Moralitas Bangsa dan Daya Saing Global

Investor Daily, 11 Desember 2006
Tandean Rustandy

Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan lebih besar selain persoalan kemiskinan. Angka BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta atau 17,75% dari total 222 juta penduduk. Jumlah tersebut meningkat dibanding Februari 2005 sebesar 35,10 juta atau 15,97% dari total penduduk.

Fakta kemiskinan ini seharusnya membuat kita sangat prihatin dan memaksa seluruh komponen bangsa untuk mengevaluasi dan berpikir ulang atas pengelolaan negara khususnya aspek ekonomi. Tulisan ini mencoba menyorot dua masalah mendasar yang telah membawa dampak amat buruk terhadap daya saing dan prospek kemajuan ekonomi bangsa.

Inefisiensi
Pengelolaan negara dan sumber daya ekonomi Indonesia diwarnai oleh inefisiensi yang tinggi. Ketidakefisienan yang bukan saja terjadi pada yang bersifat kasat mata seperti mismanajemen, tetapi juga efisiensi dalam arti kata yang seluas-luasnya.

DPR sebenarnya memiliki posisi kuat dalam mengontrol perencanaan anggaran sekaligus penggunaannya. Hanya saja, fungsi tersebut tidak berjalan maksimal. Berdasarkan temuan BPK, penyimpangan anggaran terjadi pada hampir semua departemen. Meski tidak semua bisa dikategorikan tindak korupsi, namun penyimpangan jelas mengarah pada inefisiensi dan inefektivitas.

Baru-baru ini media-media cetak memuat berita tentang lembaga-lembaga nonstruktural yang tidak efisien. Dalam lima tahun terakhir, puluhan lembaga nonstruktural terbentuk. Sebagian besar dari mereka baru lahir dua tahun terakhir. Lembaga-lembaga ini ada yang terbentuk komisi, komite, dewan, atau badan. Tidak sedikit dari lembaga ini tumpang tindih, belum menunjukkan kinerja, atau tidak jelas kiprahnya sehingga menjadi beban APBN yang demikian ketat.

Efisiensi berkaitan erat dengan dengan human capital. Pada awal tercetusnya revolusi industri, daya saing suatu negara utamanya terletak pada penguasaan sumber-sumber energi seperti minyak dan gas bumi. Namun, di era sekarang dan ke depan, sumber daya manusia yang berkualitas yang disebut human capital-lah yang akan menentukan daya saing dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh pendapat ekonom peraih nobel tahun 1992, Gary Becker, dalam bukunya Human Capital.

Salah satu faktor penunjang efektivitas dalam bekerja adalah suasana kantor. Kantor yang nyaman, rapih dan teratur tentu akan meningkatkan kinerja. Sangat disayangkan, meskipun luar gedung tampak megah, suasana di dalam kantor departemen-departemen pemerintah umumnya, tidak terkecuali departemen keuangan yang mengurus uang negara yang begitu besar pada berantakan.

Hal ini tentu mempengaruhi mood untuk bekerja yang berakibat pada kinerja sehari-hari. Kenapa tidak mencontoh dari bank-bank swasta atau BUMN yang begitu rapi dengan mulai membersihkan barang-barang di atas meja kantor dan mengorganisirnya secara teratur dan rapi? Selain sedap dipandang, juga dapat membuat pikiran menjadi lebih jernih.

Kesadaran Moral
Selain itu sangat disesalkan kalau DPR yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk mengawasi anggaran, justru ditengarai melakukan penghamburan atau penyimpangan anggaran di tengah kesulitan ekonomi bangsa. Indonesian Corruption Watch pernah mensinyalir, banyak tunjangan keperluan sehari-hari anggota DPR terkesan mengada-ada.

Anggota DPR ramai-ramai mengadakan studi banding ke luar negeri tanpa membawa hasil yang nyata. Ini tentu saja merupakan tindakan tidak bermoral sebab telah menggunakan uang rakyat tanpa kontrol.

Kesadaran moral suatu bangsa turut menentukan harga diri suatu bangsa. Misalnya, sebuah negara yang kadar korupsinya rendah, harkat dan martabat manusia sangat dihargai, penerapan hukumnya adil, kesejahteraan warganya baik dan memiliki tanggung jawab sosial, dengan sendirinya akan lebih dihargai oleh rakyat dan dunia.

