Mudik dan Toleransi Polisi

Suara Pembaruan, 26 September 2009
Binsar A. Hutabarat

Ritual mudik di negeri ini selalu saja menyisakan kepedihan. Pada tahun ini, dalam kurun H-7 hingga H+3 Lebaran, dalam waktu 10 hari, terjadi 1.238 kecelakaan. Tercatat 472 pemudik tewas dengan kerugian mencapai Rp 6,6 miliar. Meski kita tidak berharap, ada kemungkinan jumlah itu terus bertambah, apalagi puncak arus balik baru akan terjadi pada Sabtu atau Minggu.

Meski jumlah korban tewas pada saat mudik tahun ini diklaim menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetap saja jumlah korban masih sangat besar. Pada 2008, selama 14 hari mudik, jumlah korban meninggal 616 orang, luka berat 780, dan luka ringan 1.336 serta dengan jumlah kerugian material Rp 4,85 miliar. Jumlah tabrak lari 121 kejadian. Sedangkan pada mudik 2007, tercatat 1.785 kasus kecelakaan dengan jumlah korban meninggal 789, luka berat 952, dan luka ringan 2.034. Korban kecelakaan terbanyak, tahun ini, adalah pengendara sepeda motor. Sekitar 50% korban tewas adalah pengendara sepeda motor.

Disiplin berlalu lintas kalangan pengendara menjadi faktor penting yang mengakibatkan tingginya korban kecelakaan di jalan. Kasus terbaliknya mobil yang melaju kencang dari arah Balan menuju Medan dan terbalik di Pinang Lomban, Rantau Parapat (21/9), adalah contoh dari perilaku “ugal-ugalan” pengendara bermotor. Dengan penumpang yang padat, pengemudi bus nekat memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Pada saat yang sama, pengemudi bus tetap asyik berbicara memakai telepon seluler, tak peduli pada keselamatan penumpang. Kecelakaan yang disebabkan oleh ulah manusia ini, yaitu melalui pengabaian aturan, mendominasi kasus kecelakaan, selama masa mudik Lebaran.

Kita semua paham, disiplin berlalu lintas pengendara di negeri ini masih buruk. Pada saat arus lalu lintas padat, pengabaian disiplin tentu akan berakibat sangat fatal. Tapi, mengapa pada kondisi lalu lintas padat, tahun ini, polisi justru mengendurkan peraturan bagi pemudik? Pemerintah semestinya menegakkan aturan lalu lintas agar rakyat tidak mati sia-sia di jalan.

Toleransi polisi berupa pengenduran aturan bagi pemudik sesungguhnya tidak masuk akal. Disiplin lalu lintas seharusnya lebih diperketat pada saat mudik dengan kepadatan lalu lintas. Dengan pengetatan aturan kecelakaan pada arus lalu lintas padat dapat dikurangi. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, polisi memberikan pelonggaran aturan yang justru mempertinggi risiko kecelakaan berkendaraan pada lalu lintas padat. Tepatlah apa yang dikatakan pakar transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh November, Hitapriya Suprayitno, tingginya kasus kecelakaan dengan jumlah korban amat besar adalah dampak dari pengabaian aturan dan disiplin. Atas nama “toleransi”, polisi kerap mengendurkan peraturan bagi pemudik.

Transportasi Memadai
Harus diakui penggunaan angkutan umum yang murah dan aman di negeri ini masih merupakan sesuatu yang amat langka, khususnya pada setiap ritual mudik. Padatnya penumpang kereta api dan bus merupakan bukti bahwa pemerintah belum mampu meyediakan transportasi yang memadai bagi rakyat. Sepinya mudik gratis bersama partai-partai politik, yang biasa hadir sebelum pemilu berlangsung, juga mempersempit peluang untuk mendapatkan transportasi mudik yang murah dan aman pada 2009 ini.

Oleh karena itu, untuk mereka yang berkantong tipis, mudik dengan sepeda motor menjadi pilihan terbaik daripada harus berdesak-desakan berebut tempat di kereta api atau bus-bus angkutan antarkota. Toleransi polisi kemudian membuat banyak pengendara motor berani mengangkut lebih dari dua orang yang bertentangan dengan undang-undang lalu lintas. Banyak sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang dan tidak terkena sanksi. Toleransi polisi ini ternyata berdampak buruk bagi pengendara sepeda motor, khususnya anak-anak yang belum paham bahaya yang mengintai di jalan raya.

Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, harus berani menegakkan UU Lalu Lintas. Melonggarkan aturan lalu lintas akan membuat disiplin lalu lintas sulit untuk ditegakkan. Untuk melihat peningkatan disiplin lalu lintas, pemerintah dapat menjadikan peristiwa mudik sebagai tolok ukur. Jika pada risiko tinggi berlalu lintas masyarakat berdisiplin tinggi, menaati aturan lalu lintas, maka mudik dapat dijadikan momen untuk meningkatkan perbaikan disiplin dalam berlalu lintas. Oleh karena itu, untuk menciptakan mudik nirkecelakaan, pemerintah sepatutnya menegakkan disiplin berkendaraan bukannya malah melonggarkan aturan.

Pemerintah juga tak perlu malu mengakui kegagalan dalam menyiapkan transportasi yang memadai pada masa mudik dengan meminta masyarakat menunda mudik daripada harus berebut kendaraan dan berdesak-desakan dengan risiko mengalami kecelakaan. Dan kemudian pemerintah terus berusaha menyediakan transportasi yang memadai pada tahun-tahun berikutnya. Pemerintah juga dapat mendorong perusahaan-perusahaan menyelenggarakan mudik bersama karyawan agar tersedia transportasi yang murah dan aman. Di samping itu, pemerintah harus membuat perencanaan infrastruktur jalan raya yang baik. Buruknya infrastruktur jalan raya ikut memberikan andil pada terjadinya kecelakaan pada saat mudik.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.