Nasionalisme yang Tidak Cerdas

Binsar A. Hutabarat
Suara Pembaruan, 3 April 2006
Waktu baca: 8 menit

Dalam Kongres Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, saat ini nasionalisme yang ada tidak cerdas, utamanya dalam menghadapi internasionalisme yang sekarang disebut globalisasi (Pembaruan, 25 Maret 2006). Presiden juga mengingatkan, pentingnya melanjutkan ajaran Bung Karno tentang nasionalisme yang harus hidup dalam taman sarinya internasionalisme.

Pernyataan Presiden tersebut merupakan kesimpulan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Demonstrasi penolakan Blok Cepu oleh ExxonMobil, dan juga permintaan penutupan Freeport. Kedua perusahaan tersebut kebetulan milik Amerika, penguasaan perusahaan Amerika atas emas di Papua, serta minyak Cepu menimbulkan perasaan ketidakmandirian di kalangan rakyat, ada perasaan intervensi asing yang tinggi atas Indonesia.

Akibatnya, tidak mustahil nasionalisme yang tidak cerdas tersebut melahirkan perasaan anti-Amerika. Demonstrasi bukan lagi membicarakan masalah keadilan yang seharusnya menjadi topik yang perlu menjadi bahasan, sebaliknya yang muncul adalah semangat sebagai bangsa yang merasa diri lebih superior.

Belum lagi, adanya pemberian suaka terhadap 42 orang pengungsi asal Papua yang membuat banyak orang Indonesia berang kepada Australia yang dianggap tidak pernah beritikad baik. Apalagi, Australia merupakan negara yang mendukung lepasnya Tim-Tim dari Indonesia. Tidak sedikit suara-suara keras yang meminta pemutusan hubungan bilateral dengan Australia, karena suaka tersebut dianggap sebagai intervensi asing. Boleh saja marah dengan Australia, yang menganggap Indonesia tidak dapat memberi perlindungan kepada warganya. Tetapi, seharusnya kita juga berusaha untuk memperhatikan Papua dengan baik. Realitanya, Papua menjadi daerah tertinggal.

Lebih parah lagi, semangat nasionalisme yang tidak cerdas tersebut juga menimbulkan perkelahian dalam soal pornografi dan pornoaksi. Kelompok yang mendukung ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi UU, sebagian beranggapan bahwa nilai-nilai budaya Indonesia jauh lebih tinggi daripada nilai-nilai budaya barat.

Pornografi dan pornoaksi yang dilegalkan di Barat dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia. Nasionalisme yang sempit ini kemudian berdampak pada hubungan dengan sesama warga bangsa karena tidak semua setuju dengan UU APP. Mengenai perlu tidaknya UU APP, tulisan penulis telah dimuat Pembaruan (16 Februari 2006). Persoalan-persoalan di atas tersebut bisa jadi mempengaruhi Presiden untuk membuat kesimpulan bahwa nasionalisme yang ada saat ini, tidak cerdas. Kenyataan ini tentunya tidak boleh dibiarkan, karena ketidakmampuan untuk menyuburkan internasionalisme akan meruncingkan nasionalisme, dan mengakibatkan kebangkrutan nasionalisme. Jalan terbaik untuk menyuburkan nasionalisme yang cerdas adalah kembali kepada apa yang telah ditetapkan oleh The Founding Fathers Indonesia?

Nasionalisme Indonesia

Menurut Sukarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme (lihat naskah Pidato Bung Karno tentang lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945). Pernyataan Sukarno tersebut merupakan suatu penjelasan nasionalisme yang harus dianut oleh Indonesia. Sukarno mengingatkan akan bahaya dari nasionalisme yang tidak bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme yaitu bahaya terjadinya peruncingan nasionalisme yang melahirkan chauvinisme.

Seperti yang pernah terjadi pada bangsa Jerman yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jerman, sebagai “bangsa Aria” yang menganggap diri sebagai bangsa tertinggi di dunia. Menjadi bangsa yang meremehkan bangsa lain. Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa (internasionalisme). Jadi nasionalisme Indonesia yang mempersatukan keragaman suku, budaya dan agama harus membawa pada persatuan umat manusia.

Sebagaimana dikatakan Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan (my nationalism is humanity).” Indonesia yang bersatu adalah bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia. Sejak awal berdirinya NKRI telah disadari bahwa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa tidak dapat hidup menyendiri. Indonesia harus hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain. Kekuatan nasionalisme akan terus bertumbuh ketika Indonesia mampu hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain sebagai suatu keluarga. Namun internasionalisme tidak boleh melahirkan kosmopolitanisme yang menolak kebangsaan (nasionalisme).

