Investor Daily, 4 November 2006
Tandean Rustandy
Kekayaan sumber daya alam Indonesia merupakan kedua terbesar di dunia setelah Brazil (Russell A. Mittermeier, et.al., Megadiversity-Earth’s Biologically Wealthiest Nations).
Namun kenyataannya saat ini begitu banyak rakyat Indonesia yang menganggur, miskin dan jauh dari kata makmur.
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah pengangguran di negara kita mencapai 9-10 juta orang dengan sekitar 40 juta orang hidup miskin serta 20 juta orang hampir miskin. Berbicara tentang kemakmuran tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengangguran. Tingkat pengangguran merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang menggambarkan keberhasilan perekonomian suatu negara.
Untuk Indonesia, problem membludaknya pengangguran bukan hal baru terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997. Jika terus dibiarkan, akan menjadi bom waktu. Usaha untuk menekan angka pengangguran tidak bisa tidak terkait dengan iklim investasi yang kondusif. Persoalannya sekarang, sampai sejauh manakah nasionalisme kita berperan aktif dalam perbaikan iklim investasi di Indonesia.
Iklim Investasi
Perbaikan iklim investasi merupakan salah satu tantangan terpenting yang dihadapi bangsa Indonesia. Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk. Peran investasi sangat penting dalam mengurangi tingkat pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Iklim investasi yang kondusif tidak saja meningkatkan persaingan menarik investor tetapi juga menghindari munculnya permasalahan baru, yaitu hengkangnya pemilik modal yang ada.
Kita patut menghargai kerja keras pemerintah Indonesia dan wakil-wakil rakyat atas upayanya memperbaiki iklim investasi dengan dikeluarkannya berbagai paket regulasi serta RUU Penanaman Modal yang sedang dibahas di DPR saat ini. Namun realitanya, kondisi di lapangan masih sangat memprihatinkan. Untuk menuntaskan masalah tersebut diperlukan undang-undang dan kebijakan yang praktis dan applicable bukan sekedar wacana.
Selain menjaga indikator-indikator ekonomi makro seperti tingkat inflasi, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga bank agar tetap stabil, pemerintah diharapkan ketegasannya dalam mengatasi masalah-masalah kelembagaan dan kebijakan yang berkaitan dengan investasi serta pelbagai masalah sosial-politik.
Pertama, perbaikan Citra Bisnis Indonesia dan Country Risk. Untuk menarik investor, citra bisnis Indonesia mesti diperbaiki. Segenap masyarakat harus berperan aktif membenahi berbagai hal yang menghambat kegiatan investasi. Pemerintah dan segenap komponen bangsa perlu mengurangi tingkat risiko dalam negeri (country risk). Pemuda, LSM, pekerja, tokoh masyarakat semuanya diharapkan bersama-sama membangun bangsa ini dengan menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban serta bersikap ramah terhadap investor. Rasa nasionalisme perlu ditingkatkan sehingga bukan lagi kepentingan dan cinta pribadi/golongan yang dikedepankan, melainkan kepentingan dan cinta bangsa.
Kedua, Kepastian Hukum dan Sistem Birokrasi. Regulasi di Indonesia dinilai sangat lemah, meliputi semua aspek, seperti perpajakan, ketenagakerjaan, perijinan dan sebagainya. Regulasi yang lemah menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merebak di mana-mana.
Dalam hal birokrasi, Indonesia sangat tertinggal dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Menurut laporan Bank Dunia (Doing Business in 2006, 01/11/05), untuk memulai bisnis di Indonesia, para investor membutuhkan waktu 151 hari. Dibanding Malaysia 30 hari, Thailand 33 hari, Vietnam 50 hari, jelas birokrasi Indonesia sangat tidak efisien.
Ketiga, Sumber Daya Manusia. Salah satu cara mengantisipasi persaingan yang makin kompetitif adalah melalui peningkatan kualitas SDM yang komprehensif. Oleh sebab itu pendidikan nasional seyogyanya mendapat perhatian yang serius. Pemerintah harus bekerja keras mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk meningkatkan kualitas SDM yang memiliki keunggulan kompetitif di berbagai sektor.
Keempat, Infrastruktur. Pemerintah harus memaksimalkan anggaran belanja untuk membangun infrastruktur yang diperlukan investor. Hendaknya sejumlah proyek infrastruktur yang dapat memacu gairah investor segera dilaksanakan, misalnya jalan tol, pelabuhan, listrik dan jaringan pipa gas.
Nasionalisme
Indonesia butuh sosok-sosok nasionalis yang bisa membela tanah air dengan cinta yang tulus dan tanpa pamrih secara khusus dalam iklim investasi yang memprihatinkan saat ini. “Cinta tanah air seseorang”, kata almarhum Soe Hok Gie, seorang tokoh mahasiswa UI angkatan 1966 yang terkenal dengan patriotismenya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan. Mencintai tanah air harus ditumbuhkan dengan mengenal rakyatnya dari dekat dan dalam konteks ini nasionalisme para elite mendapatkan ujian.
Pemerintah harus memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperbaiki iklim investasi. Dalam mengatasi korupsi, pemimpin kita dapat belajar dari cara mantan Perdana Menteri RRC Zhu Rongji. Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1997, dengan lantang Zhu berkata, ”Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya, jika saya melakukan hal yang sama.” (Laurence J. Brahm, Zhu Rongji & The Transforming Modern China).
Bagaimana Indonesia menangani keadaan saat ini akan menentukan nasib bangsa kita di masa depan. Seluruh konstelasi harus memberikan dukungan moral dan politik kepada pemerintah, bukan sekedar melontarkan kritik dan kecaman. Pemerintah yang tidak stabil tentu akan sulit memusatkan perhatian pada pemulihan ekonomi bangsa. Oleh sebab itu pemerintah harus diberi kesempatan membuktikan diri hingga pemilu berikutnya. Rakyat perlu bersabar, sebaliknya Pemerintah tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan rakyat. Dan nasionalisme para elite akan sangat menentukan perbaikan iklim investasi di Indonesia.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School