Natal dan Kemanusian yang Terkoyak

Sinar Harapan, 23 Desember 2006
Benyamin F. Intan

Kandang domba saksi bisu awal penderitaan Yesus, kayu salib yang mempertontonkan kepongahan absennya kemanusiaan adalah dua peristiwa paling memilukan yang menimpa seorang manusia suci, Anak Allah, yang serta-merta melukiskan kemanusian yang terkoyak. Kita tentu setuju, penderitaan yang dialami Yesus tidak akan pernah menemui tandingannya.

Bercermin pada penderitaan Yesus, kita belajar bahwa tidak semua penderitaan adalah akibat dosa. Yesus tidak berbuat dosa, tapi Ia harus menangung banyak penderitaan. Penderitaan muncul justru ketika Ia membela keadilan dengan gigihnya. Menjadi pejuang kebenaran memang berisiko, ada harga yang mesti dibayar. Itu yang dialami Yesus dengan konsekuensi memeliki banyak musuh kebenaran.

Aristoteles tahu persis akan prinsip ini. Itu sebabnya ia mendefinisikan “manusia baik (good man) sebagai “warga negara buruk (bad citizen) dalam “pemerintahan yang buruk” (bad state). Eksekusi mati Tibo Cs belum tentu karena mereka bersalah sebagai otak dan pelaku utama kerusuhan. Kerap terjadi, dieksekusi dalam sistem peradilan yang korup justru membuktikan mereka manusia baik. Cerita “Orang Samaria Yang Murah hati” adalah motivasi pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Di situ, kita mengerti “sesamaku manusia” yang sesungguhnya.

Bagi Yesus, yang berhak mendefinisikan “sesamaku manusia” bukan orang yang menolong tapi ditolong. “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Lukas 10:36). Berarti ketika kita menjumpai orang yang butuh pertolongan, janaganlah pernah bertanya “apakah dia itu sesamaku manusia“ tapi bertanyalah “apakah sudah menjadi sesama manusia baginya.“ Seseorang yang mengakui sesamanya manusia harus mendapatkan dirinya sebagaimana adanya manusia yang ia tolong, di situlah cahaya kemanusian niscaya akan bersinar.

Visi kemanusiaan dengan pengorbanan yang tanpa pamrih ini sangat dibutuhkan, mengingat banyak daerah di Indonesia yang belum mampu keluar dari penderitaan akibat bencana, apalagi tidak adanya politik bencana yang membuat bencana tak pernah dapat diantisipasi secara dini, bahkan penyelesaiannya terkadang menimbulkan luka baru karena adanya korupsi dana bencana, di situ keteguhan untuk belajar dari Yesus menjadi penting.

Ketika Yesus hadir di desa dan kota, Ia sangat berempati dengan penderitaan manusia, padahal Ia adalah pribadi yang paling menderita. Penderitaan tak mampu meluluhkan kesejatian kemanusiaan-Nya, sebaliknya pengorbanan-Nya memulihkan kemanusiaan yang terkoyak.

Menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, memberi makan orang banyak adalah manifestasi dari kepedulian Yesus pada penderitaan manusia.

Pembenaran kemiskinan sebagai alasan membunuh bayi-bayi yak berdaya, sebagaimana dilaporkan tentang seorang ibu yang baru-baru ini menenggelamkan bayinya disungai, demikian juga nasib malang yang dialami tiga bayi penderita gizi buruk di Jakarta dan Tanggerang karena ditelantarkan orang tua sampai meninggal, pastilah bertolak belakang dengan prinsip hidup Yesus.

Putus asa asalah piilihan pasti jika kita menyimak janji kedatangan Yesus, “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yohanes 1:4,5). Betapapun kelamnya mendung yang menutupi bangsa ini, cahaya terang adalah janji pasti dari kabar kedatangan Yesus, asal saja kita mau menjadikan-Nya sebagai teladan.

Iman Lewat Perbuatan
Yesus tidak bersikap angkuh pada manusia-manusia yang mengalami penderitaan, bahkan tidak jarang Ia menghardik manusia-manusia munafik yang bersembunyi di balik jubah keagamaan orang Farisi. Bagi Yesus, kesalehan adalah keberanian utnuk menyapa dan menolong yang papa, menderita, termajinalkan, iman haruslah mewujud dalam perbuatan.

Puncak kepedulian Yesus terhadap tragedi terkoyaknya nilai-nilai kemanusian dipertontonkan secara dramatis dalam jalan salib, hingga kematian-Nya di atas salib. Tidak ada serapah tentang manusia yang berusaha melumatnya, menginjak-injak nilai-nilai kemanusian-Nya yang adalah teladan agung itu.

Sebaliknya, dalam kerelaan menghampakan diri, di situ manusia menemukan kemanusiaannya yang sejati. Manusia memiliki jembatan untuk berjumpa dengan sang Khalik yang telah dihina, serta dicaci maki di Eden, dan terus sepanjang sejarah.

Itulah tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya. Ciptaan yang sesungguhnya bermetaformosa menjadi pencipta, melawan pencipta dan menginjak-injak ciptaan yang lain.

Pengorbanan Yesus yang sejati tanpa pamrih adalah jawaban bagi pemulihan martabat kemanusiaan untuk Indonesia di mana masih banyak terjadi pelanggaran HAM. Ketika kita tetap memandang kepada Yesus yang kemudian ditinggikan dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya, pastilah semangat untuk meneladani Yesus sebagai teladan kemanusian tidak akan pernah surut. Kekekalan yang menjadi janji bagi pengikut patron Yesus herusnya terus bersemayam di dada kita, tidak boleh padam bahkan ketika kesulitan menghalangi perjuangan untuk memulihkan harkat kemanusiaan yang terkoyak, karena di sana akan bersinar cahaya kesejatian kemanusiaan sebagai buah perjuangan tiada henti.

Bukankah Dia menjadikan damai itu bukan hanya ada di surga tertapi juga di bumi? Berarti kita harus terus berjuang meneladani Yesus yang menderita untuk merajut kemanusiaan yang telah terkoyak itu. Semoga melalui penghayatan Natal tahun ini ibu pertiwi tersenyum lagi melihat anak-anaknya yang bercanda kegirangan dalam kebersamaan di bumi Indonesia ini.

Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.