dari memadai, serta sektor riil yang berjalan tersendat-sendat dengan kecepatan rendah. Ragam pergumulan, baik makro maupun mikro, nasional maupun regional, universal maupun personal, masih menjadi nada muram bangsa.

Aksi bunuh diri yang marak belakangan ini merupakan representasi psikologi bangsa yang sejatinya sedang sakit. Di tengah situasi ini, kita memperingati Natal. Seyogianya berita Natal adalah berita pengharapan dalam sejarah. Peringatan Natal sejatinya membangkitkan pengharapan untuk tidak putus asa berjuang di tengah krisis. Sekali lagi, jangan putus asa. Selamat Natal.

Antonius Steven Un, Rohaniwan dan peneliti teologi politik pada Reformed Center for Religion and Society. Berdomisili di Bandung

Leave a Comment

Your email address will not be published.