Harga diri suatu bangsa akan rendah bila tak didukung kondisi negara yang demikian. Pengalaman ini dapat sangat terasa bila kita menginjakkan kaki di luar negeri. Hal ini tentu berdampak pada daya saing di kancah global.

Daya Saing Global
Suka atau tidak, Amerika telah muncul sebagai satu-satunya negara hyperpower dalam kancah global, khususnya di bidang ekonomi. Terlepas dari pro kontra mengenai sikap politik Amerika di bawah kepemimpinan George W. Bush yang menyebabkan berbagai reaksi yang bermunculan ketika menyambut kedatangannya ke Indonesia, kisah sukses perusahaan-perusahaan Amerika di era pasar bebas seperti Coca Cola, KFC dan Mc Donald menunjukkan ada “sesuatu” yang patut dan perlu dipelajari dalam konteks pasar bebas.

Mengapa produk-produk tersebut mampu menyusup ke setiap pelosok China yang rakyatnya terkenal memiliki cita rasa tinggi dalam hal makanan dan minuman, padahal dari segi kualitas tidak istimewa dibanding dengan makanan dan minuman China sendiri?

Inggris di bawah kepemimpinan Margaret Thatcher sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara, mulai memasuki periode terpanjang pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah dengan surplus anggaran, dan perusahaan-perusahaan menikmati pertumbuhan yang luar biasa.

Penduduk Inggris yang memiliki tempat tinggal sendiri melonjak dari sekitar separuh menjadi dua pertiga, angka pengangguran berada pada tingkat rendah, dan rakyat memiliki lebih banyak yang dibanding dengan masa-masa sebelumnya.

Di Indonesia, gejala pasar bebas telah mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Sejumlah BUMN yang melepas sahamnya di bursa, seperti PT Telkom Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk dan PT Aneka Tambang Tbk umumnya menjadi lebih efisien dan corporate value meningkat signifikan karena pengawasan yang dilakukan publik menjadi berlapis: mesti diaudit dan dilakukan due dilligence oleh BEJ, Bapepam dan instansi lainnya.

Dalam hal ini, Pemerintah walaupun tidak “memiliki perusahaan” tetap dapat menikmati manfaat dari pelayanan jasa atau produk perusahaan tersebut dan mereka pun mampu memberikan kontribusi pada negara dengan membayar pajak misalnya. Oleh sebab itu, salah satu langkah untuk mengurangi beban anggaran pemerintah adalah menyusun strategi untuk mengoptimalkan program privatisasi.

Perlunya belajar mengenai mekanisme pasar bebas merupakan konsekuensi logis ketika pasar bebas melanda seluruh dunia saat ini. Misalnya, tentang bagaimana peran pemerintah dalam menyediakan kerangka dimana rakyat dapat mengejar tujuan mereka. Rakyat perlu diberi informasi tentang apa itu ekonomi global, dan ketrampilan apa yang dibutuhkan agar rakyat bisa berpartisipasi di dalamnya. Insentif individu adalah yang terbaik untuk menggerakkan ekonomi.

Ibarat obat, semua ada side effect-nya, demikian juga halnya dengan pasar bebas: tidak sempurna, paling-paling dalam proses menuju kondisi lebih baik. Ketika kadar mental dan etika manusia sebagai hewan ekonomi mencapai titik puncaknya, berbagai penyimpangan mulai bermunculan. Terbukti beberapa korporasi yang pada masa jayanya dianggap sebagai role model bagi bisnis di seluruh dunia seperti WorldCom dan Enron telah mengalami dekadensi moral dengan sejumlah penyelewengan yang menghebohkan.

Yang bisa kita pelajari di sini adalah mekanisme fine tunning yang cukup baik. Bursa bereaksi keras, bahkan akhirnya meledak dan lahirlah aturan hukum yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley. Di dalamnya memuat tata kelola perusahaan secara bersih, transparan dan profesional termasuk tanggung jawab sosial korporasi. Secara internal, hal ini akan membantu perusahaan mengelola aset dan transaksinya secara efektif dan efisien. Sementara itu, proses keterbukaan yang dianut merupakan gambaran kinerja perusahaan secara riil sehingga menekan keraguan publik.

Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School

Leave a Comment

Your email address will not be published.