Penyebab Tidak Cerdas

Tumbuhnya semangat nasionalisme yang tidak cerdas karena ketidakmampuan menyandingkan nasionalisme dan internasionalisme. Memang Indonesia tidak jatuh kepada kosmopolitanisme, namun sayangnya tidak mampu menghindari bahaya peruncingan nasionalisme yang melahirkan pemikiran nasionalisme yang tidak cerdas. Sikap curiga berlebihan terhadap bangsa lain yang membuat suatu bangsa ingin menghancurkan bangsa lain.

Demikian juga sikap eksklusivisme bangsa akan membuat penilaian yang merendahkan bangsa lain. Akibatnya, terjadi benturan antar bangsa. Untuk Indonesia, trauma penjajahan memang bisa jadi, tidak mudah untuk menghilangkan rasa curiga terhadap bangsa lain. Namun membiarkan trauma tersebut terpelihara baik, akan merugikan Indonesia. Sikap hati-hati boleh saja dimiliki, karena dalam pergaulan antarbangsa setiap bangsa mempunyai kepentingan domestik.

Hal tersebut wajar, namun tidak boleh melupakan bahwa sesungguhnya bangsa-bangsa adalah satu keluarga. Sehingga, sikap hati-hati tidak berarti menutup diri terhadap bangsa-bangsa lain, apalagi perasaan curiga yang ingin menelan bulat-bulat bangsa lain. Nasionalisme yang tidak cerdas tersebut juga bisa muncul karena ketakutan terhadap globalisasi.

Memang globalisasi dapat menimbulkan ancaman komunitas yang eksklusif. Namun, seharusnya globalisasi bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Kesadaran internasionalisme yang menghargai bangsa-bangsa lain sebagai satu keluarga membuat kita mampu menarik manfaat dari perjumpaan yang ada. Semangat nasionalisme yang membawa pada persatuan bangsa-bangsa dengan tetap menghargai keragaman akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang kuat. Sebaliknya, ketidakmampuan kita untuk menghargai bangsa-bangsa lain justru akan melunturkan nasionalisme Indonesia. Tidak heran jika saat ini nasionalisme Indonesia mengalami kebangkrutan.

Lunturnya internasionalisme yang disebabkan ketidakmampuan menerima bangsa-bangsa lain dapat berakibat buruk bagi Indonesia. Apalagi, jika melihat sejarah perkembangan bangsa NKRI, pada hakekatnya Indonesia lahir karena adanya penggabungan bangsa-bangsa yang ada di Nusantara.

Setelah keruntuhan Majapahit ada banyak kerajaan yang muncul di bumi Nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut dapat disebut sebagai bangsa-bangsa. Kemudian karena kesadaran adanya perasaan senasib sebagai bangsa yang berada dalam penjajahan Belanda, bangsa-bangsa tersebut bersatu menjadi bangsa Indonesia. Ketidakmampuan menerima internasionalisme karena kecurigaan terhadap bangsa-bangsa lain, tidak mustahil akan menimbulkan kecurigaan terhadap bangsa-bangsa yang telah melebur menjadi bangsa yang kini dikenal sebagai suku bangsa.

Akibatnya, terciptalah komunalisme suku, budaya dan agama yang akhirnya akan menelan nasionalisme. Ketidakmampuan menerima semua bangsa-bangsa sebagai keluarga bukan mustahil akan mengakibatkan Indonesia tidak lagi menghargai kelompok yang berbeda sebagai satu keluarga yaitu bangsa Indonesia. Jika hal ini terjadi, disintegrasi bangsa menjadi suatu ancaman yang serius.

Menyikapi tumbuhnya nasionalisme yang tidak cerdas, sudah seharusnya sebagai bangsa kita perlu mengadakan instrospeksi diri. Benarkah kita mampu menghargai bangsa-bangsa lain sebagai keluarga besar umat manusia (internasionalisme)? Jika belum, seharusnya kita belajar melihat bahwa bangsa-bangsa yang berbeda adalah juga merupakan keluarga. Kesadaran ini akan sangat mempengaruhi sikap kita dalam menghargai keberagaman yang ada di Indonesia.

Kemudian kesadaran tersebut akan menjadi suatu kekuatan yang maha dasyat untuk menghancurkan segala rintangan yang menghalangi mewujudnya masyarakat Indonesia yang menyatu. Benturan-benturan yang masih terjadi sesama warga bangsa akan dapat didamaikan oleh semangat kekeluargaan tersebut. Kemudian bukan mustahil Indonesia akan dapat memainkan peran yang lebih signifikan bagi perdamaian dunia.

Binsar A. Hutabarat, penulis adalah pemimpin kelompok diskusi HAM dan pendiri Yayasan Voluntir Indonesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published.